Klub-Klub Sekarat, Tim Nasional Juara Kejuaraan sepak bola Amerika Latin kali ini dimenangkan Argen- tina, justru ketika klub-klub di sana sedang sekarat. Mengapa mutu pertandingan merosot? ARGENTINA mengukuhkan diri sebagai yang terkuat di Amerika Latin dalam perkara main bola. Walau penyusunan tim nasionalnya acak-acakan, negeri ini memenangkan kejuaraan Copa de America yang berakhir Senin pekan ini di Santiago, Cili. Ini adalah gelar yang ke-13 sejak kejuaraan itu diadakan tahun 1916, dan Argentina pulalah pemegang gelar juara yang pertama kali. Di putaran final Senin lalu itu, Argentina menundukkan Kolombia 2- 1. Brasil, yang mengalahkan tuan rumah Cili 2-0, menjadi runner-up. Copa adalah kompetisi terberat di dunia. Sepuluh negara Amerika Selatan dibagi dalam dua grup. Juara dan runner-up tiap grup maju ke putaran final. Dari grup A lolos Cili dan Argen- tina. Kolombia dan Brasil mewakili grup B. Empat kesebelasan ini kemudian bertanding dengan sistem setengah kompetisi untuk menentukan juara. Itu berarti, empat finalis Copa ini harus bertanding tujuh kali sejak penyisihan grup dalam waktu 15 hari (6-21 Juli). Benar-benar diperlukan stamina ekstra. Dibanding kejuaraan Copa dua tahun lalu, ketika Brasil keluar sebagai juara, mutu kejuaraan tahun ini dinilai para pengamat merosot. Sebab, pada 1989, persiapan negeri Latin sedang gencar menghadapi Piala Dunia 1990 di Italia. Semua pemain terbaik berkumpul di negerinya. Tahun ini lain cerita. Persiapan tim agak terganggu kejuaraan antarklub Amerika Latin, Libertadores Cup -- yang juaranya klub Colo-Colo dari Cili. Selain itu, banyak pemain andal asal Amerika Selatan tak bisa ikut bermain di Copa karena berada di Eropa. Romario Faria, Silas, Mozer, dan Julio Cesar, yang merupakan tulang punggung Brasil di Piala Dunia Italia, tak bisa pulang. Bebeto, bintang lapangan tengah Brasil yang terus bergelut dengan cedera, juga absen. Lagi pula, tim-tim Latin menganggap Copa kali ini hanya semacam ajang uji coba tim nasional yang baru dibentuk untuk Piala Dunia Amerika yang akan berlangsung tiga tahun lagi. Alasan terakhir adalah hujan deras di Santiago yang membuat lapangan becek dan berat. Permainan terganggu. Sang juara Argentina betul-betul tampil dengan tim yang baru. Hanya empat pemain bekas tim Piala Dunia Italia, yakni kiper Sergio Goycochea, bek kanan Fabian Basualdo, gelandang Oscar Ruggeri, dan penyerang Claudio Caniggia. Pelatih Argentina pun bukan lagi Carlos Bilardo, tapi Alfio Basile. Pelatih baru berusia 47 tahun ini adalah bekas gelandang terbaik klub beken Argentina, Racing Club, juara Libertadores Cup 1966-1967. Ketika ditunjuk AFA (asosiasi sepak bola Argentina), Basile, yang tengah menangani sebuah klub kecil tak terkenal, mengaku terkejut. Apalagi ia harus menggantikan pelatih sekaliber Bilardo yang sudah mengantar Argentina menjadi juara dunia 1986 dan runner-up 1990. "Biasanya mereka mengambil pelatih nasional dari klub-klub ternama seperti halnya Menotti dan Bilardo. Jadi, semula saya anggap itu hanya isu," ucap Basile. Segera setelah surat penunjukan datang, Basile mulai bekerja dengan dua tujuan: membentuk tim nasional yang dicintai orang Argentina dan memberi jatah untuk pemain-pemain lokal. Celakanya, ketika Januari lalu Basile mengumumkan 25 orang pemain tim nasional, dua di antaranya segera ditransfer ke Eropa. Basile pun mencari pengganti lagi. Ia juga mengubah gaya Bilardo yang mengutamakan pertahanan, kemudian menyerang lewat serangan balik yang cepat. Bilardo biasa memakai empat pemain belakang, empat pemain tengah, dan dua penyerang. Tapi, "Saya mencoba menerapkan gaya menyerang seperti klub-klub Argentina umumnya," ujar Basile. Ia memasang empat penyerang, tetapi hanya satu yang benar-benar berfungsi sebagai pemain sayap. Jadi, ia hanya perlu dua gelandang yang luar biasa. Mulanya, tak bisa lain Basile mencoba merekrut Diego Armando Maradona. Gagal. Mahabintang bola ini sedang kena kasus narkotik. Basile kemudian melirik Claudio Caniggia yang kini bermain untuk klub Atalanta, Italia. Kebetulan kompetisi Italia sedang istirahat. Tampaknya, upaya Basile tak sia-sia. Rakyat Argentina mendapatkan lagi tim nasional yang mereka cintai karena pemain- nya biasa mereka saksikan tiap hari di layar televisi. Yang lebih penting, dari pemain lokal itu Basile menemukan pemain- pemain penuh bakat. Misalnya Gabriel Batistuta, 21 tahun, asal klub Boca Juniors, yang mencetak gol kedua Argentina ke gawang Kolombia di pertandingan akhir. Atau gelandang hebat Dario Franco, 22 tahun, asal klub lokal Newell's Old Boys. Jika ada yang menyedihkan, Argentina merebut Copa justru pada saat klub-klub lokal yang menyumbang pemain itu sedang sekarat. Boca Juniors, klub asal Diego Maradona yang sekarang menyumbang tiga pemain ke tim Basile, dikabarkan berutang US$ 1 juta lebih pada serikat buruh klub itu. Racing Club, yang menyumbangkan kiper andalan Goycochea dan seorang lainnya, bahkan diajukan serikat buruhnya ke pengadilan agar dinyatakan bangkrut. San Lorenzo, yang dua pemainnya ditarik Basile, baru saja menjual stadionnya. Sejak terjadi rush pemain Argentina ke Eropa, terutama setelah Piala Dunia Italia, stadion-stadion lokal kosong melompong. Kompetisi sepi. Untuk mengatasi ambruknya kompetisi Argentina, kini perusahaan-perusahaan besar tengah menimbang untuk mengambil alih klub-klub yang hidup segan mati tak mau. Barangkali, gelar juara Copa ini bisa sedikit menyuntik darah segar ke kompetisi lokal di Argentina. Hanya, sulit mencegah seorang pemain untuk tidak tergiur ke Eropa, kalau kesempatan itu datang. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini