Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mendengar dengan Mata

Seorang arsitek tunarungu menulis buku mengenai ruang. Ruang publik kita masih belum memberikan kemudahan bagi penyandang cacat.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata yang Mendengar
Penulis: Meutia Rin Diani
Penerbit: Lamalera-Samana Forum
Pengantar: Avianti Armand
Tebal: 167 + xxii
Cetakan I: 2012

Kalau ada dua orang tunarungu "ngobrol", arsitektur menjadi orang ketiga.

Kutipan dari buku Mata yang Mendengar ini menjelaskan bagaimana sesungguhnya arsitektur bisa berperan membantu penyandang tunarungu ketika berinteraksi di ruang-ruang publik. Kaum ini, misalnya, lebih menyukai desain berpola maluma ketimbang takete. Takete merupakan desain ruang dengan susunan kursi menghadap satu arah seperti di dalam kelas sekolah, sedangkan maluma ialah susunan kursi yang dibuat melingkar dengan satu pusat di tengah. Bagi penyandang tunarungu, maluma adalah susunan yang dikehendaki karena punya pandangan visual jauh lebih merata, dan lebih memungkinkan membaca bahasa isyarat dibandingkan dengan takete.

Meutia Rin Diani, penulis buku ini, membuka mata pembaca tentang pentingnya masalah akses visual dan privasi ruang bagi para penyandang cacat. Meutia sendiri seorang tunarungu. Ia alumnus Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia yang tak menggunakan alat bantu dengar (hearing aid).

Meutia menuliskan bahwa ia dan para tunarungu lainnya memerlukan ruang-ruang yang mempunyai sudut pandang luas untuk dilihat. Dinding tembus pandang dan sudut bangunan yang melengkung tidak tajam dapat menambah luas pandangan dan dengan demikian menambah tinggi faktor keselamatan dan kenyamanan. Bagi mereka yang tidak dapat mendengar, akses visual menjadi pemandu utama.

Tentu saja, menurut buku ini, menjadi ideal apabila akses visual dikombinasikan dengan desain untuk pancaindra yang lain. Getaran, misalnya. Penggunaan lantai papan kayu bisa menimbulkan getaran tertentu yang dapat dirasakan, dan getaran ini membantu tunarungu mengetahui apabila ada orang lain berjalan di balik dinding. Penggunaan alat bantu dengar tidak selalu membantu karena, antara lain, sulit menyaring suara-suara yang masuk, terutama di ruang publik, yang akhirnya malah mengganggu kenyamanan dan menimbulkan kebingungan.

Tiga bagian pertama buku ini berisi pendekatan teori dan peraturan berkaitan dengan ketunarunguan. Keutamaan pada akses visual disebutkan sebagai visu-centric, yaitu menggunakan mata sebagai alat utama untuk orientasi ruang. Mata menjadi amat penting, selain untuk komunikasi, proteksi diri, dan navigasi (way finding).

Dua bagian berikutnya mengupas studi kasus. Bagian ini sangat menarik karena Meutia menuliskan penelitian atas dirinya sendiri dan sebuah keluarga tunarungu lain. Secara detail dapat diikuti berbagai kendala yang dihadapi oleh penyandang tunarungu dan bagaimana dengan bersemangat dan gembira mereka mengatasi kendala tersebut.

Pada bagian terakhir, buku ini mengungkapkan kurangnya perhatian kepada para penyandang tunarungu di Indonesia. Peraturan bangunan yang ada, yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006, dianggap belum memadai karena hanya mengatur soal signage dan alarm kebakaran. Ada ajakan untuk mengkaji kembali pentingnya kebutuhan ruang bagi tunarungu dan direalisasi melalui desain universal dan dukungan peraturan bangunan yang lebih komprehensif.

Misalnya keberadaan ruang luar atau ruang publik untuk tunarungu. Sebagai contoh mal, yang kerap dirancang agar pengun­jung berputar-putar lebih lama di hamparan pertokoan. Desain bangunan seperti itu lebih menyulitkan orang tunarungu dibandingkan dengan terminal bandar udara, yang lebih jelas signage dan orientasi sirkulasinya.

Pada akhirnya, penulis buku berharap karyanya dapat menjadi pemicu bagi arsitek untuk lebih lengkap memenuhi persyaratan ruang dan visual bagi tunarungu. Buku ini patut mendapat perhatian karena, walaupun mengisyaratkan kebutuhan desain agak khusus, bermanfaat juga untuk orang-orang "normal".

Endy Subijono, mantan Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus