Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

olahraga

Merindu Legenda Thomas-Uber

Legenda bulu tangkis Indonesia merajai turnamen Piala Thomas dengan 13 kali kemenangan dan 3 kali meraih Piala Uber. Sebagian besar masih bergelut di dunia badminton.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia menjadi negara paling banyak mengoleksi Piala Thomas, yakni 13 kali.

  • Piala Thomas terakhir Indonesia direbut pada 2002.

  • Prestasi yang pernah diukir para legenda bulu tangkis Indonesia itu kini dirindukan.

DARI pinggir arena, sorot mata Iie Sumirat memindai belasan anak yang sedang berlatih di tiga lapangan di gedung olahraga miliknya di Jalan Soekarno-Hatta Nomor 440, Kota Bandung, awal September lalu. Tangannya pun ringan membersihkan lapangan agar anak-anak didiknya di Perkumpulan Bulu Tangkis Sangkuriang Graha Sarana (SGS) itu nyaman berlatih. “Ini pengabdian sebagai mantan atlet bulu tangkis nasional,” kata peraih medali perak tunggal putra Piala Dunia Bulu Tangkis di Jepang pada 1979 tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekerjaan melatih dilakoni Iie sejak 1981 setelah ia pensiun sebagai atlet sehabis memenangi turnamen Piala Thomas terakhirnya pada 1979. Kala itu, Iie nyaris tidak diturunkan di babak final melawan Denmark. Saat di semifinal, posisinya sebagai tunggal ketiga diisi Lius Pongoh. Tak ingin kejadian di Piala Thomas 1976 di Bangkok, saat ia hanya bermain sampai babak semifinal, terulang, Iie pulang ke rumahnya di Bandung sebagai protes. Pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia pun menjemputnya untuk bergabung kembali dengan tim dan bermain di partai puncak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iie tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Pada malam pertama, dalam permainan tunggal pertama, ia menumbangkan andalan Denmark, Svend Pri, yang mempermalukan Rudy Hartono di final All England 1975 dan final Piala Thomas di Jakarta pada 1973. Malam kedua, Iie mengalahkan bintang muda Denmark, Morten Frost Hansen. Ia pun turun di nomor ganda bersama Tjun Tjun untuk menggantikan Johan Wahyudi yang terserang flu. Iie/Tjun Tjun menang atas pasangan Morten Frost Hansen/Steen Fladberg. Indonesia mengalahkan Denmark 9-0 dan meraih Piala Thomas yang ketujuh.

Pasangan bulutangkis ganda putri Indonesia Lili Tampi dan Finarsih saat bertanding pada Piala Uber Cup , Jakarta tahun 1994/TEMPO / Robin Ong

Nama Iie Sumirat, yang lahir di Bandung, 15 November 1952, menjadi magnet bagi orang tua dan anak didiknya untuk berlatih di SGS Bandung sedari kecil. “Suka pemain yang membawa nama Indonesia seperti Taufik Hidayat. Iie Sumirat juga terkenal,” ujar Davu Raissa Elazar, 18 tahun, mengungkap alasannya bergabung dengan SGS sejak usia 12 tahun. Rekan sebaya Davu, Maria Veronica Ngadien Prawesti, yang berlatih sejak kelas V sekolah dasar, mengakui setia di klub SGS. “Karena mau dilatih sama Pak Iie,” tuturnya.

Tangan dingin Iie ikut memoles juara dunia 2005 dan peraih medali emas Olimpiade Athena 2004, Taufik Hidayat, serta peraih medali perunggu Olimpiade Tokyo 2020, Anthony Sinisuka Ginting. “Tidak disangka ada Ginting. Mudah-mudahan ada lagi. Yang penting dibina saja dulu,” ucap Iie tentang anak-anak didiknya. Flandy Limpele, yang bersama Eng Hian meraih medali perunggu Olimpiade Athena 2004, juga alumnus SGS. Kini Flandy menjadi pelatih ganda putra tim nasional Malaysia.

Selain Iie, legenda bulu tangkis yang menjadi tulang punggung Indonesia merajai Piala Thomas 1970-1980-an adalah Liem Swie King. Pemain yang mempopulerkan pukulan smash sambil melompat sehingga dijuluki “King Smash” ini mengikuti enam Piala Thomas dan tiga di antaranya menjadi juara (1976, 1979, dan 1984). King juga hampir enam kali berturut-turut menjadi juara Piala Dunia pada 1979-1986. Ia menjuarai All England tiga kali: pada 1978 mengalahkan maestro badminton Rudy Hartono, pada 1979 menumbangkan Flemming Delfs dari Denmark, dan pada 1981 menekuk Prakash Padukone dari India.

Liem Swie King memutuskan gantung raket pada 1988 saat berusia 32 tahun. Meski tiga dekade tak bermain bulu tangkis, namanya tetap dikenang. Kisah hidupnya bahkan sempat dibuatkan film dengan judul King pada 2009. Bukan hanya itu. King juga membuat biografi dengan judul Panggil Aku King (2009). “Sekarang berfokus ke keluarga, main sama cucu, dan kebanyakan di rumah,” ucapnya saat dihubungi, Kamis, 14 Oktober lalu. “Kalau olahraga rutin jalan pagi.”

Setelah pensiun dari bulu tangkis, King, 64 tahun, terjun ke ranah bisnis dengan mengelola hotel di kawasan Melawai, Jakarta, milik mertuanya. Dia juga membuka usaha griya pijat kesehatan lantaran sering dipijat saat masih bermain dulu. Namun pengelolaan semua usaha itu telah diserahkan kepada anak-anaknya. “Sekarang udah pensiun, usaha diurus sama anak-anak,” tutur peraih medali emas tunggal putra dan beregu putra Asian Games Bangkok 1978 tersebut.

Pemain bulu tangkis ganda putri Indonesia, Rosiana Tendean dan Imelda Wiguna, bertanding dalam kejuaraan Piala Uber di Istora Senayan, Jakarta, 1986./Dok TEMPO/Rizal Pahlevi

Meski tak lagi aktif bermain bulu tangkis, King masih rutin berurusan dengan dunia yang memberinya segudang prestasi itu. Dia kerap mengunjungi klub Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum, tempat yang membesarkan namanya hingga ke panggung dunia, untuk memberikan coaching clinic—membagikan ilmu, memberikan motivasi, dan berbagi pengalaman kepada para atlet pemula. “Tapi empat-lima bulan ini kebanyakan di rumah karena pandemi,” katanya.

Liem Swie King lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada 28 Februari 1956. Ia menikah dengan Lucia Alamsah dan mempunyai tiga anak, tapi tak ada yang mengikuti jejaknya sebagai pemain bulu tangkis. Saat bermain, ia mengandalkan tangan kanan sebagai senjata. Sejak kecil, King menggemari bulu tangkis. Dia kerap bermain di lapangan belakang rumahnya. Bakatnya mulai tercium setelah ia sering datang atau ikut bertanding di barak rokok PB Djarum pada 1969.

Matang karena ditempa latihan berat, King mampu membuktikan diri dengan memenangi Kejuaraan Nasional tunggal putra di Piala Munadi 1972. Raihan pertama ini menjadi cikal-bakal King untuk terus berprestasi di kancah nasional dan akhirnya dunia. Kemampuannya tak lepas dari didikan pelatih Mohammad Anwari. Bakat King muncul karena ia lahir di keluarga penyuka bulu tangkis, di samping memiliki kemauan keras untuk terus menjadi pemenang.

Pasca-Liem Swie King, Indonesia tidak kehabisan bibit pemain berbakat. Pada 1990-an lahir atlet bernama Hariyanto Arbi. Kehebatan pria kelahiran Kudus, 21 Januari 1972, ini membuatnya dijuluki “Smash 100 Watt”. Pukulan yang dikenal mematikan membuat Hariyanto menguasai All England 1993 dan 1994. Ia pun membantu Tim Merah Putih menjuarai Piala Thomas 1994, 1996, 1998, dan 2000.

Pada 2001, Hariyanto memutuskan gantung raket. Setelah pensiun sebagai atlet, Hariyanto bercerita, ia langsung mendapat tawaran melatih salah satu negara di kawasan Asia. “Dulu ada tawaran melatih di luar (negeri), sebelum tekuni bisnis. Waktu itu kebetulan (sudah) nikah, terus istri juga enggak mau,” ujar Hariyanto saat dihubungi, Kamis, 14 Oktober lalu.

Setelah menolak tawaran melatih di luar negeri, adik Hastomo Arbi dan Eddy Hartono ini membuka perusahaan peralatan olahraga pada 2003. Ia memilih nama Flypower sebagai brand yang dihasilkan oleh perusahaannya. “Dulu pas banget momennya, jadi menekuni bisnis karena ada kesempatan dan momen. Pas dijalani ternyata diterima pasar,” tuturnya.

Legenda Bulutangkis, Heryanto Arbi dan Liem Swie King, 24 September 2021./Dokumentasi Pribadi

Meski tidak lagi terjun secara langsung ke dunia bulu tangkis, Hariyanto masih mengikuti perkembangannya. Ia mengatakan, secara sistem latihan, tidak ada yang berubah di pemusatan latihan nasional Cipayung, Jakarta Timur. Namun, kata dia, perubahan aturan pertandingan dari sistem 15 poin menjadi 21 poin membuat kekuatan bulu tangkis lebih merata. “Jadi kalau dulu Asia lebih gampang menang atas Eropa. Kalau sekarang game 21 poin ini siapa pun bisa menang,” ucapnya.

Berbeda dengan legenda lain yang masih menjalani aktivitas normal, Verawaty Wiharjo atau Verawaty Fajrin tengah menjalani perawatan di ruang VIP Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Juara dunia di Jakarta pada 1980 itu menderita kanker paru-paru stadium III. Suami Verawaty, Fadjriansyah Bidoein Aham, mengungkapkan kanker yang bersarang di tubuh istrinya tidak terdeteksi. Sejak pensiun dari badminton profesional pada 1990, Verawaty rutin berolahraga. “Dia olahraga terus. Tiap pagi dia main tenis karena kami punya lapangan di dekat rumah,” kata Fadjriansyah, Kamis, 14 Oktober lalu.

Pandemi Covid-19 yang merebak pada awal 2020 membuat rutinitas Verawaty berubah. Perempuan 63 tahun itu terpaksa berhenti olahraga akibat penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Selanjutnya, menurut Fadjriansyah, Verawaty mulai batuk-batuk sejak September, Oktober, hingga November 2020. “Dari situ sudah mulai bergantian masuk rumah sakit, dari Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Polri, hingga terakhir ini di Rumah Sakit Kanker Dharmais,” ucapnya.

Semasa aktif bermain, Verawaty Fajrin kerap mendulang prestasi bagi Indonesia. Di kancah SEA Games, ia menyumbangkan 11 medali emas buat Merah Putih. Catatan membanggakan tersebut diraihnya mulai 1977 hingga 1989 lewat nomor beregu putri, ganda putri, tunggal putri, dan ganda campuran. Prestasi perempuan kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1957, ini yang paling menginspirasi adalah pada SEA Games 1981. Kala itu, ia memborong tiga medali emas, yang menular kepada rekan-rekannya sehingga mampu meraih medali emas di semua nomor pertandingan.

Di Piala Uber, Verawaty berpartisipasi dalam Tim Merah Putih sebanyak lima kali sejak 1978 hingga 1990. Dalam kejuaraan yang diikuti Verawaty itu, Indonesia menduduki posisi runner-up. Di turnamen beregu campuran, Piala Sudirman di Jakarta pada 1989, ia menjadi salah satu pahlawan Indonesia dalam merebut Piala Sudirman untuk pertama kali dan satu-satunya hingga saat ini. Di final, Indonesia menang 3-2 atas Korea Selatan. Verawaty, yang turun di ganda putri dengan Yanti Kusmiati, menjadi penentu kemenangan Indonesia saat tampil di ganda campuran bersama Eddy Hartono.

Sepanjang keikutsertaan di Piala Uber sejak 1957, Indonesia baru meraih piala tersebut tiga kali, yakni pada 1975 di Jakarta, pada 1994 di Jakarta, dan pada 1996 di Hong Kong. Salah satu legenda bulu tangkis wanita Indonesia yang menyumbangkan Piala Uber pertama kali pada 1975 adalah Imelda Wigoena. Di final yang berlangsung pada 6 Juni 1975 itu, Indonesia mengalahkan Jepang dengan skor 5-2. Jepang memenangi dua nomor tunggal, tapi kalah di semua nomor ganda.

Imelda, yang saat itu masih kuliah di Akademi Bahasa Asing di Bandung, bermain di dua nomor ganda. Ia berpasangan dengan Theresia Widiastuty. Mereka menang saat melawan pasangan Hiroe Yuki/Mika Ikeda dengan skor 15-4 dan 15-9. Tuty-Imelda juga menundukkan pasangan Etsuko Takenaka/Machiko Aizawa dengan skor 17-14 dan 15-0. Sepanjang kariernya, Imelda yang kelahiran Slawi, Jawa Tengah, 12 Oktober 1951, itu mengikuti lima Piala Uber pada 1974-1986.

Di All England 1979, Imelda merebut dua gelar sekaligus di nomor ganda putri bersama Verawaty Fajrin dan di nomor ganda campuran bersama Christian Hadinata. Dia mengaku, menghadapi ajang itu, mereka menjalani persiapan yang matang. “Setiap mau tanding, apalagi melawan pemain Jepang, kami selalu mengingatkan bahwa besok harus siap capek,” kata Imelda, yang ditemui pada awal September lalu. “Kami siap karena latihan fisik Pak Tahir Djide (pelatih fisik) itu terkenal (berat),” tuturnya.

Imelda, yang kini menjadi Ketua Harian Perkumpulan Bulu Tangkis Jaya Raya, memutuskan berhenti sebagai atlet pada 1986. Meski tak lagi menjadi atlet, ibu dua anak ini merasa berutang budi kepada PBSI dan masyarakat yang telah mendukungnya. “Saya menjadi seperti sekarang ini berkat PBSI,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk membalas budi, ia sempat aktif di PBSI menjadi pelatih, lalu menjadi pencari bakat baru bulu tangkis.

PB Jaya Raya yang diasuh Imelda telah mencetak sejumlah nama besar. Lima dari sembilan anggota tim Piala Uber 1994 berasal dari Jaya Raya, yaitu Susy Susanti, Mia Audina, Finarsih, Lili Tampi, dan Rosiana Tendean. Kemudian lahir talenta seperti Adriyanti Firdasari, Pia Zebadiah, dan Greysia Polii, yang bersama Apriyani Rahayu meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Dari kelompok putra, Jaya Raya juga tak putus menyumbangkan pemain ke pelatnas, seperti Tony Gunawan, Candra Wijaya, Rudy Wijaya, Hendra Setiawan, dan Markis Kido.

Susi Susanti./Tempo/Nurdiansah

Susy Susanti juga menjadi legenda bulu tangkis wanita. Ia meraih medali emas pertama Indonesia di Olimpiade Barcelona pada 1992. Dua tahun kemudian, Susy memiliki andil bagi Indonesia dalam merebut Piala Uber, yang didominasi Cina. Indonesia, yang satu grup dengan Cina, dibantai 0-5 di fase grup. Namun Susy dan kawan-kawan berhasil membalikkan keadaan di babak final dengan mengalahkan Cina 4-1. Susy, yang turun di nomor pertama, menjadi kunci kemenangan Indonesia. Ia mengalahkan Ye Zhaoying dengan rubber set: 4-11, 11-5, dan 11-5.

Sepanjang kariernya sebagai atlet, Susy mengikuti lima Piala Uber, dua di antaranya ia menangi, yakni pada 1994 dan 1996. Ia juga mengikuti Piala Sudirman 1989 dan empat kejuaraan lain piala tersebut. Susy menjadi juara dunia pada 1993 di Birmingham, Inggris, dan mengoleksi lima Piala Dunia tunggal putri 1989-1997. Ia menikah dengan pebulu tangkis Alan Budikusuma pada 1997. Bersama Susy, Alan juga meraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992.

Susy mengapresiasi perjuangan pemain muda Indonesia di Piala Uber 2020 di Aarhus, Denmark, 9-17 Oktober 2021. Meski kalah oleh Thailand, kata Susy, penampilan pemain muda Indonesia itu bisa menjadi pengalaman berharga untuk turnamen beregu ke depan. “Ribka Sugiarto, Siti Fadia Silva Ramadhanti, Puti Kususma Wardani, ataupun Ester Nurumi Tri Wardoyo telah menunjukkan mental yang baik ketika diberi kesempatan,” ucap Susy saat dihubungi, Sabtu, 16 Oktober lalu. “Kalau Gregoria Mariska Tunjung, dia sebenarnya punya potensi. Kalau lebih fokus, dia bisa menjadi pemain hebat,” ujarnya.

Buat tim Piala Thomas, Susy mengatakan, peluang tetap terbuka untuk membuat sejarah kembali merebut supremasi beregu putra ini. Meski menjadi negara paling banyak mengoleksi Piala Thomas, yakni 13 kali, Indonesia terakhir kali merebut piala itu pada 2002. Lawan yang dihadapi di Piala Thomas 2020 cukup berat, tuan rumah Denmark di babak semifinal. “Permainan Anthony Sinisuka Ginting terakhir jauh lebih baik. Tapi konsistensi menjadi satu persoalan,” katanya. “Saya paham beban yang dirasakan Ginting karena saya pernah di posisi sebagai ujung tombak tim.”

IRSYAN HASYIM, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus