Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan pesan masuk ke telepon seluler Jamie Vardy beberapa saat setelah laga ÂLeicester City versus Manchester United yang berlangsung di The King Power Stadium, Leicester, Inggris, berakhir pada Sabtu dua pekan lalu. Hampir semuanya berisi ucapan selamat kepadanya.
Hari itu Vardy baru saja mencetak rekor baru dalam sejarah sepak bola Inggris. Pemain 28 tahun ini merobek gawang Manchester United pada menit ke-24. Gol ini membuatnya menjadi pemain pertama di Liga Primer Inggris yang mencetak gol dalam 11 pertandingan berturut-turut.
Sepuluh gol sebelumnya ia cetak ke gawang Newcastle United, Watford, Hull City, Crystal Palace, Southampton, Norwich City, Arsenal, Stoke City, Aston Villa, dan Bournemouth. Catatan ini mengalahkan rekor pemain Belanda, Ruud van Nistelrooy, yang mencetak gol dalam 10 pertandingan beruntun untuk Manchester ÂUnited pada 2003.
"Saya tidak pernah berpikir memecahkan rekor. Ini sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya," kata Vardy setelah pertandingan berakhir.
Selain menciptakan rekor baru, satu gol Vardy ke gawang Manchester United hari itu membuatnya menjadi pencetak gol terbanyak sementara di Liga Primer dengan 14 gol.
Sayang, pertandingan hari itu berakhir imbang 1-1 karena Manchester United mampu membalas lewat gol yang dicetak pemain gelandangnya, Bastian Schweinsteiger, pada menit ke-46. Namun hasil imbang ini tetap tak bisa membendung langkah Leicester City merebut peringkat kedua klasemen Liga Primer sepanjang pekan lalu. Tak mengherankan jika 52 ribu penonton yang hari itu menyesaki The King Power Stadium bersorak gembira: "Jamie Vardy, saatnya kita berpesta!"
Namun tak ada pesta. Vardy langsung meninggalkan stadion menuju rumah sahabatnya. Di sana ia mematikan ponselnya, lalu duduk menyendiri memikirkan lompatan kariernya. Tiga tahun lalu, ia hanya pemain sepak bola amatir yang bermain di nonliga.
Lelaki itu berdiri di pintu masuk ruang ganti FC Halifax Town di The Shay Stadium, West Yorkshire, Inggris. Wajahnya menunduk memandangi ujung sepatu bolanya yang butut. Neil Aspin, pelatih FC Halifax Town ketika itu, mengingat jelas momen yang terjadi pada Juni 2010 tersebut. "Saat itu seorang pemain bertanya, 'Inikah pemain baru kita?'," ujar Aspin.
Vardy saat itu berusia 23 tahun. Ia datang dari klub Stocksbridge Park Steels di Kota Sheffield, Inggris. Stocksbridge menggajinya tak lebih dari 30 pound sterling atau sekitar Rp 600 ribu per pekan. Jumlah itu tak cukup untuk membeli sepatu bola baru. Harga sepatu bola dengan kualitas lumayan di sana tak kurang dari 35 pound sterling.
Tapi Vardy bertahan di Stocksbridge selama tiga tahun. Ia mengambil kerja sampingan sebagai teknisi di rumah sakit. Tugasnya adalah memasang alat bantu penopang tubuh agar persendian tidak bergeser.
"Saya biasa berlatih sepak bola pukul tujuh pagi sebelum berangkat kerja dan pulang pukul setengah tiga sore. Punggung saya sampai sekarang masih suka nyeri," Vardy mengenang.
Hidup ketika itu memang tak ramah bagi Vardy. Ayahnya pekerja derek dan ibunya bekerja di kantor pengacara. Mereka tinggal di kawasan Hillsborough, Sheffield.
Vardy kecil, seperti kebanyakan anak lain di sana, mencintai sepak bola. Ia masuk Akademi Sepak Bola Sheffield Wednesday pada 2002, tapi dikeluarkan setahun kemudian karena tingginya hanya 160 sentimeter—terlalu kecil untuk menjadi pemain sepak bola profesional. "Saya merasa terpukul sekali," kata Vardy. "Saya mulai berpikir untuk meninggalkan sepak bola."
Vardy kemudian banyak menghabiskan waktunya di pabrik pembuatan serat karbon. Ia bekerja 12 jam sehari. Namun kecintaannya pada sepak bola tak pernah benar-benar pudar. Setahun kemudian, ia masuk Akademi Sepak Bola Stocksbridge Park Steels. Ia bertahan selama empat tahun dan menembus skuad utama Stocksbridge Park Steels pada 2007.
Vardy mendapat gaji 30 pound sterling per pekan. Tak begitu besar. Maklum, Stocksbridge hanya klub amatir yang bermain di kompetisi Northern Premier ÂLeague. Meski begitu, performa Vardy melesat cepat. Ia mencetak 66 gol dalam 107 penampilan bersama Stocksbridge Park Steels pada 2007-2010.
"Saya hanya perlu sekali melihatnya bermain sebelum membelinya untuk Halifax," ujar Neil Aspin, yang membeli Vardy seharga 15 ribu pound sterling dari Stocksbridge.
Namun, saat muncul pertama kali di ruang ganti pemain Halifax, Vardy—yang sudah mengantongi 15 ribu pound sterling—masih memakai sepatu butut lamanya. Dia hanya semusim di sana. Ia lalu dibeli Fleetwood Town dengan harga 250 ribu pound sterling pada 2011. Fleetwood adalah tim yang bermain di kompetisi Conference Premier. Ia mencetak 34 gol dalam 40 pertandingan musim pertama sekaligus terakhirnya bersama Fleetwood. Catatan itu membuat Vardy terpilih sebagai Pemain Bulan Ini pada November 2011.
Sejumlah klub profesional, seperti ÂSouthampton dan Blackpool, mulai memburunya. Southampton menawar 500 ribu pound sterling dan Blackpool 750 ribu pound sterling. Kedua tawaran ini dia tolak karena, pada saat yang sama, Leicester City datang dengan tawaran 1 juta pound sterling. Vardy, tentu saja, tak berpikir dua kali untuk menerimanya. Selain nilai transfernya menggiurkan, bermain di Leicester City akan membuat "kasta"-nya naik, karena klub tersebut saat itu bermain di kompetisi Championship.
Liga Inggris memiliki anak-anak tangga. Tangga teratas bernama Liga Primer Inggris. Di bawahnya ada Championship, Divisi 1, dan Divisi 2. Klub-klub yang bermain di empat anak tangga teratas itu disebut klub profesional dan berhak ikut serta dalam Piala Liga, yang digelar setiap musim.
Di bawah empat divisi tersebut, ada 20 anak tangga lain. Mereka disebut nonliga. Klub-klub yang bermain di dalamnya berstatus semiprofesional dan amatir. Dua klub pertama Vardy, Stocksbridge Park Steels dan Halifax Town, berada di anak tangga kedelapan. Adapun klub ketiganya, Fleetwood, berada di anak tangga kelima.
Maka, bila Vardy menjadi pemain Leicester City, itu tak hanya membuatnya basah secara finansial, tapi juga menjadi lonjakan karier yang luar biasa. Vardy resmi menjadi pemain Leicester City pada Juni 2012. Ia menjadi pemain nonliga pertama yang dibanderol 1 juta pound sterling dalam sejarah Liga Inggris.
Vardy berhasil membawa The Foxes—julukan Leicester City—ke puncak klasemen Championship pada musim keduanya. Saat itu ia mencetak 16 gol dalam 37 penampilan. Hal ini membuat Leicester City naik ke tangga teratas dalam piramida sepak bola Inggris: Liga Primer. "Bahkan saya tidak pernah bermimpi sejauh ini," kata Vardy.
Sehari setelah pertandingan melawan Manchester United, dua pekan lalu, Vardy mendirikan V9 Academy, akademi sepak bola khusus untuk menjaring para pemain nonliga. "Saya tahu ada banyak sekali pemain nonliga yang hebat, tapi mereka berguguran karena tidak memiliki kesempatan," ujarnya.
Nonliga adalah bagian terbesar dalam piramida sepak bola Inggris. Ada ribuan pemain bersaing di kompetisi ini. Vardy mungkin yang paling beruntung, tapi ia bukan satu-satunya yang sukses. John Barnes (Liverpool), Ian Wright (Arsenal), Stuart Pearce (Nottingham Forest), dan bahkan bintang Manchester United, Chris Smalling, muncul dari nonliga.
"Jamie Vardy berasal dari nonliga seperti saya. Namun performanya yang luar biasa membuat banyak agen kini mulai turun ke klub-klub di divisi bawah," kata Chris Smalling.
Beberapa pemain nonliga mulai ramai dibicarakan, seperti Moses Emmanuel (Bromley FC), Kristian Dennis (Macclesfield Town), Omar Bogle (Grimsby Town), dan Brendon Daniels (Harrogate Town). Boleh jadi gairah pencarian Vardy-Vardy baru dari nonliga juga lantaran mulai gerahnya publik sepak bola Inggris melihat begitu banyak pemain asing yang menyesaki Liga Primer.
Saat ini, dari total 528 pemain Liga Primer, sebanyak 361 atau 68,1 persen di antaranya pemain asing. Fakta ini cukup ironis, mengingat Inggris sendiri memiliki ratusan klub dan ribuan pemain.
Dwi Riyanto Agustiar (The Guardian, The Telegraph, BBC, Wall Street Journal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo