BILA kecelakaan kereta api mendapatkan perhatian besar, itu karena angkutan massal ini menjadi alat transportasi yang sulit diganti. Kereta yang bergandeng-gandeng ini punya daya angkut tinggi, dengan bahan bakar yang relatif ramah lingkungan. Asap dari mesin diesel lebih cepat meresap ke tanah, lagi pula sebagian besar rute kereta api berada di lingkungan bukan perumahan, melainkan kebun, sawah, hutan.
Diubah-ubahnya nama organisasi pengelola perkeretaapian kita menyiratkan adanya dilema: antara kereta api untuk angkutan rakyat yang murah dan kereta api sebagai jasa angkutan yang mendatangkan untung.
Dulu, namanya DKA (Djawatan Kerata Api). Makna "djawatan" di situ adalah bahwa DKA terutama untuk melayani masyarakat. Pada tahun 1963, DKA diubah menjadi PNKA atau Perusahaan Negara Kereta Api. Ini bukan sekadar ganti nama, melainkan terkandung maksud bahwa perkeretaapian boleh mencari pemasukan sendiri, pemerintah lebih berperan hanya sebagai pemegang saham.
Tampaknya PNKA dianggap gagal. Alhasil, di tahun 1973 nama PNKA dikembalikan menjadi "jawatan": PJKA atau Perusahaan Jawatan Kereta Api. Perkeretaapian kembali sepenuhnya dikelola lewat birokrasi pemerintah.
Eloknya, justru ketika bernama PJKA ini jumlah subsidi malah turun. Tahun anggaran 1988-1989, misalnya, subsidi hanya Rp 32,8 miliar, sementara tahun sebelumnya Rp 34,8 miliar. Tahun berikutnya, 1989-1990, subsidi tinggal Rp 31,5 miliar. Tren ini dilihat dengan optimistis. Dan pada tahun 1991 pemerintah mempersilakan PJKA mengembangkan diri. Namanya diubah lagi menjadi Perumka, Perusahaan Umum Kereta Api.
Posisi perusahaan umum kira-kira berada di antara perusahaan jawatan dan perseroan terbatas: dibolehkan mencari untung tanpa mengabaikan tujuan semula, melayani transportasi untuk rakyat kebanyakan. Kebijakan itu diterjemahkan menjadi manajemen subsidi silang. Diluncurkan sejumlah kereta eksekutif dengan tarif berlipat. Laba itu untuk menutup kerugian di sektor kereta ekonomi. Kebijakan ini ternyata sukses. Di tahun 1994, untuk pertama kali dalam sejarah perkeretaapian Indonesia sejak awal kemerdekaan, Perumka meraih laba, sekitar Rp 3,5 miliar. Keuntungan ini memungkinkan Perumka meningkatkan pelayanan. Diluncurkan beragam kereta mahal yang bisa menempuh perjalanan lebih cepat. Manajemen subsidi silang ini di tahun 1997 mendatangkan untung sekitar Rp 23 miliar.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 justru menguntungkan perkeretaapian. Banyak penumpang pesawat beralih ke kereta eksekutif. Prospek ini menyebabkan pemerintah mengubah Perumka menjadi PT (persero) di tahun 1999. Bisa dikatakan, sisi bisnis perkeretaapian menjadi lebih besar daripada sisi pelayanan masyarakatnya.
Tapi, benarkah angka keuntungan itu? Andai pun benar, ada yang tercecer. Manajemen yang diharuskan tetap mengemban misi pelayanan masyarakat tak sepenuhnya memenuhinya. Kerugian kereta ekonomi memang bisa ditutup, tapi peningkatan layanan buat kelas bawah ini tak bisa dipenuhi. Bila saja pe-ningkatan itu dilaksanakan, neraca yang tersaji adalah kerugian.
Benar, itu bukan semata salah PT Kereta Api Indonesia (KAI). Merajalelanya calo, pencurian peralatan kereta api (dari kipas angin sampai sekrup sinyal di pintu perlintasan kereta api), penumpang gelap, dan lain-lain ikut andil dalam merugikan PT KAI. Akibatnya, perawatan dan peremajaan peralatan kereta api serta peningkatan kualitas karyawan tak sepenuhnya bisa dilakukan.
Dalam suasana seperti itu, manajemen banyak menerapkan "kebijaksanaan". Misalnya, ketika lampu sinyal mati dan belum diganti karena bujet masih harus ditunggu, masinis pun dipersilakan jalan terus. Biarpun peraturan mengatakan bila ada orang di atap kereta maka kereta sama sekali tak boleh jalan, itu terpaksa dilanggar. Menertibkan mereka yang berkeliaran di atap kereta bukan perkara mudah: butuh tenaga dan itu berarti biaya. Celakanya, iklim "melanggar" ini menjadi kebiasaan sehingga masinis pun berani melanggar rambu walau tak ada perintah.
Tidakkah dengan demikian lebih baik PT KAI dikembalikan sebagai "jawatan" sehingga manajemen jelas arahnya: melayani masyarakat luas? Tentu, pelayanan dalam makna yang benar—ada kemudahan, jaminan keselamatan, syukur-syukur ditambah kenyamanan. Bila pelayanan benar, karyawan kereta api pun bakal punya keberanian moral untuk mendisiplinkan penumpang: dari melarang penumpang menebeng di lokomotif sampai ketegasan menarik denda penumpang gelap.
Lalu, berapa besar subsidi harus dikucurkan untuk kereta api, tanya Anda. Jawabnya, perkeretaapian bukan dunia yang berdiri sendiri. Ia pun bagian dari seluruh sarana di republik ini. Bila saja pendapatan negara tak dikorupsi, mestinya tersedia cukup uang untuk hal-hal yang memang sudah seharusnya disubsidi. Pilihan lain, ubah manajemen perkeretaapian seperti manajemen maskapai penerbangan. Dijamin, jasa angkutan kereta hanya akan dinikmati kalangan yang berkantung tebal saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini