IA jarang muncul di arena perlombaan. Tapi dialah, ir. Komot
Heruwatno, 34 tahun, juara nasional lontar martil. Lulusan
Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran ini termasuk 3 atlit
yang mempertajam rekor dalam Kejuaraan Nasional Atletik 1979 di
Jakarta baru-baru ini.
Lontarannya bergerak dari 42,16 m menjadi 43,44 m. "Kesempatan
bertanding bagi saya kurang. Paling dalam kejuaraan nasional
setahun sekali," katanya. "Hal ini cukup menghambat prestasi,
tentunya." Rekor lontar martil Asia 62,84 m atas nama Yoshihisa
Ishada dari Jepang.
Komot memiliki fisik pelempar -- berat 90 kg, tinggi 170 cm --
memberi harapan dalam SEA Games X. Diduga ia akan mampu melontar
sejauh 45 m atau mungkin lebih. "Potensinya ada untuk itu," ucap
Guus Tirayoh, atlit nasional angkatan 1960.
Nomor lempar dimulainya dengan cakram. "Ternyata martil lebih
cocok buat saya," katanya. Dalam PON 1973, lontaran martilnya
sejauh 30 m dan ia menerima medali (perunggu) pertama.
Sejak kejuaraan nasional 1975, ia melangkah ke urutan pertama.
Lontarannya tercatat 34 m, dan tak bergerak selama 2 musim. Tapi
tahun 1977, prestasinya meningkat dalam kejuaraan nasional
antara lain dwi-lomba Indonesia-Taiwan, PON IX dan SEA Games IX
di Kuala Lumpur. Untuk 4 pertandingan ini prestasinya dimulai 40
m, dan diakhiri 42,16 m. Di SEA Games IX, ia cuma meraih medali
perak.
"Semua itu berkat bantuan ayah," ujar Komot. Ayahnya, Letkol
(Purn) Sarbe Boepono, adalah pelatih yang kini ikut menangani
pelatnas SEA Games X.
Dalam kejuaraan atletik Asia di Toko Mei lalu ia kurang
beruntung. Lontarannya hanya sejauh 40 m. Antara lain karena
sebulan sebelum berangkat, menurut dokter, ginjalnya infeksi. Ia
tak boleh latihan berat. Ternyata diagnose itu, setelah melalui
pemeriksaan rongent, keliru. Maka di Tokyo, ia menempati urutan
ke-4. "Target saya ke sana memang untuk belajar dan cari
pengalaman," katanya.
Martil yang dipakainya sekarang adalah karya sendiri, terbikin
dari besi untuk tolak peluru yang diberinya lobang. Ia juga
membawa kabel cadangan sendiri untuk setiap perlombaan. "Di
Jakarta, tidak ada yang bisa membetulkan kabel putus,"
alasannya.
Komot, yang menjadi dosen di Unpad, menikah dengan koleganya,
Enny Soepremy. Biasanya sebelum berangkat mengajar, ia
menyempatkan diri untuk latihan ringan. Sedang untuk lontar
martil sendiri dilakukannya 4 kali seminggu. Tentang SEA Games
X? "Insya Allah, saya akan berusaha memecahkan rekor lagi,"
janjinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini