Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lobi-lobi untuk 0,7 Derajat Celsius

Perundingan di Konferensi Perubahan Iklim diperkirakan alot. Juru runding Indonesia mencoba melobi negara maju.

7 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDERA Merah Putih itu berada di pintu masuk bangunan berukuran 5 x 5 meter. Di dalamnya terdapat sekat-sekat untuk ruang pimpinan, ruang kerja, dan ruang rapat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menempati ruang pimpinan seluas 10 meter persegi.

Bangunan ini menjadi markas 40 anggota delegasi Indonesia yang bersidang dalam Conference of Partys (COP) ke-21 Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Le Bourget, Paris, Prancis, pada 30 November-11 Desember 2015.

Menjelang sidang 1 Desember, Menteri Siti menyampaikan pesan khusus kepada para juru rundingnya. "Selalu kaitkan isu di sini dengan program pemerintah dan demi melindungi daya dukung bumi untuk kehidupan yang lebih baik dengan menahan laju kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat Celsius," kata Ketua Delegasi Indonesia itu di Paris, Selasa pekan lalu.

Menurut Siti, pidato Presiden Joko Widodo pada pembukaan Konferensi sehari sebelumnya menjadi pegangan utama. Saat itu ­Jokowi mengumumkan di hadapan 146 kepala negara dan pemerintahan yang hadir bahwa Indonesia sanggup menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan bahkan bisa sampai 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional. Gas yang dimaksud meliputi karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dan nitrogen oksida (N2O).

Hal itu tercantum dalam dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) yang dikirim Indonesia ke UNFCCC, awal Oktober lalu. INDC adalah ketetapan kontribusi negara dalam pengendalian perubahan iklim dan disusun setiap negara yang ikut serta dalam Konferensi. Dalam dokumen itu, Indonesia memperkirakan bahwa emisi gas rumah kacanya pada 2030 mencapai lebih dari 2,8 gigaton setara CO2. Artinya, dalam 15 tahun ini kita harus mengurangi emisi sebesar 835 megaton setara CO2. Padahal, menurut data World Resources Insti­tute (WRI), organisasi riset independen internasional pemantau sumber daya alam, emisi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun ini saja sudah mencapai sekitar 1 gigaton setara CO2 —lebih tinggi daripada gabungan emisi dari bahan bakar fosil yang dihasilkan Jerman dan Belanda pada 2013.

Menurut WRI, Indonesia merupakan negara penyumbang emisi karbon terbesar kelima di dunia, yakni 1,9 gigaton setara CO2 pada 2012. Cina adalah produsen emisi terbesar dengan 10,6 gigaton setara CO2, disusul oleh Amerika Serikat, Uni Eropa (28 negara), India, dan Rusia.

Menteri Siti mengakui bahwa angka emisi dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang Juli-November lalu belum dihitung ketika mengajukan INDC. Tapi, menurut dia, target 29 persen itu merupakan angka relatif dari apa yang sedang dilakukan.

Penurunan emisi itu, kata Jokowi, dapat dilakukan dengan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke sektor produktif, meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan, dan mengolah sampah menjadi energi. Untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, Jokowi akan membentuk Badan Restorasi Gambut dan moratorium izin pemanfaatan lahan.

UNFCCC telah menerima dokumen INDC 150 negara, dari 197 negara anggota. Dari angka yang masuk, lembaga ini membuat analisis bahwa kenaikan suhu global pada 2030 masih menyentuh angka 2,7 derajat Celsius. Padahal, dalam Protokol Kyoto, negara-negara anggota UNFCCC bertekad menahan laju kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat Celsius. Jika melewati angka itu, perubahan iklim akan menyebabkan meningkatnya bencana hidrometeorologi, seperti badai, banjir, dan kekeringan serta ­naiknya paras air laut yang bakal menenggelamkan pulau kecil dan daerah pesisir.

Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, menjelaskan, Indonesia dikenal sebagai poros di kelompok G-77 dan Cina, yaitu kelompok negara-negara berkembang. Tak ada paksaan bagi negara-negara untuk mematok angka dalam dokumen INDC. "Ini seperti kita memberi sumbangan di kotak amal atau keropak," ujarnya.

Rachmat memperkirakan negosiasi bakal alot menyangkut selisih angka 0,7 derajat Celsius itu. Negara mana yang mau menaikkan angka INDC-nya? "Indonesia dan negara-negara berkembang jelas tidak mau," ucapnya. Masalahnya, negara maju pun diperkirakan enggan karena akan membuat mereka, misalnya, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil—sumber energi murah yang tersedia kini.

Kelompok negara di Skandinavia, kata Rachmat, mendukung sikap G-77 dan Cina. Tinggal bagaimana mereka melobi negara maju lainnya. Jalur informal telah dilakukan untuk upaya itu. Rachmat melobi Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda diminta melobi pemimpin negara yang dikenalnya.

Arif Havas Oegroseno, mantan Duta Besar Indonesia untuk Belgia, melobi beberapa negara Eropa. Lalu Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Djauhari Oratmangun, melobi pemerintah Rusia. Adapun mantan Duta Besar Indonesia untuk Vietnam melobi negara-negara Asia.

Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, juga diminta mengontak negara-negara Timur Tengah. Arab Saudi, menurut Rachmat, sudah berteriak karena mereka akan kehilangan devisa dari minyak apabila kebijakan penghentian bahan bakar fosil diterapkan secara drastis.

Rachmat memprediksi, jika sampai Konferensi berakhir tak dicapai kesepakatan soal angka 0,7 derajat Celsius ini, kemungkinan besar keputusan akan ditangguhkan. Urusan itu bakal dibahas kembali dalam sidang pra-COP ke-22 pada April 2016. Namun dia optimistis akan ada solusi di Paris karena semua negara saat ini tidak ngotot lagi mementingkan negaranya.

Untung Widyanto (Paris)


Mesin Cuci di Paviliun Indonesia

DUA pria berpakaian seragam Artha Graha Peduli berwarna hitam sibuk menyiapkan pintu masuk Paviliun Indonesia di arena Konferensi Perubahan ­Iklim pada Ahad pekan lalu. Belasan perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri juga urunan membangun paviliun seluas 10 x 7 meter itu, seperti Sinar Mas, APRIL, dan Grup Arsari. Mereka tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit, serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit.

Kehadiran belasan perusahaan itu dipersoalkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan sejumlah aktivis lingkungan. "Itu bagian dari greenwashing dan sebagian besar adalah pelaku perusak lingkungan," kata Khalisah Khalid, juru bicara Walhi. Greenwashing adalah istilah bagi perusahaan yang mengklaim ramah lingkungan melalui iklan dan pemasaran daripada mengurangi dampak lingkungan dalam proses produksinya.

Bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, mengaku telah mengerahkan 40 anak buahnya untuk merapikan paviliun sekaligus mempromosikan kekayaan alam Indonesia di luar negeri. "Saya ingin mengajak perusahaan-perusahaan nasional lain melakukan hal yang sama. Sekurang-kurangnya 30 persen dari keuntungannya diberikan untuk penyelamatan alam dan bumi Indonesia," ujar Tomy kepada Tempo di Paviliun Indonesia.

Neglasari Martini, Stakeholder ­Engagement Manager Asia Pulp & Paper, menyatakan perusahaannya datang sebagai wakil delegasi pemerintah untuk sektor swasta. "Juga mendukung mitra global menanggulangi perubahan iklim," ucapnya kepada Ahmad Faiz dari Tempo.

Agus Justianto, penanggung jawab Paviliun Indonesia yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menjelaskan, tidak ada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk paviliun seharga Rp 7 miliar itu. Perusahaan yang menyumbang, kata dia, tidak boleh memasang logo sponsor, tapi diberi kesempatan menggelar diskusi atau seminar di sana.

Agus membantah tuduhan aktivis lingkungan bahwa perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri mendominasi paviliun. "Ada 47 sesi diskusi. Mereka hanya beberapa yang mengisi acara. Sebagian besar tema beragam, termasuk dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat," ujarnya.

Untung Widyanto (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus