SURABAYA memang dikenal sebagai kota bonek alias bondo nekat. Sebutan ini semula diberikan kepada suporter Persebaya yang datang ke Jakarta dengan modal dengkul. Kini sebutan itu juga diberikan kepada Wali Kota Sunarto Sumoprawiro, yang akrab disapa Cak Narto. Namun, Cak Narto disebut bonek bukan dalam urusan sepak bola—meski ia adalah juga Ketua Umum Persebaya. Itu karena Cak Narto nekat mengendalikan pemerintahannya dari luar negeri, bahkan dalam keadaan terbaring sakit di Austin Medical and Repatriation Center, Melbourne, Australia. Kenekatan wali kota ini pun akan dibalas oleh DPRD Surabaya dengan menggelar rapat paripurna pada 7 Januari mendatang untuk meminta pertanggungjawaban Cak Narto.
Negeri ini sepertinya tak punya aturan dalam urusan yang begitu penting. Ataukah arogansi kekuasaan sudah demikian tebal di daerah-daerah dan, dengan alasan otonomi daerah, mereka seperti bebas berbuat apa pun? Cak Narto menghilang dari Surabaya tanpa permisi. Wakil wali kota, yang saat itu mengikuti Kursus Lemhannas, tidak diberi tahu, apalagi diberi pelimpahan wewenang. Tiba-tiba ia dikabarkan sakit, tapi tetap meneken surat-surat penting, dari pengangkatan pejabat sampai masalah taksi. Ia tak ingin membagi tugas-tugas dengan bawahannya, termasuk kepada wakilnya.
Gubernur Jawa Timur dan Menteri Dalam Negeri semestinya tak bisa menganggap sepele kasus seperti ini karena bisa menjadi virus di kemudian hari untuk pejabat lainnya atau di daerah yang lain. Aturan harus jelas: kalau pejabat pergi ke luar negeri, kepada siapa ia meminta izin; kalau keperluannya ternyata untuk berobat, siapa yang diberi pelimpahan wewenang untuk sementara. Logikanya, orang sakit perlu istirahat, jangan dibebani dengan memikirkan pekerjaan rutin. Namun, Cak Narto malah membawa misteri. Ia ke luar negeri, semula disebut melakukan studi banding, kemudian ternyata dikabarkan sakit, tapi tak pernah ada komunikasi dengan wakil wali kota, juga dengan mitra kerjanya seperti lembaga DPRD.
Persoalan di Surabaya pun menumpuk karena keputusan penting harus menunggu dari kamar tidur sebuah rumah sakit di Melbourne. Persoalan sampah, misalnya. Belum lagi urusan di luar pemerintahan seperti kemelut Persebaya menghadapi Liga Indonesia awal Januari ini. Karena itu, memang tepat jika DPRD Surabaya mengeluarkan sikap untuk mengadakan sidang paripurna meminta pertanggungjawaban khusus wali kota. Yang lebih penting adalah menyiapkan aturan secara nasional mengenai kasus seperti ini atau, kalau sudah ada aturan itu, bagaimana menegakkannya tanpa pandang bulu. Atau, adakah Cak Narto begitu hebat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini