Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI panggung terjadi semacam interviu. Nay Hasegawa, sutradara muda Jepang, melakukan tanya-jawab dengan Kae Ishimoto, penari butoh. Hasegawa mengorek riwayat kepenarian Ishimoto, dari saat ia mempelajari tari modern di sekolah menengah atas sampai akhirnya memilih mendalami butoh dan berkeliling dunia memberikan lokakarya tentang butoh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sekarang fokusku butoh. Dalam festival butoh di Hungaria, aku pernah membuat karya berjudul WHB, kependekan dari What the Hell’s Butoh?" kata Ishimoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penari butoh cenderung mulai menari pada usia tua. Umurmu belum 40 tahun. Kamu masih dianggap muda sebagai penari butoh," ujar Hasegawa.
Butoh adalah gerakan tari radikal yang muncul seusai Perang Dunia II di Jepang, setelah terjadi demonstrasi-demonstrasi besar mahasiswa. Secara subversif gerakan ini mempertanyakan kembali apa itu yang disebut tari. Butoh melawan segala bentuk ekspresi keindahan balet dan tari modern. Sementara gerakan-gerakan balet mengeksplorasi sisi ideal tubuh, butoh, sebaliknya, menggali dimensi-dimensi kelam atau sakit dari tubuh, bahkan insek atau binatang lain.
Estetika butoh adalah grotesque. Pengamat menyebut butoh sebagai gerakan the art of ugliness. Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata adalah pelopor butoh. Keduanya berkolaborasi pada 1959 menampilkan karya Kinjinki, yang terinspirasi novel Yukio Mishima. Keduanya sudah wafat, tapi pengikut mereka terus tumbuh sampai era digital ini. Butoh menyebar ke Eropa pada 1970-an.
Pertunjukan berjudul Eniac dari FujiyamaAnnette asal Tokyo di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 September lalu, merupakan bagian dari Djakarta Teater Platform, program Dewan Kesenian Jakarta. Pada awal pertunjukan, Kae Ishimoto turun dari panggung dan bertanya kepada penonton apakah ada yang tahu tentang butoh. "Tak ada yang tahu?" Di panggung selanjutnya, ia seperti memberikan sebuah workshop. "Ada yang bilang tempat butoh itu di dalam rahim," ucapnya. Uraiannya diselingi tanya-jawab dengan Nay Hasegawa.
"Teater presentasi" seperti itu tengah menjadi mode di kalangan teaterawan muda Jepang. Genre teater ini tidak mementaskan sebuah cerita. Aktor tidak memainkan karakter lain. Aktor lebih berfungsi sebagai peraga. Modalnya sering kali sederhana: layar, proyektor, YouTube, tubuh sendiri, dan percakapan-percakapan. Tokyo Performing Arts Market (TPAM)festival tahunan di Yokohama, Jepangmisalnya, banyak menampilkan pertunjukan "teater presentasi". FujiyamaAnnette salah satu kelompok yang sering tampil dalam festival itu.
Dalam TPAM 2017, misalnya, saya menyaksikan pertunjukan Zen Yamashita di Kanagawa Arts Theatre, Yokohama, berjudul Road to Evil Spirit. Jenisnya sama dengan apa yang disajikan Kae Ishimoto. Ia memeragakan sebuah workshop tari yang pernah diikutinya. Tapi eksekusinya berbeda. Yamashita pernah belajar tentang kesurupan di Bali. Pada layar terdapat teks "gurunya yang tak kelihatan" yang meminta Yamashita melakukan gerakan yang bisa menimbulkan trance. "Roh jahat itu ada di ginjal." Yamashita lalu menampilkan ekspresi seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya.
Malam itu, Kae Ishimoto menjelaskan hubungan murid dan guru dalam mempelajari butoh. Ia mengikuti aliran yang dikembangkan Tatsumi Hijikata. "Saya tak pernah bertemu dengan Hijikata. Saya belajar kepada Yukio Waguri, murid Hijikata," tuturnya. Yukio Waguri pernah beberapa kali datang ke Indonesia. Ia pertama kali datang saat tampil di Art Summit 1998 dengan pertunjukan berjudul Topography of Fantasy. Waguri dikenal menyebarkan metode koreografi butoh Hijikata yang disebut butoh-fu. Waguri wafat tahun lalu.
Menarik sebenarnya bila Ishimoto membedah dan mendemonstrasikan apa yang disebut butoh-fu itu. Tapi kita hanya diajak sepintas mengetahuinya saat ia menggelar lokakarya di Beijing sampai Sao Paulo, Brasil. "Saya meminta peserta lokakarya membayangkan dirinya masuk ke ruang yang dipenuhi serbuk. Berat badan mereka turun. Dan tubuh mereka sedikit demi sedikit menjadi serbuk," katanya, tapi tanpa memberikan contoh praktik adegan tersebut. Kita juga tak mendapat sosok Hijikata secara utuh dalam peragaan Ishimoto. Hanya dikatakan bahwa Hijikata seorang pemberontak. Ia pernah membawa babi, juga sepeda motor, dan naik dari kursi penonton ke panggung.
Sempat ditayangkan video dokumenter mengenai Hijikata. Lalu seolah-olah terjadi tanya-jawab antara Ishimoto dan Hijikata. "Bagaimana kabar murid-muridku?" Hijikata bertanya kepada Ishimoto, seperti dapat dibaca pada teks di layar. "Baik-baik saja," kata Ishimoto. "Apa pekerjaaanmu?" Hijikata kembali bertanya. "Aku mengajar butoh-fu," Ishimoto menjawab. "Hmmm, kau mengajar butoh-fu? Aku ingin minum kopi," ucap Hijikata. Dan kemudian ada adegan Nay Hasegawa memeragakan Hijikata yang melempar kopi.
Dalam sebuah adegan, Ishimoto juga menyinggung Kazuo Ohno. Ia mengutip kalimat Ohno bahwa makin sepuh seorang penari, butoh yang dibawakannya akan makin matang. Menarik sebenarnya hubungan antara Hijikata dan Ohno. Apa perbedaan mereka? Gerak-gerak khas apa yang menjadi keistimewaan keduanya? Tapi "ceramah" tak sampai ke situ, apalagi praktik petilan contoh perbedaan.
Walhasil, sesungguhnya, kita sama sekali tak bisa melihat kekuatan Ishimoto sebagai penari butoh di panggung. Itu berbeda dengan pertunjukan Zen Yamashita. Kita bisa merasakan bagaimana pergumulan Yamashita dengan tari tentang leak Bali. Dalam sebuah bagian saat teks memintanya berteriak dari napas yang dientak dari perut dan anus, ia pun berteriak sembari berputar. Tubuhnya mengigal-igal. Klimaksnya, ia terkapar di panggung
Meski begitu, ada yang menyentuh dari pentas Ishimoto. Diiringi lagu Sound of Silence karya Simon and Garfunkel, yang entah dinyanyikan siapa, Ishimoto dan Hasegawa bergulingan. Seraya berguling, Ishimoto melemparkan pertanyaan kepada Hijikata: "Tuan Hijikata, benarkah Anda meninggalkan sejumlah tugas? Tuan Hijikata, bagaimana menurut Anda perkembangan butoh saat ini? Benarkah butoh berakhir? Mau dibawa ke mana butoh? Apakah butoh abadi?"
Sederet pertanyaan tersebut seolah-olah menunjukan kegamangan Ishimoto sebagai penari butoh pada era digital saat ini. Pertunjukan ini memang cenderung konseptual, membicarakan butoh tanpa cukup mendemonstrasikan kekuatan fisik gerakan-gerakannya. Tapi, seperti dikatakan Ishimoto di panggung kala ia ditanya Hasegawa tentang apa sesungguhnya butoh: butoh sejatinya adalah tentang berpikir apa itu butoh.
Seno Joko Suyono
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo