Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemimpin redaksi dan CEO Rappler Maria Ressa mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian 2021 atas upayanya mempertahankan kebebasan pers.
Maria berbagi penghargaan Nobel Perdamaian dengan Dmitry Muratov, pemimpin redaksi surat kabar independen Rusia, Novaya Gazeta.
Perjuangan Maria dan rekan-rekannya penuh risiko karena berhadapan dengan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte yang represif.
MARIA Ressa sedang menjadi salah satu pembicara webinar tentang masa depan media independen di Asia Tenggara saat mendapat panggilan telepon, Jumat, 8 Oktober lalu. Di ujung telepon, Ketua Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen mengabarkan pemimpin redaksi dan Chief Executive Officer Rappler itu meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021. Ressa berbagi Nobel Perdamaian dengan Dmitry Muratov, pemimpin redaksi surat kabar independen Rusia, Novaya Gazeta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa menit kemudian, masih tampak terkejut atas panggilan telepon itu, Ressa kembali bergabung dalam webinar. Ia lantas mengumumkan telah memenangi Nobel Perdamaian, yang langsung disambut tepuk tangan pembicara lain di forum itu, yaitu pemimpin redaksi Malaysiakini Steven Gan dan Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Arif Zulkifli. Sejak saat itu permintaan wawancara datang bertubi-tubi menghampiri Ressa. "Setelah mendapat kabar pukul 5 sore, saya meladeni wawancara sampai pukul 2 pagi," ujar Ressa, 58 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Kamis, 14 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ressa selama bertahun-tahun berjuang mempertahankan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Filipina. Ikhtiarnya berliku di tengah kekuasaan Presiden Rodrigo Duterte yang tengah melancarkan perang mematikan terhadap narkotik. Pemberitaan investigatif Rappler kerap membuat rezim Duterte naik pitam. Akibatnya, Ressa dan medianya mesti berjibaku menghadapi sederet kasus hukum. "Semua kasus itu bermotif politik dan saya akan memenanginya di pengadilan," tutur Maria, yang telah menjadi jurnalis selama 35 tahun.
Di sela-sela jadwal wawancaranya yang padat, Maria Ressa menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Abdul Manan, dan Dian Yuliastuti. Dengan gaya bicaranya yang lincah dan energetik, jurnalis yang bertahun-tahun menyelidiki terorisme, termasuk ketika satu dasawarsa bertugas di Indonesia, ini menceritakan tentang makin pentingnya peran wartawan saat ini. Ia juga menyinggung peta politik Filipina selepas era kekuasaan Duterte.
Dari percakapan dengan Komite Nobel, apa yang membuat mereka akhirnya memberikan Nobel Perdamaian kepada Anda dan Dmitry Muratov?
Ketua komite, Berit Reiss-Andersen, mengatakan Komite Nobel telah memikirkan kebebasan berekspresi selama beberapa tahun. Mereka juga berpikir tentang jurnalis dan peran jurnalis, terutama di daerah konflik, di zona perang, tempat Anda membutuhkan jurnalisme saksi. Anda membutuhkan jurnalis untuk menjadi saksi karena, ketika mereka tidak ada, lebih banyak kebrutalan yang terjadi. Sebab, orang selalu lebih beradab ketika diawasi. Saya pikir mereka melihat kami sebagai perwakilan (jurnalis) dari berbagai belahan dunia. Sebenarnya ini agak menyedihkan, baik di Rusia maupun Filipina. Dia mengatakan kebebasan berekspresi dan peran yang dimainkan jurnalis, itulah landasan demokrasi. Dan itu benar. Itulah tujuan kami semua menjadi jurnalis.
Anda dan Rappler telah mengalami banyak peristiwa dalam memperjuangkan kebebasan pers lima tahun terakhir, termasuk menghadapi sederet kasus hukum. Mengapa Anda masih terkejut mendapatkan hadiah Nobel?
Saya merasa beruntung karena dunia tidak melupakan dan benar-benar mengikuti keadaan kami. Mereka memberikan kami cukup cahaya sehingga bisa selamat dari pertempuran. Ada seorang reporter di Filipina, namanya Frenchie Mae Cumpio. Dia berusia 22 tahun ketika ditangkap pada Februari 2020. Jadi dia berada di penjara selama lebih dari satu setengah tahun. Sudah 20 jurnalis yang terbunuh di bawah pemerintahan Duterte. Kini menjadi lebih berbahaya karena bukan hanya keselamatan fisik, tapi juga keselamatan mental kami terancam. Sebab, serangan online dimaksudkan untuk meruntuhkan Anda dan membunuh semangat Anda sehingga tidak lagi dapat melakukan pekerjaan Anda.
Setelah meraih Hadiah Nobel Perdamaian, apakah perjuangan Anda akan semakin mudah?
Saya berharap kami tidak lagi berada dalam bahaya atau kesulitan. Saya merasa seperti Alice di Negeri Ajaib yang terjatuh ke dalam lubang kelinci. Saya harus terus berjalan sampai akhirnya bisa keluar dari lubang kelinci. Semoga kelak seperti itu. Sebagian karena sekarang adalah tahun kelima dari enam tahun masa jabatan Presiden Duterte. Kami akan mengadakan pemilihan umum pada Mei 2022. Sebanyak 18 ribu pejabat publik akan dipilih.
Apakah Anda menilai keadaan akan jauh membaik setelah kekuasaan Presiden Duterte berakhir?
Masalahnya begini, sudah separah apa kerusakan institusi (negara) kami? Kedua, perpecahan yang ditimbulkan terhadap rakyat kami. Ketiga, dalam hal kebebasan berbicara, ketika Anda berbicara tentang algoritma dan platform media sosial, perusahaan-perusahaan Amerika yang akan menentukan apa yang mendapatkan amplifikasi, apa yang akan dikirimkan kepada Anda. Saya khawatir tentang itu. Sebab, jika platform media sosial tidak memiliki pagar pembatas, ketika kami menggelar pemilu, mungkin hasilnya tidak bisa dipercaya karena faktanya kabur.
Benarkah Presiden Duterte memberikan ucapan selamat kepada Anda karena mendapatkan Nobel Perdamaian?
Pada Jumat lalu (8 Oktober 2021) Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kremlin mengucapkan selamat dan memberikan pujian kepada Dmitry. Saat itu Istana (Malacanang) masih membisu. Pada Senin sore (11 Oktober 2021) juru bicara presiden (Harry Roque) mengucapkan selamat dan mengatakan saya orang Filipina pertama yang meraih Nobel Perdamaian. Kemudian dalam kalimat berikutnya dia berkata, “Tapi Anda harus menghadapi kasus di pengadilan.” Jadi pernyataannya bermata dua. Dia memberikan selamat kemudian menyerang saya.
Apa tanggapan Anda ketika itu?
Saya hanya berkata, “Oke, terima kasih.”
Bagaimana Anda menyikapi kasus-kasus yang masih berproses di pengadilan?
Kasus-kasus yang menjerat saya bermotif politik. Saya dan Rappler masing-masing menghadapi tujuh kasus. Jika Anda menghitung hukuman maksimum untuk setiap kasusnya, saya bisa mendekam di penjara selama sisa hidup saya.
Pengadilan telah menghentikan kasus pencemaran nama terhadap Anda, Agustus lalu. Bagaimana kelanjutan kasus-kasus lain?
Dalam tiga bulan sekitar periode waktu itu, dua kasus telah dihentikan. Sekarang ada tujuh kasus yang tersisa. Kami telah mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut pada tahun lalu. Kami akan membawanya ke Mahkamah Agung jika perlu. Ada tiga kelompok kasus yang menjerat kami, yaitu kasus fitnah di dunia maya, kasus penggelapan pajak, dan tuduhan Rappler dimiliki pihak asing dan melakukan penipuan saham. Semua kasus itu bermotif politik dan saya akan memenanginya di pengadilan.
Jika semua bermotif politik, apakah Anda menilai akhir masa jabatan Presiden Duterte tahun depan akan berdampak terhadap kasus-kasus tersebut?
Semua bergantung pada siapa yang berkuasa. Coba lihat keluarga Marcos, 35 tahun setelah mereka diasingkan oleh revolusi “Kekuatan Rakyat” hingga angkat kaki dari Filipina, Ferdinand Marcos Jr. atau Bongbong Marcos sekarang mencalonkan diri sebagai presiden. Inilah alasan saya mengatakan kami berjuang untuk fakta karena pada 2019 kami mengungkap perang propaganda yang sudah terjadi di media sosial. Jaringan disinformasi telah mengubah sejarah keluarga Marcos. Jadi semua tergantung siapa yang menang.
Bagaimana Anda melihat peta pertarungan politik dalam pemilihan presiden tahun depan?
Saat ini ada sepuluh calon presiden. Tapi hanya lima kandidat yang benar-benar didukung dengan mesin politik. Presiden Duterte pada 2016 memenangi jabatan dengan hanya 39 persen suara. Jadi dia tidak memiliki mayoritas suara rakyat Filipina. Dan itulah yang akan kembali terjadi.
Putri Presiden Duterte yang kini menjabat Wali Kota Davao, Sara Duterte-Carpio, dikabarkan bakal ikut meramaikan bursa calon presiden. Apakah ia memiliki pengaruh sebesar ayahnya?
Kita harus menunggu hingga 15 November nanti ketika masa penggantian calon partai berakhir. Sara Duterte belum mendaftarkan pencalonannya hingga batas waktu pengajuan hari Jumat (8 Oktober 2021). Tapi ada masa penggantian calon partai dan itu menjadi celah aturan yang ilegal. Ini adalah taktik yang digunakan keluarga (Duterte) di Davao karena mereka sudah berkuasa di sana sejak 1988.
Bagaimana peluang Sara Duterte-Carpio untuk mencalonkan diri sebagai presiden?
Kita perlu menunggu beberapa hal. Apakah Presiden Duterte akan mencalonkan diri sebagai wakil presiden? Karena dia bisa dan dia pernah mengatakan akan melakukannya. Minggu lalu sebelum pengajuan (sertifikat pencalonan) dimulai, dia pergi ke komisi pemilihan bersama Senator Bong Go yang dulu adalah ajudannya di Davao. Bong Go mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden. Duterte mengatakan dia keluar dari politik dan tidak mencalonkan diri. Dia mengatakan hal yang sama persis pada 2015 di Davao. Kemudian setelah masa penggantian calon berakhir, dia mencalonkan diri sebagai presiden.
Apakah Sara Duterte-Carpio memiliki karakter kepemimpinan yang keras seperti ayahnya?
Dia berbeda dari ayahnya. Yang jelas ayahnya adalah sosok besar. Dan mereka pernah berselisih di depan publik. Jadi sulit untuk mengatakannya. Tapi yang pasti mereka adalah keluarga yang terbiasa berkuasa. Sara Duterte, misalnya, dia dan suaminya memiliki firma hukum. Suaminya seorang pengacara. Saat kami dikejar untuk klausul administratif oleh SEC (Komisi Sekuritas dan Bursa), ternyata firma hukum mereka bahkan tidak pernah terdaftar di SEC selama satu dekade. Jadi saya bertanya-tanya bagaimana cara mereka membayar pajak jika tidak terdaftar. Saya pikir Sara lebih lembut dari Presiden Duterte, tapi dia juga mengerti taktik kekuasaan. Dia tidak pernah memegang jabatan nasional dan itu menjadi persoalan lain.
Anda dan Rappler memilih berhadapan langsung dengan Presiden Duterte dengan segala konsekuensinya. Mengapa memilih jalan perjuangan yang terjal?
Saya tidak berpikir ada jalan lain yang layak. Saya bisa saja bernegosiasi dengan pemerintah. Pada satu titik saya memikirkan hal ini. Mereka tidak pernah langsung berurusan dengan saya, tapi melalui jalur bisnis. Jika saya melakukannya, jika saya pergi menemui Presiden Duterte, apa yang akan dia minta? Saya pikir dia akan meminta jiwa Rappler. Apabila seperti itu jalannya, saya benar-benar harus berhenti menjadi jurnalis. Lagi pula, tidak ada jaminan mereka akan mematuhi hasil perundingan jika itu terjadi. Sebab, semua kekuatan ada di pihak mereka. Mereka menyerang kami sejak awal berkuasa pada 2016-2017 dan selama lima tahun berikutnya.
Anda akan tetap menghadapi pemerintahan Presiden Duterte secara langsung?
Kami tidak mengubah apa pun. Cara saya menjadi reporter di Jakarta begitulah cara saya menjalankan Rappler dan begitulah cara kami melatih para reporter kami. Saya pikir itu adalah jalan yang benar karena kami masih beroperasi hingga kini. Grup berita lain yang memiliki dukungan korporasi, seperti ABS-CBN atau The Inquirer, tetap kehilangan waralaba. Jadi tidak ada jalan lain. Tentu saja bagian terakhir adalah kepastian moral. Anda merasa telah melakukan hal yang benar.
Maria Ressa saat menghadiri persidangan di Makati City, Metro Manila, 15 Desember 2020. REUTERS/Lisa Marie David
Apa tantangan menjadi media independen seperti Rappler di Filipina?
Tantangan bagi media independen sangat besar. Presiden Duterte pertama-tama menyerang surat kabar terbesar, The Inquirer, stasiun penyiaran terbesar, ABS-CBN, kemudian Rappler. Pemerintah mempersenjatai media sosial, lalu mempersenjatai hukum. Setelah pemerintah berusaha menutup Rappler dengan mencabut lisensi kami pada Januari 2018, kami kehilangan 49 persen dari pendapatan iklan pada April 2018. Saya pikir kami hampir bangkrut. Itulah yang diinginkan pemerintah.
Bagaimana cara menghadapinya ketika itu?
Kami terus berjuang sehingga pemerintah gagal menutup Rappler. Selain itu, kami mendapati beberapa pengiklan batal beriklan karena takut setelah mendapat tekanan dari pemerintah. Hal itu membuat kami mengevaluasi kembali apa saja keunggulan yang kami miliki, yaitu data, melacak jaringan disinformasi, dan mengubah data itu menjadi produk yang kemudian kami serahkan kepada tim pemasaran kami. Itu menjadi produk kami untuk pengiklan. Itu bukan iklan, tapi membantu mereka memahami lanskap media sosial.
Semua kasus yang menjerat Anda tentu menguras tenaga dan waktu. Bagaimana Anda mengatasinya?
Selama 35 tahun sebagai jurnalis, saya tidak pernah mengalami hal seperti ini. Sewaktu bertugas di Indonesia dari 1997-1998 sampai mungkin setelah era Gus Dur (Abdurrahman Wahid) atau Megawati (Soekarnoputri), saya bekerja gila-gilaan. Tapi itu masa yang sangat berbeda. Anda tidak sedang diancam. Kami bekerja keras karena begitu banyak hal terjadi. Saya pikir perbedaan bagi jurnalis sekarang adalah Anda membawa pulang ancaman itu. Anda pergi tidur, melihat telepon seluler, Anda bisa diserang. Anda bangun, melihat telepon, dan Anda bisa diserang. Pertempuran lebih banyak terjadi dalam pikiran karena Anda dapat menyerapnya. Anda harus berhati-hati dengan kesehatan mental. Itu sesuatu yang selalu dibicarakan oleh tim kami di Rappler. Kami menawarkan konseling pada awal 2016 karena kami sering diserang.
Apa yang Anda lakukan di waktu luang?
Saya kangen dipijat, he-he-he.... Saya menonton Netflix. Saya juga baru saja mengikuti Amazon Prime. Selama pemberlakuan lockdown, saya menonton serial Grey's Anatomy dari musim pertama sampai episode terbaru. Saya pernah bertemu Sandra Oh (pemeran dokter Cristina Yang, salah satu karakter utama Grey's Anatomy) di acara Time 100 Gala di New York, Amerika Serikat, pada 2019. Tapi saya ketika itu tidak tahu Grey's Anatomy, he-he-he.... Sungguh konyol.
Ketika itu Anda mendapatkan penghargaan “100 Orang Paling Berpengaruh” versi majalah Time.
Ada satu kejadian lucu. Selama berjalan di karpet merah di acara Time 100 Gala, ada seorang perempuan di depan saya yang sangat tinggi dan berambut pirang. Saya pikir, dia pasti seseorang yang sangat terkenal. Saudara perempuan saya terus mengambil fotonya ketika kami sedang berjalan. Rupanya itu Taylor Swift. Saya mendengarkan musiknya, tapi saya tidak tahu orangnya seperti apa. Saya lebih mengenal teroris daripada Taylor Swift, he-he-he….
Melalui Nobel Perdamaian, apa pesan yang dapat Anda sampaikan kepada jurnalis di seluruh dunia?
Saya berharap setiap jurnalis terus melakukan pekerjaan mereka. Anda tidak sendirian. Komite Nobel membuat kami merasa semua itu sepadan. Kami harus terus maju.
MARIA ANGELITA AYCARDO RESSA | Tempat dan tanggal lahir: Manila, Filipina, 2 Oktober 1963 | Pendidikan: Sarjana Bahasa Inggris di Princeton University, New Jersey, Amerika Serikat (1986); Master Bidang Jurnalistik di University of the Philippines Diliman, Filipina | Karier: Wartawan (sejak 1986); Kepala Biro CNN Manila (1987-1995); Kepala Biro CNN Jakarta (1995-2005); Kepala Divisi Pemberitaan ABS-CBN, Filipina (2005-2011); Pendiri dan CEO Rappler (sejak Januari 2012) | Penghargaan: Democracy Award (2017), Gwen Ifill Press Freedom Award (2018), Free Media Pioneer Award (2018), Knight International Journalism Award (2018), Golden Pen of Freedom Award (2018), “Person of the Year” Majalah Time (2018), Columbia Journalism Award (2019), “100 Most Influential People in the World” Majalah Time (2019), Sergei Magnitsky Award for Investigative Journalism (2019), Nobel Perdamaian (2021).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo