Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Wijaya*
Hadirnya bahasa gaul dalam bahasa Indonesia merupakan pengacau. Kosakata gaul yang menyeruak lahir dari dalam percakapan liar sehari-hari dengan begitu derasnya menjadi teror pada usaha untuk berbahasa baik dan benar. Namun teror itu justru memberi diksi yang penting, tajam, dan akurat terhadap rasa yang hendak dicapai oleh pasokan kosakata gaul dalam mengutarakan ekspresi.
Cipoa adalah ungkapan rasa terhadap laku orang yang suka ngibul. Tapi, berbeda dengan bohong atau tipu daya, cipoa memiliki nuansa yang lebih. Di situ terasa bahwa kebohongan atau tipu daya tidak selamanya didorong oleh keinginan jahat yang kotor. Sebab, di dalam cipoa, pengibulan yang dilakukan memiliki unsur canda.
Tidak seperti kebohongan atau tipu daya yang mengakibatkan korban yang terkena marah, ingin membalas, atau menuntut dalam hukum, kata cipoa seperti sesuatu yang menunjukkan keakraban, hiburan, sehingga dapat dimaafkan. Cipoa dengan demikian mencoba menampilkan usaha untuk sedikit berjarak dengan permasalahan mendasar dan mencoba melihat kehidupan dengan lebih ringan, enteng, dan rileks.
Seseorang yang melontarkan cipoa kepada orang lain didasari oleh kesadaran bahwa temannya itu tidak akan menanggapi ulahnya dengan emosi berlebihan. Sebab, di dalam pengibulan itu terasa ada keramahan, persahabatan, dan kedekatan.
Cipoa lebih cenderung kepada humor, sesuatu yang tidak bisa diungkap oleh kata ngibul, bohong, apalagi menipu. Ini terjadi karena cipoa lahir di antara anak-anak muda yang hidupnya tidak bisa lepas dari guyonan. Tapi, dengan hadirnya cipoa sebagai ekspresi, bertambah juga kosakata gaul dalam mengungkapkan keakraban, kedekatan, dan persaudaraannya dengan sesama. Ini membuat hidup menjadi tidak terlalu suntuk. Orang mampu bermain-main, menjauh dan mendekat, dengan lakunya. Akibatnya, ketegangan akan berkurang dan benturan atau konflik dapat digemboskan dengan cara yang murah dan ramah serta menghibur walaupun sedikit "kurang ajar".
Toh, kita tetap menyambut kehadiran kata semacam itu sebagai teror. Sebab, kamus bahasa Indonesia sebagai pegawai resmi bahasa Indonesia, yang pada hakikatnya selalu terlambat, sering tak mampu bergegas untuk menangkap serangkaian fenomena baru dengan sigap. Sementara kosakata itu sudah mewakili masyarakat gaul, bahkan sudah menyusup pula pada pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar, penjelasannya dalam kamus tak kunjung muncul. Bahkan ada kata yang tadinya terasa seperti istilah picisan atawa bunga semak di comberan tiba-tiba sudah hadir dengan santainya dalam bahasa Indonesia resmi.
Memang tidak semua kata gaul berhasil memasok teror menjadi sumbangan kosakata "yang indah" dalam pengucapan rasa. Banyak yang gugur dan kemudian disapu zaman. Ia timbul sebentar, kemudian mati. Tapi satu-dua yang berhasil mendaki ke atas benar-benar membuat bahasa Indonesia menjadi "pabrik", menjadi bahasa yang tidak hanya meminjam, mengimpor, memanipulasi, atau mencuri kosakata asing. Bahasa Indonesia, yang memang juga ditopang oleh ratusan bahasa daerah, menunjukkan bukti yang mampu memperkaya dirinya sendiri.
Sekarang terpulang kepada para pengguna bahasa Indonesia sendiri, dapatkah mempergunakan kemampuan produksi kosakata yang khas Indonesia—untuk cepat diberi tempat yang semestinya dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, serbuan kosakata asing dapat dicegah, dibendung, atau dibatalkan. Tak perlu menunggu restu dari kamus, yang pasti akan mencari waktu yang tepat untuk mencetak edisi barunya dengan berbagai pendatang kosakata.
Malangnya, upaya yang murah, gratis, dan tidak formal sering sekali kurang mendapat tempat di forum resmi. Jika peristiwa itu disertai dengan upacara yang resmi dengan aksesori "ritual"-nya pesta dan seminar, usaha itu akan dielu-elukan. Kita memang negeri upacara, di mana setiap orang lebih senang merayakan tata cara daripada substansi dari produk yang dihasilkan.
Anak-anak muda dalam beberapa dekade yang akan datang dengan generasi gaulnya mungkin akan bisa meniupkan pembaruan-pembaruan yang lebih praktis dan realistis dalam bahasa Indonesia.
Kita hanya harus bersabar, karena generasi gaul sendiri sering tidak menyadari kehadiran yang penting itu. Dengan kelakuan suka bercanda, banyak yang sering kebablasan membuat canda jadi segala-galanya. Untuk itu, mereka memerlukan kontrol. Lebih bagus kalau itu datang dari dalam diri mereka sendiri.
Dan yang lebih penting, generasi tua harus membuka pintu dengan dada yang lapang, memberi mereka kesempatan ikut membangun dan menyempurnakan bahasa Indonesia, sehingga bahasa Indonesia tidak pernah ketinggalan atau kuno dan selalu dicintai penggunanya, khususnya "kawula muda".
*) Sastrawan, dramawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo