TAK banyak publikasi untuk kedatangan Wiel Coerver. Pimpinan
PSSI cenderung merahasiakan kehadirannya di Jakarta. Tapi para
penggemar sepakbola sudah menduga bahwa orang Belanda itu
dibutuhkan untuk meningkatkan prestasi PSSI.
Coerver 4 tahun lalu membuat kontrak dengan PSSI zaman Ketua
Umum Bardosono. Kontrak itu meliputi masa 2 tahun dengan bayaran
400.000 gulden.
Awal kehadiran Coerver cepat menghebohkan. Hubungannya dengan
Bardosono ketika itu tidak lancar. Coervel berjuang keras untuk
merebut "hak mutlak' sebagaimana layaknya dipunyai seorang
pelatih profesional kaliber dunia. Ia melakukan pemanduan pemain
sendiri. Ia merombak sarana dan tata kerja TC Salatiga yang
kemudian hanya menetaskan pemain Suhatman dan Hadi Ismanto. Ia
juga menentukan siapa yang dapat mendampinginya sebagai tim
manajer untuk Tim Pra-Olimpik 1976.
Sepak-terjang Coerver waktu itu terasa amat asing bagi sepakbola
yang masih amatiran. Lebih lebih menjelang turnamen Pra-Olimpik
di Jakarta (Pebruari 1976) ia menyusun Dewan Pemain yang
mewakili seluruh anggota pemain tim. Dewan ini berhak mengajukan
keluhannya, menuntut apa yang layak menjadi haknya. "Kalian yang
menarik kehadiran penonton, kalian juga yang menentukan
kemenangan, maka kalian berhak membuka suara," nasihat Coerver
pada para pemain.
Coerver merasa bagian yang diterimanya terlampau besar bila
dibanding balasjasa yang diterima para pemain PSSI. Akhirnya
terjadilah "kontrak" antara Ketua Umum Bardosono dan para
pemain. Ada bonus untuk setiap pertandingan: menang, seri dan
kalah. Untuk turnamen Pra-Olimpik setiap pemain akan mendapat
bonus Rp 2,5 juta bila menang dan Rp 1 juta bila seri.
Prestasi Coerver dalam Pra-Olimpik pada babak kwalifikasi agak
tersendat. Melawan Kesebelasan Singapura, PSSI bertahan 0-0.
Menghadapi Papua Nugini, PSSI menang 8-2. Dengan Korea Utara,
PSSI kalah 1-2. Tapi pada puncak penentuan, asuhan Coerver dapat
menundukkan Malaysia 2-1 dan masuk final bersama Korea.
Dalam final inilah Dewi Fortuna berada di pihak Korea. Walaupun
ada perpanjangan waktu pertandingan, skor masih 0-0. Lewat
undian tendangan penalti, Indonesia dikalahkan 4-5.
Indonesia dengan demikian gagal menuju Montreal, Kanada. Tapi
goncangan Coerver sudah merangsang perubahan besar dalam dunia
sepakbola nasional. Berkata Ilyas Hadade, asisten pelatih
Coerver ketika itu: "Kini rasa bangga untuk menjadi pemain
nasional yang telah luntur mulai bangkit lagi." Ada semacam
pengakuan di sini bahwa pemain itu baru akan berprestasi apabila
sepakbola dapat menjamin hari depannya.
Kini Coerver, 55 tahun, berada di tengah PSSI lagi. Selama 3
tahun ini banyak perubahan yang terjadi pada dirinya, terutama
fisiknya. Ia menderita penyakit jantung. Seutas pembuluh darah
dari pahanya dicangkokkan pada pembuluh darah jantung yang telah
diambil karena tersumbat. Operasi itu dilakukan di Houston, AS.
Nasihat dokter tak boleh menjadi pelatih aktif. "Dua tahun saya
tidak melatih di lapangan lagi," katanya pada Herry Komar dari
TEMPO. "Tapi kini kesehatan saya sudah mulai baik."
Kontraknya dengan PSSI masih bersisa 2 bulan. Menurut Coerver,
sisa kontrak itu akan dia gunakan untuk memberi ceramah
sepakbola, memperhatikan antara lain persiapan tim junior PSSI
di bawah pelatih Sucipto Suntoro.
Coerver tak mau menilai keadaan PSSI di bawah Ali Sadikin. "Saya
sama sekali tak mengikuti perkembangan PSSI," katanya. Tentang
Bardosono komentarnya "Orangnya dinamik. Sayang ia tak ikut
lagi."
PSSI berusaha memanfaatkan kehadirannya: Entah sebagai penasehat
teknis, ataupun pelatih kepala, yang kerjanya hanya melihat,
memberi petunjuk dan berceramah di ruang rapat.
Dalam kondisi Coerver seperti sekarang, wartawan TEMPO Lukman
Setiawan berpendapat "Saya pesimis bahwa Coerver dapat membantu
PSSI meningkatkan prestasinya secara konkrit. Ia memang pintar,
tapi bukan tipe pemikir atau konseptor luar biasa. Ia juga bukan
seorang ahli strategi yang istimewa.
"Keistimewaan Coerver tadinya adalah bagaimana dia berhasil
merombak organisasi penyusunan tim: bagaimana dia menanamkan
disiplin bagaimana dia memulihkan kepercayaan bahwa sepakbola
itu harus bisa menghidupi pemain. Semua itu menyangkut hal yang
motivasional. Dan yang tak kurang pentingnya, semua itu
dilakukannya bukan di ruang rapat, melainkan dengan bermandi
peluh di lapangan hijau.
"Keadaan PSSI di zaman Galatama ini tidak seluruhnya jelek. Yang
jelek adalah prestasi di lapangan."
"Saya yakin apa yang ditempuh PSSI sekarang -- dari segi
organisasi dan administrasi -- jauh lebih baik dari masa lalu.
Ini pangkal kemajuan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini