Prestasi olahraga Indonesia tahun ini kembali melempem. Dalam SEA Games ke-21 di Kuala Lumpur, September lalu, Indonesia cuma berhasil duduk di peringkat ketiga, di bawah tuan rumah Malaysia dan Thailand. Hasil ini tidaklah mengejutkan, sesungguhnya. Tanda-tandanya sudah kelihatan sejak dua tahun silam, saat Indonesia luluh-lantak dalam Pesta Olahraga Asia Tenggara di Brunei Darussalam, 1999. Untuk pertama kalinya Indonesia, yang selalu jagoan di kawasan ini, terperosok di peringkat ketiga.
Negeri ini kurang apa, sih? Penduduknya berjubel. Masa, sih, dari 200 juta kepala tak bisa dihasilkan atlet-atlet kelas kakap, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara saja? Prestasi olahraga ternyata tidak cuma ditentukan jumlah manusia, tapi lebih pada pengorganisasian dan pengelolaan. Buktinya, banyak negeri yang miskin jumlah penduduknya malah mencorong prestasinya.
Soal pengelolaan organisasi yang dilakukan induk olahraga itulah yang sejatinya menjadi titik lemah olahraga Indonesia saat ini. Hal itu yang dilihat oleh Mangombar Ferdinand Siregar dalam mengamati prestasi olahraga Indonesia setahun ini. Kegagalan pengorganisasian yang dilakukan induk olahraga itu terlihat jelas ketika muncul petenis muda Angelique Widjaja yang juara Wimbledon Junior. Sebab, Angie bukanlah atlet yang lahir dari pembinaan yang dilakukan induk organisasi, melainkan lahir dari tangan-tangan swadaya, yakni orang tua Angelique yang telah mengeluarkan jutaan rupiah.
Hal ini jelas berbeda dengan yang terjadi saat pria kelahiran Jakarta, 11 November 1928, ini masih aktif berkecimpung dalam olahraga beberapa dasawarsa silam. Melalui tangannya, lahir perenang andal seperti Lukman Niode, Kristiono Sumono, dan Gerald P. Item. Yang fenomenal, saat menjabat Ketua Proyek Pelatnas Olimpiade Barcelona 1992, ia berhasil mengawinkan Merah-Putih di nomor tunggal putra dan putri bulu tangkis plus dua perak dan satu perunggu.
Ironis memang, di masa tuanya, tokoh yang telah menggeluti olahraga lebih dari separuh hidupnya ini justru lebih banyak menyaksikan kekalahan demi kekalahan. Tak aneh bila kritik pedas kerap menyembur dari mulutnya saat menjawab pertanyaan dari Ardi Bramantyo dan Irfan Budiman seputar evaluasi tahun 2001. Petikannya:
Prestasi olahraga Indonesia tahun 2001 betul-betul terpuruk....
Hasil tahun ini merupakan lanjutan dari tahun sebelumnya. Pada 1999, dalam SEA Games di Brunei, kita cuma berada di nomor tiga. Lo, sejak kapan kita di nomor tiga? Secara garis besar, kekurangan kita memang terletak pada proses pembinaan. Kita hanya membina atlet pada top level dan melupakan pembinaan atlet pada low level, yaitu lapis kedua dan ketiga.
Selain itu, kita terlalu menggandoli sistem pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Jakarta, tapi tidak memanfaatkan potensi yang ada di semua provinsi. Padahal pelatnas hanyalah finishing touch dari konsep pembinaan yang dilakukan di berbagai daerah. Dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sudah menyusun peta olahraga, yakni potensi olahraga di daerah masing-masing. Tapi itu tidak ada realisasinya. Daerah hanya jorjoran untuk menjadi juara umum di PON sehingga yang terjadi bukan proses pembinaan yang layak, melainkan jual-beli atlet. Itu bukan hasil dari kekuatan atau pe-latihan yang sesungguhnya. Inilah kesalahan besar yang kita lakukan dari tahun ke tahun.
Itu karena kita ingin berprestasi secara instan?
Ya, begitulah. Orang Indonesia itu ngomongnya saja mau kerja keras, tapi maunya yang enak melulu. Kalau bisa, duduk saja tapi prestasi dunia terjadi. Namun, mereka tidak membaca buku atau tidak pernah bertanya bagaimana perkembangan di luar negeri. Soal kaderisasi pun dilupakan.
Tapi belakangan muncul atlet berprestasi seperti Angelique Widjaja atau Soetrisno, yang berhasil memecahkan rekor dunia angkat berat.
Soetrisno (atlet angkat berat asal Lampung) sebenarnya sudah lama muncul. Cuma, induk organisasinya barangkali kelupaan memperhitungkan. Kita bilang saja kelupaan, saking sibuknya mengurus yang lain-lain, ha-ha-ha….
Mereka berprestasi atas jerih payahnya sendiri....
Mestinya kan mereka lahir dari sistem. Harusnya dari induk organisasi. Itu tugas induk organisasi seperti yang terdapat dalam AD/ART-nya bahwa induk organisasi membina dari usia dini sampai jadi juara dunia. Tapi hal itu tidak dilaksanakan. Kita selalu mengatakan bahwa si atlet itu malas, mentalnya jelek. La, yang membina dia itu siapa kalau bukan manusia Indonesia yang duduk di induk organisasi cabang olahraga?
Yang terjadi sekarang, pengurusnya lebih banyak daripada olahragawan yang dibina. Jadi pengurus mengurusi pengurus, ribut melulu. Ha-ha-ha....
Jadi, keberhasilan atau kegagalan sesungguhnya terletak pada induk organisasi cabang olahraga itu?
Memang KONI mengawasi dan mengevaluasi, tapi yang melakukan pembinaan adalah induk organisasi cabang olahraga masing-masing sesuai dengan AD/ART-nya. Ini tidak difungsikan dan tidak diawasi betul oleh KONI.
Kenapa tidak jalan? Apakah karena induk organisasi diduduki orang-orang yang tidak kompeten dan orang yang berduit....
Sejak 1986, orang-orang yang mempunyai duit masuk, sedangkan para profesional di-taruh di pinggir. Mereka yang punya duit, maka dia yang mengatur-atur. Mulanya sih bagus, tapi sepuluh tahun kemudian hasilnya hancur. Kelihatan kan di Kuala Lumpur kemarin? Saat itu kita tidak ada apa-apanya.
Dalam mengurusi olahraga, harus ada kebersamaan. Tidak bisa satu atau dua orang saja. Harus ada yang ahli dalam manajemen, ada yang berfungsi sebagai pembina atau pelatih. Selain itu, ada orang yang memang bisa berkomunikasi dalam bahasa olahraga yang lebih merakyat.
Tapi apa yang terjadi? Kalau dia sudah jadi ketua umum, semau gue karena dia yang punya duit. Atau orang yang merasa pintar selalu mengatakan dialah yang pintar, sedangkan yang lainnya bodoh. Ya tidak bisa begitu, kan?
Tapi terus berlanjut. Dalam kepeng-urusan PBSI yang baru, banyak orang yang tidak ada kaitannya dengan bulu tangkis didudukkan di situ.
Nah, inilah orang masih berpikir dalam batas-batas seperti itu. Jadi bukan intergrated process. Sebetulnya apa yang dibutuhkan organisasi itu tersirat dalam sistem kepengurusannya.
Dengan kondisi negara yang sedang amburandul ini, menurut Anda, apakah prestasi yang diraih di SEA Games kemarin merupakan hasil maksimal?
Belum tentu. Sebab, kita mengelola olahraga masih dengan cara seperti situasi negara di masa lalu. Situasi negeri seperti ini ya semestinya tidak usah jorjoran lagi. Fokuskan saja pada beberapa cabang olahraga. Seperti yang dilakukan Kenya di setiap Olimpiade. Lima-enam emas mah langganan buat mereka. Apa resepnya? Karena mereka fokus dan selektif.
Dengan keadaan seperti ini, kapan kita bisa memperbaiki diri, misalnya berada di urutan kedua di SEA Games?
Mungkin kita harus menunggu empat atau lima tahun. Tapi itu tidak masalah. Yang penting kan, setelah itu, kita bangkit kembali dengan prestasi yang jauh lebih baik dari sekarang. Jadi kita harus tahan nafsu, harus kerja keras, dan putar otak. Karena tidak punya duit, kita harus fokus. Di SEA Games itu berapa cabang yang harus kita terjunkan? Begitu pula di Asian Games atau Olimpiade, berapa cabang?
Bagaimana proyeksi ke depan? Untuk event Asian Games yang akan dilangsungkan tahun ini?
Asian Games merupakan kelanjutan dari yang kita capai di SEA Games. Saya tanya sekarang, mau ambil dari mana enam medali emas? Ayo kita hitung! Tapi kita tidak pernah siap. Baru saja mengerjakan SEA Games tahun 2001, tahun 2002 Asian Games kan sepertinya sudah bunyi. Nah, sekarang harus menghadapi Asian Games, lalu tahu-tahu tahun 2003 sudah SEA Games lagi. Terus, 2004 sudah Olimpiade Athena! Nah lo, gimana nih!
Jadi, apa langkah selanjutnya?
Buatlah apa yang dulu dalam Orde Lama dilakukan Pak Maladi, disusun program dalam sepuluh tahun. Kita mengupayakan "Garuda Emas", tapi garudanya terbang melulu, sedangkan emasnya ketinggalan di bumi, ha-ha-ha.... Tapi intinya, yang ingin saya katakan, kita harus memiliki program jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Jangka panjang itu untuk masa depan pada suatu ketika, entah tahun besok atau tahun 3000. Harusnya kita tidak lagi membicarakan soal kaderisasi karena hal itu sudah merupakan proses terintegrasi dan hasilnya selalu tampak di dalam penyusunan tim ber-ikut-berikutnya.
Omong-omong, saat ini RUU Olahraga sedang digodok. Sebenarnya, menurut Anda, apa sih manfaat RUU itu bagi kemajuan olahraga kita? Bisa ikut meningkatkan prestasi?
Bisa. Paling sedikit dia bisa memberi landasan kekuatan untuk mengamankan kesinambungan pembinaan olahraga dari tahun ke tahun. Saya lihat di sana ada pasal mengenai cabang olahraga yang selalu dipertandingkan di multi-event seperti renang dan atletik. Itu yang harus ada tujuannya untuk peng-amanan proses pembinaan. Tapi ada di pasal lain beberapa cabang olahraga yang berprestasi dunia. Itu harus diamankan supaya bisa berprestasi dan menjadi tradisi untuk tetap berada di tingkat prestasi dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini