Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECELAKAAN lalu lintas 12 tahun lalu mengubah total hidup Zaenal Aripin. Menjalani perawatan di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, kedua kaki Zaenal, yang saat itu berusia 18 tahun, akhirnya harus diamputasi hingga di atas lutut. Pekerjaan sebagai buruh pabrik yang baru dilakoninya selama setahun setelah lulus sekolah menengah atas pun dia lepas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya perlu waktu sekitar sebulan bagi Zaenal untuk memulihkan bekas luka pasca-operasi. Namun dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan rasa percaya diri dan membangun hidup sebagai penyandang disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bosan cuma berdiam di rumah, Zaenal berusaha dengan menjual pulsa telepon seluler dan onderdil di bengkel sepeda motor. Pertemuannya dengan Antok, penyandang disabilitas yang mampir ke bengkel tempat Zaenal bekerja pada 2014, membuka jalan baru. Antok meminta Zaenal bergabung dengan komunitas penyandang disabilitas yang rutin berolahraga di Gelanggang Olahraga Pajajaran, Kota Bandung.
Itulah awal Zaenal mengenal olahraga balap kursi roda yang kelak menjadi andalan hidupnya. Dia pun memutuskan menjadi atlet balap kursi roda. Padahal, pada saat pertama kali mencoba olahraga itu, Zaenal kerap jatuh sampai terguling-guling. "Belajar terus sama senior, lama-lama bisa menguasai," kata Zaenal saat ditemui di pemusatan latihan nasional di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Senin pekan lalu.
Zaenal keranjingan berlatih balap kursi roda. Ia memulai kariernya sebagai atlet memakai kursi roda balap hasil modifikasi tukang las. Baru beberapa bulan berlatih, Zaenal menuai prestasi perdananya dengan merebut medali emas dalam Pekan Paralympic Daerah 2014 di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Keberhasilan itu membuat Zaenal dipromosikan mengikuti seleksi pelatnas untuk ASEAN Para Games 2015. Lolos seleksi, ia mendapatkan kursi roda balap profesional dari pemerintah. Prestasinya makin moncer di ASEAN Para Games tahun lalu dengan membawa pulang dua medali perak dan satu medali perunggu.
Kini Zaenal kembali "naik kelas" dan menjadi andalan tim nasional atletik Indonesia di Asian Para Games III yang akan digelar pada 6-13 Oktober mendatang. Dia bergabung dengan kontingen Merah Putih berisi 300 atlet yang akan bertanding dalam 18 cabang olahraga.
Hasil kompetisi terakhirnya di World Para Athletic Grand Prix di Beijing, Cina, 7-14 Mei lalu, menambah keyakinan Zaenal untuk tampil di Asian Para Games 2018. Dalam kejuaraan tersebut, ia sukses merebut medali emas di nomor 200 meter dan medali perak di lintasan berjarak 100 meter.
Zaenal selama ini selalu bertanding di kategori T54, yang diperuntukkan bagi atlet dengan keterbatasan fisik pada tubuh bagian bawah dan kaki. Dia pun sudah mengantongi status atlet terkonfirmasi yang membuatnya bisa berlaga di semua kompetisi tingkat dunia. "Tidak perlu klasifikasi ulang," ujarnya.
Di Asian Para Games, Zaenal turun di empat nomor, yaitu sprint 100 meter, 200 meter, 400 meter, dan estafet. Selama sembilan bulan ia menyiapkan diri. Salah satunya mengikuti pelatnas di Stadion Sriwedari. "Memasuki pra-kompetisi ini saya lebih banyak menyiapkan teknik start dan speed," ucap Zaenal.
Indonesia tampil gemilang di Asian Games 2018 sebagai penyelenggara dan peserta. Dengan meraih 31 medali emas, 24 medali perak, dan 43 medali perunggu, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Ini prestasi terbaik Indonesia sepanjang sejarah mengikuti Asian Games sejak 1951.
Asian Para Games pun menjadi incaran Indonesia untuk kembali menuai sukses. Di kompetisi yang digelar sejak 2010 ini, prestasi Indonesia selalu meningkat. Di Asian Para Games perdana di Guangzhou, Cina, Indonesia berada di posisi ke-15 dari 41 negara peserta dengan meraih 1 medali emas. Empat tahun lalu di Incheon, Korea Selatan, Indonesia menempati peringkat ke-9 dengan meraih 9 medali emas, 11 medali perak, dan 18 medali perunggu.
Kini pemerintah menargetkan bisa menembus daftar tujuh besar negara terbaik. Untuk mengejar target itu, tim Indonesia memiliki sejumlah cabang olahraga unggulan, seperti atletik, bulu tangkis, tenis meja, renang, dan angkat beban. "Itu bisa diraih dengan mendapatkan 16-17 medali emas," kata Ketua National Paralympic Committee Indonesia Senny Marbun.
Tak mendapatkan medali emas di Incheon, tim atletik kini mengincar setidaknya dua medali emas. Hasil moncer di ASEAN Para Games tahun lalu di Malaysia setidaknya bisa menjadi patokan. Saat itu tim atletik Indonesia menjadi juara umum dengan meraup 40 medali emas, 28 medali perak, dan 17 medali perunggu.
Zaenal menyadari target yang dibebankan kepada tim atletik cukup tinggi. Meski demikian, dia mengaku tak pernah tertekan selama menjalani pelatnas. Menurut dia, hasil atletik, yang merupakan olahraga terukur, diprediksi dari data penampilan para atlet saat latihan dan pertandingan. "Pelatih juga tidak menekan soal target, jadi atlet bisa menikmati latihan dan tampil maksimal," tuturnya.
Bulu tangkis membawa pulang empat medali emas dari Incheon, kini ditargetkan meraih setidaknya prestasi yang sama. Tim renang juga ditargetkan meraih empat medali emas. Hal ini berkaca pada prestasi di Incheon ketika Indonesia berhasil membawa tiga medali emas, dua di antaranya berkat kemenangan Mulyana di nomor gaya bebas 50 meter dan kupu-kupu 50 meter.
Di cabang tenis meja, David Jacobs kembali menjadi andalan Indonesia. Di Incheon, dia menyumbangkan satu dari tiga medali emas yang dikumpulkan tim tenis meja. David menyatakan ingin mempertahankan gelarnya. "Setidaknya nanti jadi tuan rumah bisa mendapatkan medali emas lagi," ujar pemain yang akan turun di nomor TT10, kategori bagi para atlet difabel yang paling ringan dan mampu bertanding sembari berdiri.
Agar kompetisi di antara atlet dengan beragam disabilitas itu seimbang, Indonesia Asian Para Games Organizing Committee (Inapgoc) akan melakukan klasifikasi atlet pada 2-5 Oktober 2018, yang melibatkan 91 ahli. "Pengelompokan didasarkan pada fungsi tubuh ketika bertanding," kata Direktur Klasifikasi Inapgoc Christopher Muliadi Siagian, Rabu pekan lalu.
Dalam klasifikasi, ada sistem penilaian yang dilakukan secara medis dan menyeluruh terhadap fungsi tubuh, termasuk kekuatan dan kelemahan otot ketika bertanding. Jadi terbuka peluang atlet yang anggota tubuhnya diamputasi bisa berada dalam satu kelas dengan mereka yang anggota tubuhnya masih lengkap.
Dengan situasi seperti itu, menurut Christopher, wajar jika ada penonton menganggap pertandingan tak seimbang setelah melihat atletnya tampil. Sebab, mereka biasanya menilai dari kondisi fisik luar saja. "Padahal para atlet itu sudah menjalani proses evaluasi ketat dan kami berusaha menempatkan mereka dalam kelas yang seimbang," ujarnya.
Para atlet penyandang disabilitas dibagi dalam tiga kategori, yaitu atlet baru (new), atlet dengan peninjauan kembali (review), dan atlet terkonfirmasi (confirmed). Status ini ditentukan oleh federasi internasional dari tiap cabang olahraga yang dipertandingkan. Status ini ibarat tanda pengenal bagi atlet.
Berbeda dengan atlet baru atau pemegang lisensi review, mereka yang mengantongi status confirmed tidak perlu lagi mengikuti sesi klasifikasi. Mereka bisa bertanding di semua ajang Paralimpiade asalkan mengikuti kelas dan cabang olahraga yang sama. "Jika pindah cabang olahraga, statusnya jadi atlet baru dan perlu menjalani evaluasi untuk klasifikasi lagi," kata Christopher.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Dinda Leo Listy (Solo)
Pesta Atlet Difabel Asia
LEBIH dari 2.800 atlet dengan disabilitas akan bertanding di Asian Para Games III yang digelar pada 6-13 Oktober 2018 di Jakarta. Para atlet difabel dikelompokkan berdasarkan fungsi tubuh yang masih bisa dimanfaatkan secara maksimal dalam pertandingan. Komite Paralimpiade Internasional menetapkan 10 tipe keterbatasan tubuh yang menentukan klasifikasi atlet difabel. Setiap federasi cabang olahraga internasional akan menentukan kategori nomor pertandingan. Tujuannya agar laga tak berat sebelah atau menguntungkan atlet yang paling ringan keterbatasan fisiknya.
10 Tipe Keterbatasan
1. Kelemahan kekuatan otot: Penurunan fungsi dan kekuatan otot di anggota tubuh, sebagian sisi samping atau bawah badan.
2. Keterbatasan gerakan: Berkurangnya jangkauan gerak satu atau lebih sendi tubuh secara sistematis.
3. Ketidaklengkapan anggota tubuh: Absennya sebagian atau seluruh tulang atau sendi akibat amputasi karena sakit atau trauma, atau bawaan lahir.
4. Perbedaan panjang kaki: Tulang di salah satu kaki memendek secara signifikan akibat bawaan lahir atau trauma.
5. Perawakan pendek: Ukuran postur tubuh, lengan, dan kaki lebih pendek.
6. Hypertonia: Menyusutnya kemampuan otot untuk meregang karena bertambahnya tekanan akibat cedera, penyakit, atau gangguan saraf.
7. Ataxia: Keterbatasan koordinasi gerak otot.
8. Athetosis: Ketidakseimbangan gerak tubuh yang sulit dikontrol, sulit menjaga postur simetris.
9. Keterbatasan penglihatan akibat struktur/reseptor, saraf optik
- B1: Kemampuan melihat sangat rendah atau buta sama sekali.
- B2: Kemampuan lebih baik dari B1, bidang pandang kurang dari radius 5 derajat.
- B3: Kemampuan lebih baik dari B2, bidang pandang kurang dari radius 20 derajat.
10. Keterbatasan intelektual: Atlet dalam kategori ini memiliki fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang terbatas, biasanya didiagnosis sebelum usia 18 tahun.
Asian Para Games 2018
18 cabang olahraga:
- Bola basket
- Bola voli
- Anggar
- Tenis meja
- Renang
- Menembak
- Judo
- Bersepeda
- Catur
- Angkat beban
- Boling
- Bola gawang
- Bulu tangkis
- Para atletik
- Panahan
- Boccia
- Boling lapangan
- Tenis
582 nomor pertandingan
42 negara peserta
3.000 atlet (300 di antaranya atlet Indonesia)
1.800 ofisial
500 media peliput
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo