Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima dari tujuh bersaudara keluarga Mainaky mengharumkan nama Indonesia di cabang olah raga bulu tangkis.
Dipelopori Richard Leonard Mainaky, dilanjutkan oleh Rionny Frederik Lambertus Mainaky, lalu Rexy Ronald Mainaky, Marleve Mario Mainaky, dan Karel Leopold Mainaky.
Selain menjadi pemain bintang di masanya, mereka menjadi pelatih yang berhasil.
TEPAT seperempat abad Richard Leonard Mainaky menapaki kiprahnya dalam dunia kepelatihan bulu tangkis Indonesia. Setelah bergabung dengan pemusatan latihan nasional Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia pada 1996, per 27 September lalu ia resmi mengundurkan diri sebagai pelatih ganda campuran. “Sekarang waktunya saya bersama keluarga setelah selama ini mereka selalu berkorban untuk saya,” kata Richard saat dihubungi, Selasa, 12 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi pelatih, seharian Richard berada di Cipayung—markas pelatnas bulu tangkis di Jakarta Timur. Dia bekerja mulai Senin hingga Sabtu, sejak pukul 06.00 sampai 18.00. Tak jarang bablas hingga malam. Waktu yang tersisa baru ia habiskan di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Karena itulah laki-laki kelahiran Ternate, Maluku Utara, 23 Januari 1965 ini ingin bersama keluarga pada masa pensiun. Rencana itu telah diniatkannya seusai pergelaran Olimpiade Tokyo 2020. Karena Olimpiade mundur akibat Covid-19, Richard pun menundanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pensiun dari pelatnas Cipayung, Richard pulang ke Manado, Sulawesi Utara, tempat keluarganya menetap. Ia mengaku menyiapkan kepindahan dari Bintaro dibantu istrinya, Mieke Paruntu, dan putrinya, Maria Natalia Mainaky. “Keluarga ingin tinggal di Manado. Saatnya saya mengikuti keinginan mereka karena keluarga menjadi salah satu kunci sukses saya,” ujar pelatih yang berhasil mengantarkan Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad meraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 itu.
Di awal karier sebagai pelatih, Richard menjadi asisten Imelda Wigoena, yang menjadi kepala pelatih ganda putri dan ganda campuran. Dua tahun kemudian, Richard diminta Christian Hadinata menangani ganda campuran. Berkat tangan dinginnya, ganda campuran menjadi kekuatan baru Indonesia. Ia melahirkan pasangan yang berprestasi, seperti Tri Kusharjanto/Minarti Timoer, Nova Widianto/Liliyana Natsir, Flandy Limpele/Vita Marissa, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, Praveen Jordan/Debby Susanto, dan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti.
Richard nyatanya tak bisa lepas dari bulu tangkis. Ketika dihubungi kembali pada Kamis, 14 Oktober lalu, dia mengaku kembali turun gunung untuk menggali potensi atlet bulu tangkis di bagian timur Indonesia. Ia bergabung dengan Perkumpulan Bulu Tangkis Talenta sejak 4 Oktober lalu. “Walau di kampung, saya tetap ke lapangan. Emang enggak bisa jauh dari bulu tangkis. Saya mundur dari pelatnas karena ingin memberi kesempatan pelatih muda untuk berkembang juga di Cipayung,” ucapnya beralasan.
Mantan Pebulutangkis Tunggal Putra Indonesia, Marleve Mainaky di kantor tempatnya bekerja di kawasan Gatot Subroto, Jakarta, 15 Oktober 2021./TEMPO/M Taufan Rengganis
Richard berencana membenahi pembinaan di setiap sektor dan level umur. “Tekad saya sih jangka panjang, ya. Kalau bisa bibit-bibit pebulu tangkis di sini tidak usah repot-repot ke Jawa dan Jakarta lagi,” katanya. Lebih jauh Richard menjelaskan, jika pembangunan gelanggang olahraga dan asrama sudah rampung, klub akan menampung atlet muda tidak hanya dari Manado, tapi juga dari wilayah sekitar, seperti Maluku.
Richard tampaknya teringat pada dirinya dulu. Ia anak kedua dari tujuh bersaudara. Bapaknya, Jantje Rudolf Mainaky, pebulu tangkis daerah era 1960-an yang pernah menjadi juara se-Maluku, mengirim dia dan adik-adiknya dari Ternate ke Jakarta untuk berlatih bulu tangkis. Richard awalnya masuk Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) 56 dan dilatih Darius Pongoh. Ketika PB 56 bubar, Richard menimba ilmu di PB Tangkas hingga berhasil masuk pelatnas PBSI pada 1989.
Karier Richard sebagai pemain tak berjalan mulus. Dia sempat bergonta-ganti sektor dari tunggal putra, ganda putra, hingga ganda campuran. Prestasinya pun tak kunjung cemerlang. Akhirnya ia memutuskan pensiun sebagai atlet pada 1994 dan kembali ke PB Tangkas untuk melatih. Dari situlah karier Richard mulai menemui titik terang. Setelah membawa anak didiknya beberapa kali menjuarai kompetisi tingkat nasional pada 1996, ia diajak mantan pelatihnya di pelatnas, Christian, kembali ke Cipayung.
Richard pensiun, masih ada Mainaky lain di PBSI. Salah satunya Rionny Frederik Lambertus Mainaky, yang kini menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI 2020-2024 menggantikan Susy Susanti. Rionny mengungkap alasannya menerima jabatan di PBSI padahal telah memiliki karier yang bagus di Jepang. “Jabatan baru ini sangat menantang. Saya pernah menjadi pelatih dan pelatih kepala di Jepang. Tugas saya melayani, di sini pun sama,” tutur Rionny melalui e-mail, Senin, 11 Oktober lalu.
Awal karier pria kelahiran Ternate, 9 Maret 1968, ini di Jepang adalah menjadi pelatih sekaligus pemain untuk klub bulu tangkis YKK pada 1998. Tiket ke Jepang itu didapat Rionny setelah dia menjadi juara Kejuaraan Nasional PBSI. Namun ia tidak bisa masuk pelatnas PBSI karena berusia 18 tahun, kelebihan satu tahun. Sejak itu, karier Rionny di Jepang terus menanjak. Setelah sempat pulang ke Indonesia pada 2004, dia kembali ke Jepang pada 2009 dan menjabat pelatih klub Nihon-Unisys.
Pada waktu bersamaan, Rionny diangkat menjadi anggota staf pelatih di tim nasional junior bulu tangkis Jepang. Pada 2010, ia akhirnya didaulat menjadi pelatih kepala ganda putra, membimbing Takeshi Kamura/Keigo Sonoda, Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe, dan Takuto Inoue/Yuki Kaneko. Kiprahnya selama satu dekade di Negeri Sakura cukup memuaskan. Hingga kontraknya berakhir seusai All England 2019, Rionny mampu menajamkan taring pebulu tangkis Jepang.
Sebagai Kepala Bidang Pembinaan Prestasi, tugas pertama Rionny adalah mengantarkan pemain Indonesia meraih prestasi di Olimpiade Tokyo 2020. Ia pun berhasil membawa Tim Merah Putih menjaga tradisi emas setelah pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu menjuarai sektor ganda putri. Dalam Piala Thomas dan Uber 2020 di Aarhus, Denmark, 9-17 Oktober 2021, Rionny harus beradu strategi dengan adik kandungnya, Rexy Ronald Mainaky, yang menjadi pelatih kepala timnas Thailand.
Rexy Mainaky mulai melatih Thailand pada 2016. Dia mengambil keputusan itu karena jabatannya sebagai Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI 2016-2020 yang dipimpin Wiranto berakhir. Ia digantikan oleh Susy Susanti. Sebelum menjadi pengurus PBSI, kiprah kepelatihan Rexy memang dimulai di Eropa. Inggris, yang berkesempatan dilatih Rexy pertama kali, berhasil merebut medali perak ganda campuran di Olimpiade Athena 2004. Tren positif itu berlanjut saat ia membesut Malaysia dan Filipina pada tahun-tahun berikutnya.
Ketika Gita Wirjawan menjabat Ketua Umum PP PBSI periode 2012-2016, Rexy bisa dibujuk untuk kembali dan melatih Indonesia. Tim bulu tangkis Indonesia dibawanya meraih berbagai penghargaan bergengsi, di antaranya mengembalikan tradisi emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. “Punya impian kembali ke Indonesia dan bekerja bareng dengan saudara-saudara,” ucap Rexy, yang bersama Ricky Subagja meraih emas Olimpiade Atlanta 1996, saat dihubungi pada Kamis, 14 Oktober lalu.
Impian Rexy berkolaborasi dengan Mainaky bersaudara di Cipayung tinggal menyisakan Rionny dan si bungsu, Karel Leopold Mainaky, yang masih menjadi pelatih ganda putri Jepang. Sedangkan Richard dan Marleve Mario Mainaky sudah menutup karier di level internasional. Marleve mengatakan dia tak lagi punya waktu. Ia memilih mengurus bisnis tambang di Ternate. “Pengen urus pekerjaan aja, jadi sulit kalau harus ke bulu tangkis lagi,” kata Marleve, yang menjuarai Amerika Serikat Terbuka 1993, Indonesia Terbuka 2001, dan Swiss Terbuka 2002, saat dihubungi, Kamis, 14 Oktober lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo