TAHUN lalu bekas Gubernur Irian Jaya, Acub Zaenal, bilang, kalau
mau meningkatkan prestasi olah raga kita, bentuklah departemen
olah raga. Pekan lalu dalam struktur kabinet baru ternyata ada
Mcnteri Negara Pemuda dan Olah raga. Dan yang ditunjuk menduduki
jabatan tersebut ialah dr. Abdul Gafur, bekas Menteri Muda
Urusan Pemuda dalam Kabinet Pembangunan III.
Gafur, yang mengaku baru tahu "ketika Presiden mengumumkan
kabinet baru Rabu pekan lalu," tidak kaget. Baginya tugas itu
bukan hal baru. Soal kepemudaan, sudah ditekuninya 5 tahun
belakangan ini. Dan tentang urusan olah raga, "bukan sama sekali
baru bila masuk sebagai urusan seorang menteri, karena dulu kita
pernah punya menteri olah raga," katanya Senin yang lalu, di
kantornya, masih di Gedung Dep. P & K.
Penyatuan kedua bidang itu justru menggembirakan Gafur. "Pemuda
dan olah raga ibarat dua sisi dari satu mata uang," tambahnya.
Tentu saja ia belum tahu persis apa saja yang harus dilakukannya
dalam waktu dekat.
Tapi ia menganggap adanya Menteri Negara Pemuda dan Olah raga
memang untuk meningkatkan dunia olah raga kita. Dan itu meliputi
pendidikan olah raga di sekolahsekolah, pengadaan pelatih, dan
peningkatan prcstasi. Lebih penting dari itu, menurut Gafur,
ialah membuat masyarakat mempunyai rasa terlibat pada kegiatan
olah raga. "Isyarat itu sudah jauh-jauh didnangkan Presiden
ketika mencetuskan semboyan memasyaratkan olah raga dan
mengolahragakan masyarakat," tutur Gafur.
Menteri kelahiran Halmahera, Maluku, 20 Juni 1938, ini rupanya
memang prihatin dengan kemerosotan prestasi olah raga kita.
Menurut analisanya, ada empat penyebabnya. "Kita belum memiliki
kebijaksanaan olah raga yang terpadu," katanya. "Boleh dibilang
kegiatan-kegiatan selama ini berjalan sendiri-sendiri."
Keterbatasan sarana yang meliputi dana, pelatih, pendidik dan
penggerak olah raga, ialah penghalang selanjutnya. Yang ketiga
"kita belum punya satu peta olah raga yang jelas." Maksudnya,
kita belum tahu jenis olah raga yang berkembang baik dan kurang
berkembang, belum ada pendaaan berapa organisasi olah raga kita
yang berjalan baik. Penyebab terakhir, "struktur organisasi olah
raga yang kuat belum kita miliki."
Pendapat Gafur agaknya tak berbeda jauh dengan R. Maladi, 70-an
tahun, bekas menteri olah raga dalam Kabinet Dwikora. Di
rumahnya, di Jalan Gereja Thcresia, Maladi yang kini jadi orang
swasta, mengaku tetap mengikuti perkembangan olah raga. "Sejak
awal 70-an prestasi olah raga kita menurun," katanya Senin lalu.
Disebutkannya beberapa cabang yang merupakan perkecualian:
bridge, catur, dan tinju. Dan sebabnya ialah "tiadanya satu
pimpinan naslonal yang menanganinya, hingga pembinaan
simpang-siur." Dicontohkannya adanya berbagai pekan olah raga
yang tak saling berkaitan, "artinya mereka sibuk dengan
lingkungan sendiri saja."
Ini berbeda di zaman ada kementerian olah raga, "ada satu
kebijaksanaan berupa peraturan dan pengawasan," tambah Maladi.
Karena itu ketika Acub Zaenal mencetuskan gagasan perlunya
departemen olah raga, Maladi mendukungnya.
Adakah Maladi kini optimistis denlan adanya Menteri Negara
Pemuda dan Oah raga? "Masih tergantung beberapa hal agar dunia
olah raga kita meningkat," jawabnya. Misalnya, apakah pola
pembinaan olah raga nanti bisa mengerahkan dan menggerakkan daya
dan dana nasional secara optimal. Juga tergantung apakah Menteri
yang bersangkutan bisa bekerja sama dengan Ditjen Pendidikan
Luar Sekolah. Pemuda, dan Olahraga Dep. P & K, dan KONI beserta
organisasi induknya.
Adanya Menteri Negara Pemuda dan Olah raga bagi Dadang
Suprayogi, ketua harian KONI Pusat, "berarti olah raga dianggap
penting." Ada satu hal yang menyangkut pembinaan prestasi olah
raga yang selama ini dipendamnya. Ialah tentang sekolah tinggi
pelatih. "Itu perlu, untuk menyalurkan atlet-atlet kita yang
tadinya berprestasi," katanya. Ia menyayangkan para atlet yang
pernah berprestasi lalu hilang begitu saja, karena tak ada wadah
untuk mendayagunakan mereka.
Kegiatan KONI dalam menunjang prestasi, Suprayogi hanya menunjuk
peralatan olah raga yang ada di lantai dasar gedung KONI.
"Sarana seperti ini yang diperlukan juga bagi daerah, tidak
hanya di sini," katanya. "Dan kita belum mampu mengadakannya
untuk daerah." Secara tak langsung ia berbicara tentang dana.
Tapi soal dana, pagi-pagi Abdul Gafur sudah melihat pula
bahayanya, "bila tak digunakan semaksimal mungkin." Bahaya yang
lain, bila semangat berprestasi ternyata tergantung Fada dana.
"Ada yang lebih penting dan dana, ialah sportivitas, pengabdian,
idealisme, patriotisme," katanya bersemangat. Itu memang berat.
Meskipun mungkin hal itulah yang luput dari pembinaan selama
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini