SAAT-saat manis penuh sanjungan, untuk sementara, tampaknya sudah berakhir buat Fandi Ahmad, 23. Bintang sepak bola Singapura ini, yang sekitar tiga tahun lalu pernah merebut hati penggemar bola di Indonesia - ketika ia memperkuat klub Galatama Niac Mitra, Surabaya - sekarang tengah menjalani masa paling pahit dalam kariernya sebagai pemain bola di Negeri Belanda. Ia, yang sekitar dua tahun lalu dikontrak Groningen, klub peringkat keempat dari 18 klub divisi I Belanda, belakangan ini dalam setiap pertandingan makin sering duduk di bangku cadangan. Malah, menjelang berakhirnya kontrak - yang sudah dipastikan pimpinan Groningen Renze de Vries "tak akan diperpanjang lagi" - Juni mendatang, Fandi sudah jarang dipasang. Pelatih Groningen, Han Berger, menganggap, karena pernah cedera, pemain andalan Singapura ini tak cukup lincah lagi untuk memperkuat klubnya. Tindakan ini, tak syak lagi, menyebabkan anak Melayu Singapura pertama yang merintis karier profesional di Eropa itu jadi amat terpukul. "Saya benar-benar kecewa, harus jadi pemain cadangan karena juru latih tak menemukan posisi yang pas buat saya dalam tim," kata Fandi Ahmad kepada TEMPO, yang meneleponnya Jumat pekan lalu di rumahnya dl Jl. Massstaat 2, Groningen - sekitar 200 km dari Amsterdam. Di Groningen, Fandi tinggal di rumah keluarga Indonesia asal Kalimantan, yang diperkenalkan seorang penggemarnya dua tahun lalu. Karena pengalaman yang tak menyenangkan hatinya itu, anak kedua bekas kiper Tim Sepak Bola Angkatan Bersenjata Singapura, Ahmad Wartam, ini terus terang mengatakan, dia tak merasa berkecil hati dengan putusan pimpinan Groningen yang tak memperpanjang kontraknya. "Saya belum memastikan pindah ke klub mana, selepas dari Groningen. Tapi, yang pasti, saya tak akan main di klub Belanda lagi atau balek kampong," kata Fandi. Yang hampir pasti, katanya lagi, dia tertarik untuk mencoba bermain di klub Prancis, Spanyol, atau Portugal, yang pola permainannya dia sukai. Di Groningen, yang menerapkan pola permainan operan-operan panjang, dia merasa tak cocok karena amat berbeda dengan pola yang pernah ia terima baik dari pelatih Singapura maupun ketika bermain di Niac Mitra. Bekas gelandang dan striker andalan Niac ini mulai mengikat kontrak dengan Groningen Juli 1983, selama dua tahun. Mula-mula bermain di Belanda, sebenarnya, dia cukup mendapat sambutan. Maklum, sebelumnya, pemain ini, yang bertubuh ceking semampai dengan tinggi 172 cm dan berat sekitar 62 kg, sudah pernah diincar beberapa pemandu bakat di Belanda, sebelum diambil Niac dengan bayaran sekitar Rp 35 juta setahun, pada pertengahan 1982. Tak kurang pemandu bakat terkenal dari Ajax Amsterdam, Japp Reinders, ikut merekomendasikan pemuda berwajah kebocahan ini "sebagai pemain yang punya sentuhan dalam bermain bola seperti Johan Cruyff", motor tim Belanda ke final Kejuaraan Dunia 1974 yang kemudian jadi milyarder itu. "Anak ini bisa dibentuk untuk menggantikan Cruyff", itu antara lain kesan Reinders. Ajax waktu itu sudah menghubungi Fandi, tapi bujangan yang masih punya kakek di Pacitan, Jawa Timur, ini waktu itu memllih bergabung dengan klub yang bermarkas di Surabaya itu. Boleh jadi, karena rekomendasi ini, Groningen tertarik. Dan begitu kontrak Fandi berakhir, Juni 1983, ia langsung diminta bergabung. Dengan kontrak yang dirahasiakan besarnya - tapi Fandi mengaku lebih besar dari kontrak dengan Niac - pemain yang dilatih ayahnya bermam bola sejak usla tujuh tahun ini pun akhirnya bergabung dengan salah satu klub Belanda itu. Ia langsung masuk tim inti. Mula-mula, prestasinya cukup mengesankan. Pada 24 kali pertandingan yang diikutinya, ia bisa memasukkan 10 gol. Tapi nasib jelek kemudian menimpanya, ketika dalam suatu pertandingan ia mengalami cedera berat di otot pahanya. Akibat cedera ini, dia harus istirahat selama beberapa bulan. Dan agaknya, karena istirahat yang cukup lama ini, permainannya menurun. Sehingga, posisinya sebagai gelandang penyerang digantikan pemam lain. Fandi sendiri kemudian dicoba Pelatih Han Berger untuk bermain di posisi lain, misalnya kiri luar atau kanan luar. Tapi, rupanya, di posisi itu Fandi tak memadai. Mulailah dia jadi cadangan. Hanya sesekali dia pernah dipasang, tapi itu juga tak bermain penuh. Dari 15 kali pertandingan musim kompetisi 1985, misalnya, ia hanya pernah dipasang 6 kali. "Paling lama 20 menit, bahkan pernah baru satu menit main, saya sudah diganti," keluh Fandi. Perlakuan ini menyebabkan dia merasa tak diperlukan lagi oleh Groningen. "Memang, pola bermain klub ini tak begitu cocok buat saya. Lain dengan Ajax. Sekarang saya baru menyesal tak menerima tawaran Ajax, dulu," katanya. Toh, anak muda yang rajin salat lima waktu itu memastikan pula, ia tak akan menghentikan upayanya untuk menjadi pemain bola profesional di Eropa. "Bukan semata-mata karena uang," yang, katanya, hampir semuanya dikirimkannya kepada orangtuanya dl Singapura, "tapi untuk cari pengalaman." Jika tak ada klub lain yang mau menerimanya di Eropa, baru dia akan pulang ke Asia, untuk main di Malaysia. "Atau Indonesia, kalau masih menerima pemain asing," katanya. Marah sakti, Laporan: Rudy Novrianto, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini