Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Martil sang dosen

Ir. komot haruwatno, 34, sarjana peternakan unpad merupakan harapan indonesia nomor lontar martil di sea games x. kurangnya kesempatan bertanding dikhawatirkan mempengaruhi prestasinya.

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA jarang muncul di arena perlombaan. Tapi dialah, ir. Komot Heruwatno, 34 tahun, juara nasional lontar martil. Lulusan Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran ini termasuk 3 atlit yang mempertajam rekor dalam Kejuaraan Nasional Atletik 1979 di Jakarta baru-baru ini. Lontarannya bergerak dari 42,16 m menjadi 43,44 m. "Kesempatan bertanding bagi saya kurang. Paling dalam kejuaraan nasional setahun sekali," katanya. "Hal ini cukup menghambat prestasi, tentunya." Rekor lontar martil Asia 62,84 m atas nama Yoshihisa Ishada dari Jepang. Komot memiliki fisik pelempar -- berat 90 kg, tinggi 170 cm -- memberi harapan dalam SEA Games X. Diduga ia akan mampu melontar sejauh 45 m atau mungkin lebih. "Potensinya ada untuk itu," ucap Guus Tirayoh, atlit nasional angkatan 1960. Nomor lempar dimulainya dengan cakram. "Ternyata martil lebih cocok buat saya," katanya. Dalam PON 1973, lontaran martilnya sejauh 30 m dan ia menerima medali (perunggu) pertama. Sejak kejuaraan nasional 1975, ia melangkah ke urutan pertama. Lontarannya tercatat 34 m, dan tak bergerak selama 2 musim. Tapi tahun 1977, prestasinya meningkat dalam kejuaraan nasional antara lain dwi-lomba Indonesia-Taiwan, PON IX dan SEA Games IX di Kuala Lumpur. Untuk 4 pertandingan ini prestasinya dimulai 40 m, dan diakhiri 42,16 m. Di SEA Games IX, ia cuma meraih medali perak. "Semua itu berkat bantuan ayah," ujar Komot. Ayahnya, Letkol (Purn) Sarbe Boepono, adalah pelatih yang kini ikut menangani pelatnas SEA Games X. Dalam kejuaraan atletik Asia di Toko Mei lalu ia kurang beruntung. Lontarannya hanya sejauh 40 m. Antara lain karena sebulan sebelum berangkat, menurut dokter, ginjalnya infeksi. Ia tak boleh latihan berat. Ternyata diagnose itu, setelah melalui pemeriksaan rongent, keliru. Maka di Tokyo, ia menempati urutan ke-4. "Target saya ke sana memang untuk belajar dan cari pengalaman," katanya. Martil yang dipakainya sekarang adalah karya sendiri, terbikin dari besi untuk tolak peluru yang diberinya lobang. Ia juga membawa kabel cadangan sendiri untuk setiap perlombaan. "Di Jakarta, tidak ada yang bisa membetulkan kabel putus," alasannya. Komot, yang menjadi dosen di Unpad, menikah dengan koleganya, Enny Soepremy. Biasanya sebelum berangkat mengajar, ia menyempatkan diri untuk latihan ringan. Sedang untuk lontar martil sendiri dilakukannya 4 kali seminggu. Tentang SEA Games X? "Insya Allah, saya akan berusaha memecahkan rekor lagi," janjinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus