Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) menyatakan kekecewaannya terhadap rencana pembelian satu unit helikopter AgustaWestland AW101 produksi gabungan dari dua perusahaan, Westland Helicopters (Inggris) dan Agusta (Italia). Rencana pembelian pesawat yang dipesan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara itu sempat menjadi polemik panjang karena disebut-sebut akan menjadi tunggangan Presiden Joko Widodo saat melakukan blusukan ke penjuru Nusantara.
PT DI menganggap pembelian itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pasalnya, "Hal semacam itu harus mengikutkan industri dalam negeri (dalam prosesnya)," ujar Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso. Lagi pula, kata dia, PT DI punya pengalaman memproduksi Puma dan Super Puma. Menurut Budi, sebaiknya pemerintah memesan EC725 atau Cougar karena merupakan pengembangan dari Super Puma, yang sudah menjadi keahlian PT DI.
Setelah AW101 menjadi polemik sekian lama, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Dwi Badarmanto menegaskan bahwa pembelian helikopter itu tidak diperuntukkan khusus bagi kepala negara. Helikopter itu nantinya juga akan difungsikan sebagai alat pengamanan."Kami juga butuh heli itu untuk pasukan," ujar Dwi di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Selama sekitar satu setengah jam, Budi Santoso berbincang dengan wartawan Tempo Jobpie Sugiharto, Tito Sianipar, Raymundus Rikang, serta videografer Ryan Maulana dan fotografer Frannoto di salah satu hotel di bilangan Jakarta Pusat, Selasa dua pekan lalu. Budi ditemani Direktur Niaga dan Restrukturisasi Budiman Saleh, yang sesekali menjawab pertanyaan.
Pembicaraan tentang rencana pembelian helikopter AW101 oleh pemerintah melebar ke hal lain. Di antaranya bagaimana pengalaman PT Dirgantara Indonesia mengerjakan pesawat pesanan kepresidenan Korea Selatan, rencana kerja sama memproduksi pesawat tempur sendiri, dan kondisi PT DI sekarang.
TNI Angkatan Udara berencana membeli helikopter kepresidenan. Anda disebutkan kecewa terhadap rencana itu. Kenapa?
Buat kami, ini problematic, karena TNI AU juga beli pesawat dari kami. Mereka beli fix wing ke PT DI karena memang keahlian kami di fix wing. Sedangkan untuk rotary wing atau helikopter, kami masih berpartner dengan perusahaan lain. Kerja sama ini sudah dirintis oleh Pak B.J. Habibie saat membuat Super Puma.
Berarti sudah benar bahwa TNI Angkatan Udara beli ke perusahaan lain untuk heli kepresidenan ini?
Saya tidak keberatan demi keselamatan Presiden. Silakan. Tapi apakah tidak bisa menyertakan industri dalam negeri? Sebab, menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, hal semacam itu harus mengikutkan industri dalam negeri.
Dan PT DI tidak dilibatkan?
Benar. Konten lokal yang diamanatkan undang-undang itu minimal 35 persen. Tidak harus dari satu barang yang dipesan pemerintah. Misalnya satu barang ini cuma punya 5 persen komponen lokal, berarti dia harus pesan tujuh barang lain agar memenuhi syarat undang-undang senilai 35 persen (dari harga yang dipesan).
Ingat, undang-undang itu terbit tahun 2012 dan peraturan pemerintahnya keluar tahun lalu, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014. Jadi sudah berlaku sejak tahun lalu. Kami mencoba menaati ini. Kalau pesan Cougar, kami bisa memastikan dapat mengisinya berdasarkan permintaan pemerintah. Itu butuh setidaknya dua tahun untuk produksi. Tapi sepertinya pembelian helikopter ini butuh cepat. Jadi, ya, terserah. Apa pun yang mau cepat, harus barang jadi. Berarti mereka mau mengambil AW yang sudah jadi.
(Menurut Dwi Badarmanto, TNI Angkatan Udara sudah menggunakan produk dalam negeri, antara lain CASA 212, CN-235, CN-295, dan Super Puma.TNI juga sudah memesan enam helikopter pengangkut jarak jauh berjenis Cougar, tapi hingga saat ini pesanan belum rampung.)
Jadi ini sudah jadi heli VVIP-nya?
Sudah jadi. Ready stock ini. Bekas pesanan India.
Soal harga apakah lebih mahal?
Untuk pesawat, kalau ready stock, justru lebih murah. Sebab, sudah jadi barangnya. Biasanya karena ada orang beli dan kemudian membatalkan. Dia sudah bayar uang muka, yang lalu hangus. Kalau semacam ini semestinya harga heli lebih murah. Tapi, kalau dijual dengan harga yang sama dengan yang tunggu rakitan, ya bisa juga.
Kalau PT DI menjual Cougar EC725 berapa?
Sekitar 30 juta euro. Atau US$ 30-35 juta.
Kalau Agusta?
Saya tidak tahu, ha-ha-ha. Harga yang diberitakan di televisi itu berapa?
Kalau misalnya pakai Cougar, PT DI bisa bekerja dan transfer pengetahuan?
Benar. Setidaknya ada keuntungan bagi kami. Tapi keputusan tetap di tangan pemerintah. Apa pun yang diputuskan pemerintah, kami ikuti karena PT DI itu perusahaan pemerintah. Curhatan teman-teman di penerbangan, "Kalau Presiden tidak sayang kepada kami, siapa lagi yang sayang?" Itu saja.
Anda ingin setiap pengadaan dari luar ada semacam transfer pengetahuan ke dalam negeri?
Sebenarnya sudah ada di Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014. Apakah ini dijalankan atau tidak, itu masalahnya. Ini jadi pelajaran buat kita.
Ada contoh kasus soal transfer pengetahuan itu?
Turki. Mereka selalu memesan dalam jumlah yang ekonomis dan memberi waktu panjang untuk menyelesaikan. Mereka pesan CN-235 sebanyak 40 unit dari kami, tapi harus assembly di Turki. Beli 240 unit pesawat F-16 dalam 20 tahun, tapi hanya 8 unit yang dibikin di Amerika, sisanya di Turki. Sekarang mereka sudah punya pabriknya.
Anda ingin pemerintah seperti itu?
Iya. Sekarang untuk pesawat F-16, mereka (Turki) tak perlu tanya Amerika lagi. Sudah bisa bikin sendiri. Kemampuan dan kemandirian itu hanya bisa kalau punya rencana jangka panjang dan konsisten. Kalau tidak konsisten, tidak bisa. Dulu kita yang ajari Turki, sekarang mereka yang lebih maju. Sebab, mereka dikasih pekerjaan yang rutin sehingga belajar terus. Sedangkan kita banyak istirahatnya sehingga tak ada kemajuan.
Apa saja produk kita yang di Turki itu?
Maritim surveillance, maritime patrol, dan antisubmarine. Teman-teman saya pernah sampai 100 orang dikirim ke sana, bekerja di sana, dan mengajari orang Turki. Sekarang Turki sudah lebih maju. Mereka bisa bikin pesawat yang lebih besar lagi. Juga Boeing 737 dengan sistem yang mereka pelajari dari kita. Mereka konsisten membangun industri pertahanannya.
Apa lagi yang PT DI harapkan dari pemerintah sekarang?
Kami harapkan Presiden jadi salesman kami, baik untuk memasarkan maupun memakai produk PT DI. Sebab, memasarkan itu biasa ketemu dengan pertanyaan, "Kenapa kamu tidak pakai?" Satu kebanggaan bagi industri apa pun di dalam negeri kalau barangnya dipakai oleh presiden.
Soalnya pesawat kami, CN-235, dipakai sebagai pesawat kepresidenan di Korea Selatan. Mereka sangat senang dan bangga terhadap pesawat itu. Sewaktu air show di Korea, itu menjadi pesawat pertama yang terbang di sana. Saya bangga pesawat Indonesia terbang pertama sebagai pembuka di situ. Kita ingin punya kebanggaan seperti itu.
Seperti apa proses produksi pesawat kepresidenan Korea itu?
Kami mengirim ke mereka dalam keadaan kosong dan kemudian Korea sendiri yang mengisi. Mereka memasang semua peralatan komunikasi presiden dan sebagainya. Kami kirim pada 2003. Perawatan dikerjakan mekanik mereka sendiri. Mereka juga memesan delapan pesawat lain dari PT DI yang perawatannya masih oleh kami. Tapi pesawat kepresidenan itu perawatannya mereka kerjakan sendiri.
Selain Korea Selatan, ada lagi yang memakai produk PT DI untuk pesawat kepresidenan?
Ada tiga negara, yaitu Malaysia, Pakistan, Korea. Mereka juga memperlakukan pesawat kepresidenan secara khusus. Jadi ini bukan soal kenyamanan saja. Soal keamanan juga jauh lebih penting. Apalagi presiden kan harus bisa kerja kapan pun, di mana pun.
Pesawat kepresidenan kita dirakit di luar negeri. Apa yang seharusnya menjadi perhatian?
Apakah ada yang bisa menjamin keamanan pesawat itu? Apakah kita tahu kalau ada yang iseng meletakkan mikrofon di sana? Seharusnya kita berkaca pada pengalaman Korea yang membeli pesawat kepresidenan dari PT DI. Begitu kita berikan ke mereka, urusan selesai. PT DI tak boleh masuk lagi ke pesawat itu.
(Pesawat kepresidenan) Korea itu sejak kami masang baut pertama, militer mereka sudah tongkrongi. Kolonel-kolonel mereka menunggu proses pembuatannya. Tidak boleh ada barang yang dipasang tanpa diketahui kolonel Korea ini. Itu namanya technical representatives. Jadi harus tahu jeroan pesawat itu. Apakah kita juga seperti itu, saya tidak tahu.
Sewaktu kita beli pesawat kepresidenan tidak seperti itu?
Kita beli, beli saja. Semua diisi di Philadelphia, Amerika. Padahal kami menawarkan (untuk mengerjakan bagian dalamnya). Kami menawarkan untuk diisi di sini, tapi tampaknya pemerintah (Susilo Bambang Yudhoyono) lebih menginginkan semua dikerjakan di Amerika.
Itu zaman pemerintahan SBY, dengan siapa Anda berhubungan?
Saya berhubungan dengan Mensesneg Pak Sudi (Silalahi). Kami kirim surat dan ketemu dengan Pak Sudi. Mereka langsung tidak tertarik. Keputusannya dikerjakan di sana, ya, sudah. Itu pun sebenarnya menggunakan slot pesanan Garuda. Kalau menunggu antrean, bisa memakan waktu lama. Antreannya bisa sampai lima tahun.
PT DI banyak bekerja sama dengan Airbus, apakah karena itu tidak dilibatkan?
Kami juga punya hubungan dengan Boeing. Secara bisnis tidak ada masalah. Sebetulnya, buat kami, enggak apa-apa. Waktu itu pemerintah sudah memberi pekerjaan yang banyak buat kami. Sewaktu pemerintahan SBY, kami mendapat pesanan CN-295, 6 unit TJ-725, N-235 sebanyak 14 unit, dan helikopter Bell 24 unit. Ada rencana strategis jangka panjang TNI 2009 dijalankan dan mulai 2011 berproduksi. Zaman SBY, kami mendapat order banyak. Itu yang membuat kami hidup.
Persoalan kami adalah jumlah dan waktu. Sering permintaan pesanan sekarang, tahun depan jadi. Padahal bikin bengkelnya saja sudah setahun.
Ada kritik bahwa PT DI sebenarnya tidak memproduksi, tapi hanya refurbish...
Budiman Saleh: Zaman dulu kami bisa memproduksi Puma dan Super Puma full, yaitu 330 dan 332. Waktu itu kami punya uang sehingga kami beli lisensi untuk memproduksi. Jumlah yang kami kerjakan juga jelas, yaitu sampai 22 unit. Kondisi sekarang ada keterbatasan dana. Lebih untung bagi kami sebagai supply chain single source bagi perusahaan Prancis itu. Sekarang bisa dicek, DNA-nya ada beberapa bagian buatan Bandung. Ini hanya persoalan ekonomis.
Budi Santoso: Betul itu karena persoalan ekonomis. Makanya sekarang PT DI harus jalan sebagai perusahaan yang mencari untung. Tidak hanya mengandalkan pesanan pemerintah seperti zaman dulu. Tidak adanya kontinuitas pemesanan dari pemerintah akhirnya menjadi beban bagi kami. Soalnya kami sudah mendidik dan melatih tenaga kerja. Tapi, karena tidak ada pekerjaan, mereka jadi beban operasional.
Bagaimana kepedulian pemerintah baru terhadap industri strategis?
Kami belum menerima kontrak baru dari pemerintah yang sekarang. Yang kami dapat itu baru dari Badan SAR Nasional dan polisi. Dari Kemenhan (Kementerian Pertahanan) belum ada pesanan baru. Hanya torpedo dan roket yang memang kami produksi rutin.
Untuk 2016, berapa penanaman modal negara (PMN) yang dianggarkan pemerintah?
Untuk tahun 2015 ada PMN Rp 400 miliar, yang belum cair sampai sekarang. Mudah-mudahan tidak lama lagi. Rencananya akan digunakan untuk pengembangan CN-235 dengan generasi terbaru. Juga untuk membeli (pesawat) uji. Kami tidak punya test plane. Selama ini kami selalu pakai pesawat costumer untuk tes. Tahun depan diusulkan kami mendapat PMN Rp 1,5 triliun.
Apakah Kementerian Badan Usaha Milik Negara pernah mengajak PT DI bicara tentang rencana jangka panjang?
Kami justru lebih banyak bekerja sama dengan Kemenhan. Sebab, costumer kami paling banyak Kemenhan. Mereka punya breakthrough yang meneruskan program lama, yang hasilnya baru kelihatan pada pemerintah baru ini.
Apa itu?
Kerja sama dengan Korea Selatan untuk membuat pesawat tempur. Lebih canggih daripada pesawat yang sekarang kita miliki. Kemenhan akan investasi total US$ 1,5 miliar. Itu sekitar 20 persen dari total biaya pengembangan. Sisanya, 80 persen, dibayar Korea. Di sini nanti sama-sama mendesain pesawat dan membuat prototipe. Setelah itu diproduksi masing-masing. Indonesia produksi, Korea juga produksi. Ini program jangka panjang yang akan selesai pada 2040. Sebab, produksinya sendiri baru dimulai pada 2020.
Ini program kerja sama G to G?
Ini kerja sama antara pemerintah Korea dan Indonesia. Korea menunjuk KAI (Korea Aircraft Industry) sebagai project leader, sementara Indonesia menunjuk PT DI. Jadi nanti B to B di antara kedua perusahaan ini.
Rencananya kapan akan ditandatangani?
Kabar terbaru, Desember ini. Sekarang kami sedang "berkelahi". Berdiskusi siapa mengerjakan apa. Negosiasi. Ha-ha-ha.... G to G-nya sudah. Rencananya pada 3 Desember ini akan sign B to B. Sekarang tim kami sedang di Korea. Dua minggu lalu, orang Korea yang datang ke Bandung.
Berapa besar target porsi kerja PT DI dalam kerja sama ini?
Sebanyak mungkin. Jadi dari desain, testing, sampai jadi kami harus ikut terus. Dari nol sampai jadi. Share investasi Indonesia sekitar 20 persen dari biaya total. Nanti, ketika produksi, Indonesia harus terlibat sebanyak 20 persen itu. Nah, menghitung 20 persen ini yang sedang berlangsung.
Nama pesawatnya?
Namanya nanti KFX dan IFX. Korea Fighter dan Indonesia Fighter. Ini adalah pesawat tempur generasi 4.5, pesawat tempur masa depan. Tidak begitu jauh dengan F-35, yang termasuk generasi 5. Kalau kita sebut generasi 5 nanti semua orang ribut.
F-35 bisa vertical landing. Ini akan seperti itu?
Tidak. Kami tidak mau. Sebab, itu akan bawa beban yang lebih berat. Itu tidak perlu, karena bisa mengganggu performanya.
Bagaimana persiapan PT DI menyambut kerja sama bikin KFX dan IFX itu?
Sekarang Kemenhan sedang membangun hanggar. Ngebut sekali. Menurut saya, seperti Mission: Impossible, Mei lalu groundbreaking, targetnya Januari jadi. Kalau saya yang disuruh kerjakan mulai Mei, mungkin sekarang baru akan jadi IMB-nya saja, ha-ha-ha....
Hanggar ini untuk proyek KFX dan IFX. Nanti bakal dibagi menjadi dua hanggar. Itu untuk assembling pesawat. Satu lagi untuk fasilitas komposit. Fasilitas komposit tak hanya untuk proyek pesawat tempur ini. Tapi rencana saya akan cari pekerjaan di Airbus atau Boeing. Akan saya gunakan untuk membuat komponen pesawat. Menteri Pertahanan sekarang cukup perhatian. Kami dikasih pekerjaan militer, tapi spin-off-nya bersifat komersial.
Bagaimana nasib kerja sama PT DI dengan Airbus dalam membuat pesawat tempur Typhoon?
Budiman: Ketika itu Airbus menawarkan. Tapi akhirnya pemerintah beli Sukhoi. Proyek itu adalah pengganti F5, di mana pemerintah akhirnya memilih Sukhoi. Jadi rencana itu sudah berakhir.
Soal pengembangan pesawat tanpa awak sudah sampai mana?
Kami bekerja sama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Ada dua jenis drone: yang menjalankan fungsi surveillance dan yang sebagai senjata, seperti yang dipakai Amerika. PT DI mengembangkan pesawat tanpa awak yang tipe surveillance dan dilengkapi kamera infrared dengan daya jelajah 200 kilometer. Pemakainya TNI. Mereka sudah punya empat unit produksi PT DI.
Jumlah itu terlalu sedikit dibanding luas wilayah Indonesia yang harus dipantau.
Mereka baru mulai alias masih tahap pertama pengadaan. Kalau cocok, program ini akan dilanjutkan. Kalau tidak cocok, harus kami ubah lagi.
Bisa digambarkan kondisi keuangan PT DI?
Tahun lalu kami bisa meraup laba hingga belasan juta dolar. Semester pertama tahun ini masih merah. Tapi semester kedua mendekati untung. Berdasarkan pengalaman saya, biasanya setiap pemerintah baru, pada satu-dua tahun awal, kinerja perusahaan BUMN selalu turun. Setelah itu baru naik lagi. Sebab, mungkin butuh penyesuaian (dengan rezim baru).
PT DI sempat dirundung masalah sumber daya manusia yang berusia lanjut. Seperti apa kondisi sekarang?
Yang muda-muda sekarang sudah lebih dari 50 persen. Jumlah karyawan 4.600 orang. Sekitar 2.500 itu di bawah 30 tahun. Yang muda itu banyak anak (lulusan) STM Penerbangan. Kalau dulu kami buat lamaran, yang datang di bawah 100 kandidat. Sekarang bisa ribuan kandidat untuk ratusan pekerjaan. Orang mulai melihat PT DI melejit lagi.
Omong-omong, lebih berat bekerja di Pindad atau PT DI?
Pindad itu produknya lebih banyak. Keduanya memang melewati proses pembaruan teknologi. Tapi, di Pindad, pembaruan teknologi itu tidak mahal. Mau research and develop senjata paling butuh Rp 9 miliar. Sedangkan untuk pesawat butuh ratusan miliar.
Masih berhubungan dengan Pindad?
Sekarang saya sering mengingatkan kawan-kawan di Pindad, seharusnya produksi senjata itu seperti jualan ponsel. Tiap tahun muncul model baru. Sebelum orang bosan, sudah ditawarkan model terbaru. Sudah 10 tahun Pindad belum punya senjata baru setelah kemunculan SS2.
(SS2 adalah senjata produksi Pindad yang diciptakan oleh Budi Santoso. Senjata ini digunakan TNI dan kerap memenangi lomba menembak di kancah internasional.)
Dr Ir Budi Santoso Tempat dan tanggal lahir: Jember, 18 Juni 1955 Istri: Ir Churiah Agustini (memiliki dua anak) Latar pendidikan: Sarjana teknik mesin Institut Teknologi Bandung, 1980, Doktor robotika dari Universitas Katholieke, Leuven, Belgia, 1987 Latar jabatan: Asisten dosen pada Fakultas Teknik Mesin ITB (1980-1982), Staf ahli Direktorat Produksi PT IPTN (1987-1990)| Staf ahli Direktorat Produksi PT Pindad (1989-1995), Direktur Utama PT Fanuc GE Automation Bandung (1993-1998), Direktur Teknologi dan Koordinator Korporat PT Pindad (1995-1998),Direktur Utama PT Pindad (1998-2007) | Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (2007-sekarang) Penghargaan: Satyalancana Pembangunan 1997 dari Presiden Soeharto,Satyalancana Pembangunan 2006 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo