Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tubuh yang Kehilangan Eksistensi

Komunitas Payung Hitam menyuguhkan pentas daring bertajuk Urab Lamron. Menafsirkan respons tubuh atas "normal baru" di masa pandemi.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pentas teater oleh Komunitas Payung Hitam arahan sutradara Rahman Sabur

  • Pentas teater yang menafsirkan respons tubuh atas normal baru di masa pandemi.

  • Pertunjukan secara daring.

SANGAT mungkin watak peradaban manusia bagaikan batu Sisyphus, yang pada setiap titik puncaknya akan kembali menggelinding ke dasar lembah persoalan baru. Sementara Sisyphus sepenuhnya sadar bahwa dia digariskan untuk menantang kehadiran dirinya dalam bekukan hukum besi para dewa, peradaban manusia masa kini berhadapan dengan realitas bahwa semua produk dari kemutakhiran dan kecanggihan teknologi biomedis yang pernah dianggap sebagai momentum penting menjadi bumerang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam konteks itulah pandemi Covid-19 hadir di lingkungan kehidupan sosial dan personal kita, membekuk seluruh daya dan menyita, bahkan menghabiskan, energi serta optimisme yang selama ini kita tebar sebagai jala untuk meraih momentum dan harapan lain dalam bentangan cakrawala optimisme manusia modern. Namun, di antara itu pula, di antara sisa-sisa optimisme serta upaya mengatasi pandemi yang tak terkira dampaknya, sejumlah pertanyaan dan gugatan muncul dalam bentuk protes demi protes dan menyebar dalam beragam wujud, dari mural sampai ungkapan yang menyebar di media sosial yang tak berujung. Labirin masalah kian membingungkan, bahkan menciptakan disorientasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam bekukan masalah akibat Covid-19 itulah Komunitas Payung Hitam (KPH), Bandung, dengan sutradara Rahman Sabur dan dukungan pelaku teater Mohammad Wail Irsyad, Heryana G. Benu, Sugiyanti Ariani, serta Intan M. Harby memanggungkan secara daring tiga sajian bertajuk Urab Lamron pada Kamis-Sabtu, 7-9 Oktober lalu. Pementasan yang masing-masing berdurasi sekitar 30 menit dengan tajuk pelesetan gaya “kera Ngalam” (arek Malang)—dari Normal Baru menjadi Urab Lamron—itu adalah cara KPH membaca tubuh di masa pandemi Covid-19, suatu upaya memahami makna yang sebenarnya dari tubuh dan tafsir terhadap kehidupan normal baru.

Mohammad Wail Irsyad dan Heryana G. Benu dalam Urab Lamron 2 yang dipentaskan secara daring. Dok. Rahman Sabur

Dalam proses pembacaan terhadap tubuh dan penafsiran tentang kehidupan yang dibekuk pandemi itulah KPH menyimpulkan bahwa, realitasnya, Urab Lamron adalah ketidaknormalan ekstrem yang sudah ada. Jauh sebelum terjadi pandemi, situasi sudah tidak normal. Dengan kata lain, bagi KPH, kehidupan menuju normal baru adalah lapisan-lapisan yang saling silang dan bertumpuk dari situasi dan kondisi yang pada dasarnya kehidupan yang dianggap normal pada masa sebelumnya itu sendiri sudah tak normal: ketidakadilan sosial makin terasa, penegakan hukum jauh dari harapan, kerusakan lingkungan hidup, kerusakan tata ruang sosial, serta keretakan relasi sosial di segala lapisan masyarakat yang menciptakan konflik horizontal di antara akumulasi kekuasaan di tangan segelintir elite dan kaum oligarki.

KPH, yang sejak lahir pada 1983 membentangkan panggung sajian teater yang sarat dengan berbagai masalah sosial, dan sejak 1990 menabalkan diri sebagai teater tubuh, menjadi fenomena yang sangat menarik bagi kehidupan seni pertunjukan di Indonesia. Dasar konsep teater tubuh itu yang kembali disajikan dalam Urab Lamron 1-2-3 dengan hadirnya sosok yang dimainkan tunggal oleh Mohammad Wail Irsyad pada pentas pertama dalam tatanan ruang yang menghadirkan geliat sesosok tubuh melalui suatu lubang dinding, dan geliat demi geliat tubuh memenuhi seluruh pementasan awal ini.

Dalam Urab Lamron 2, kembali Mohammad Wail Irsyad bermain dengan Heryana G. Benu dengan tata panggung dalam suatu gambaran dengan menghadirkan sebuah gerobak yang mungkin menjadi ungkapan metafora dari sisa-sisa ruang pertemuan personal yang ikut menghadirkan sesosok bayi yang telah menjadi mayat. Gambaran tragis ini rasanya tak menggetarkan, bahkan terasa menjadi melodrama. Begitu juga sajian Urab Lamron 1, kehadiran tubuh dalam berbagai geliat terasa monoton. Dan kembali melodrama saya rasakan dalam Urab Lamron 3, yang menghadirkan Sugiyanti Ariani dan Intan M. Harby. Satu di antara mereka tampak seolah-olah menari di depan bentangan mural Sukarno diiringi petikan pidatonya dan lemparan semacam lumpur terhadap figur tanpa kepala pada mural yang mengingatkan kita akan mural di tembok pinggir jalan yang pernah kepolisian larang. Di antara itu, terdengar bunyi tokek, mungkin menghitung waktu, mungkin menerka peruntungan. Siapa tahu? Tapi kemarahan telah diluapkan.

Pentas Urab Lamron 3 yang dipentaskan secara daring. Dok. Rahman Sabur

Betapapun upaya dramatis disodorkan, tiga tontonan ini bagi saya masih terasa datar, monoton, dan melodramatis. Saya merasakan ada sejumlah masalah yang dihadapi oleh KPH. Mengingat dan merenungi KPH sebagai komunitas yang saya kagumi sejak 1980-an, khususnya dengan pertunjukan seperti Kaspar, Merah Bolong Putih Doblong, dan Relief Air Mata, untuk menyebut tiga pentas KPH yang paling memukau saya, rasanya Rahman Sabur membutuhkan refleksi dan eksplorasi untuk kembali mencari gagasan dan metode yang autentik berkaitan dengan teater tubuh.

Kesan terhadap teater tubuh yang ditekuni Rahman Sabur bersama KPH sekarang terasa bersifat instrumental, tubuh justru menjadi membisu dan tak terasa ada suara dari ruang dalam, inner space, yang hadir pada ruang teater. Saya kira mungkin pendekatan fungsional terhadap tubuh, sebagaimana kebanyakan pelaku dan pengamat teater di Indonesia yang memandang dan memahami tubuh bak papan tulis yang dicoreti beragam pikiran, stempel kutipan berbagai analisis yang ditabalkan menjadikan tubuh sebagai obyek analisis, seperti tubuh garam, tubuh gunung, tubuh air, tubuh sungai, tubuh urban.

Pentas Urab Lamron 3 yang dipentaskan secara daring. Dok. Rahman Sabur

Tubuh tak lagi hadir sebagai eksistensi yang total bersama suara-suara dari kedalaman ruang dan pengalaman tubuh personal. Abstraksi pemikiran telah menjadi beban tubuh itu sendiri yang merupakan dampak dari sirkus intelektual para pelaku dan pengamat teater yang kian kenes oleh berbagai kutipan teori. Dan Rahman Sabur yang sepenuh hidupnya berhikmat kepada teater dan KPH, sekali lagi, rasanya masih memiliki kemungkinan untuk melakukan pencarian, pelacakan, dan eksplorasi ke arah autentisitas. Sebab, KPH memiliki pelaku-pelaku teater yang militan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus