NAMANYA cuma satu kata: Ibrahim. Dia tak ada kaitannya dengan Tommy Soeharto, yang menggunakan nama ini ketika masih buron. Lelaki berusia 40 tahun itu berasal dari Mali, Afrika. Sehari-hari ia mondar-mandir di antara rumah kontrakannya di Jalan K.S. Tubun dan Pasar Tanahabang, Jakarta Pusat. Pedagang pakaian ini amat ramah kepada tetangga yang ditemuinya di jalan. Ia selalu mengucapkan "Assalamualaikum" sambil menebar senyum.
Jangan heran bila lelaki yang beristrikan wanita Jakarta itu cukup disenangi oleh warga Kompleks Kertaniaga, Tanahabang. "Dia orangnya sopan dan suka membantu," kata Gatot Subagyo, tetangga Ibrahim.
Sissoko Mamaduo, teman Ibrahim, termasuk pula yang pandai membaur. Tinggal di kawasan Kebonjeruk, Jakarta Barat, orang Mali ini rajin pergi salat Jumat bersama penduduk setempat. Seusai salat, ia kerap berbincang-bincang dengan tetangganya. Bahkan dua anaknya yang lahir di Indonesia belajar di sekolah biasa bersama anak-anak kampung.
Cuma, dari sekian banyak pedagang asal Afrika yang berbisnis di Tanahabang, orang yang seramah Ibrahim dan Mali bisa dihitung dengan jari. Orang Afrika lainnya, entah dari Kongo, Nigeria, Gabon, atau Kamerun, yang mengontrak rumah di Kompleks Kertaniaga umumnya cuek.
Gaya hidup mereka pun, kata Gatot, berbeda dengan penduduk setempat. Kalau malam, orang-orang berkulit hitam itu suka berkumpul di salah satu rumah kontrakan atau di parkiran kompleks di pinggir jalan. Tak jarang mereka mabuk-mabukan dan berteriak keras-keras, membuat warga sekitarnya agak terganggu.
Pernah juga ditemukan seseorang berkulit hitam tewas ditembak polisi di pinggir jalan kawasan Tanahabang. Diduga ia pengedar narkotik. Sehari-hari ia memang tidak dikenal sebagai pedagang. Ada pula orang Afrika yang sekarang menjadi gelandangan dan berkeliaran di jalanan. Tingkahnya seperti orang stres. Itulah antara lain dampak kehadiran orang Afrika di Tanahabang. "Sekarang sih masih soal kecil-kecil, entahlah nanti," kata Gatot.
Keresahan pernah pula mencuat di Pasar Tanahabang. Para pedagang lokal mengeluh karena orang Afrika suka memotong jalur transaksi. Mereka membeli barang langsung ke produsen, tidak dari pedagang di Tanahabang. Bahkan ada yang membuat pabrik konveksi kecil-kecilan di dekat pasar.
Kepala Pasar Tanahabang, Soebehi, menyadari keresahan itu. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. "Sepanjang tak membuka kios di dalam pasar, mereka tak bisa disalahkan," kata Soebehi. Apalagi pasarnya berbeda. Yang membeli barang-barang mereka adalah orang Afrika sendiri, untuk dikirim ke negaranya.
Kalau dilihat dari sisi ekonomi, kehadiran mereka berdampak baik. Bisnis pakaian di kawasan Tanahabang menjadi bergairah. Warga di sekitarnya pun kecipratan rezeki. Banyak pedagang Afrika yang memanfaatkan warga setempat untuk bekerja sebagai pelayan toko, tukang angkut, atau penjaga keamanan. Mereka juga sering menggunakan abang ojek untuk bepergian.
Rumah kontrakan di sekitar Pasar Tanahabang pun kini laris. Sejak kebanjiran orang Afrika, dalam 5 tahun terakhir, harga sewa rumah di kawasan itu melonjak 2-3 kali lipat. Orang Afrika berani menyewa ruang seluas enam meter persegi dengan harga Rp 6 juta per tahun. Sebuah rumah toko bertingkat tiga di Jalan K.S. Tubun sekarang disewa Rp 40 juta oleh orang kulit hitam. Padahal, tiga tahun lalu, ruko itu tak laku-laku dijual ataupun disewakan.
Jika ditimbang-timbang, kehadiran orang Afrika juga menebarkan banyak berkah. Tapi memang tidak semuanya seramah Ibrahim dan Mamaduo.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini