Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mata Uang Di Tangan Menteri

Dengan adanya menteri negara pemuda dan olah raga dalam kabinet pembangunan IV, Abdul Gafur, diharapkan bisa meningkatkan dunia olah raga kita, dan pembinaan mental akan lebih dipentingkan. (or)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN lalu bekas Gubernur Irian Jaya, Acub Zaenal, bilang, kalau mau meningkatkan prestasi olah raga kita, bentuklah departemen olah raga. Pekan lalu dalam struktur kabinet baru ternyata ada Mcnteri Negara Pemuda dan Olah raga. Dan yang ditunjuk menduduki jabatan tersebut ialah dr. Abdul Gafur, bekas Menteri Muda Urusan Pemuda dalam Kabinet Pembangunan III. Gafur, yang mengaku baru tahu "ketika Presiden mengumumkan kabinet baru Rabu pekan lalu," tidak kaget. Baginya tugas itu bukan hal baru. Soal kepemudaan, sudah ditekuninya 5 tahun belakangan ini. Dan tentang urusan olah raga, "bukan sama sekali baru bila masuk sebagai urusan seorang menteri, karena dulu kita pernah punya menteri olah raga," katanya Senin yang lalu, di kantornya, masih di Gedung Dep. P & K. Penyatuan kedua bidang itu justru menggembirakan Gafur. "Pemuda dan olah raga ibarat dua sisi dari satu mata uang," tambahnya. Tentu saja ia belum tahu persis apa saja yang harus dilakukannya dalam waktu dekat. Tapi ia menganggap adanya Menteri Negara Pemuda dan Olah raga memang untuk meningkatkan dunia olah raga kita. Dan itu meliputi pendidikan olah raga di sekolahsekolah, pengadaan pelatih, dan peningkatan prcstasi. Lebih penting dari itu, menurut Gafur, ialah membuat masyarakat mempunyai rasa terlibat pada kegiatan olah raga. "Isyarat itu sudah jauh-jauh didnangkan Presiden ketika mencetuskan semboyan memasyaratkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat," tutur Gafur. Menteri kelahiran Halmahera, Maluku, 20 Juni 1938, ini rupanya memang prihatin dengan kemerosotan prestasi olah raga kita. Menurut analisanya, ada empat penyebabnya. "Kita belum memiliki kebijaksanaan olah raga yang terpadu," katanya. "Boleh dibilang kegiatan-kegiatan selama ini berjalan sendiri-sendiri." Keterbatasan sarana yang meliputi dana, pelatih, pendidik dan penggerak olah raga, ialah penghalang selanjutnya. Yang ketiga "kita belum punya satu peta olah raga yang jelas." Maksudnya, kita belum tahu jenis olah raga yang berkembang baik dan kurang berkembang, belum ada pendaaan berapa organisasi olah raga kita yang berjalan baik. Penyebab terakhir, "struktur organisasi olah raga yang kuat belum kita miliki." Pendapat Gafur agaknya tak berbeda jauh dengan R. Maladi, 70-an tahun, bekas menteri olah raga dalam Kabinet Dwikora. Di rumahnya, di Jalan Gereja Thcresia, Maladi yang kini jadi orang swasta, mengaku tetap mengikuti perkembangan olah raga. "Sejak awal 70-an prestasi olah raga kita menurun," katanya Senin lalu. Disebutkannya beberapa cabang yang merupakan perkecualian: bridge, catur, dan tinju. Dan sebabnya ialah "tiadanya satu pimpinan naslonal yang menanganinya, hingga pembinaan simpang-siur." Dicontohkannya adanya berbagai pekan olah raga yang tak saling berkaitan, "artinya mereka sibuk dengan lingkungan sendiri saja." Ini berbeda di zaman ada kementerian olah raga, "ada satu kebijaksanaan berupa peraturan dan pengawasan," tambah Maladi. Karena itu ketika Acub Zaenal mencetuskan gagasan perlunya departemen olah raga, Maladi mendukungnya. Adakah Maladi kini optimistis denlan adanya Menteri Negara Pemuda dan Oah raga? "Masih tergantung beberapa hal agar dunia olah raga kita meningkat," jawabnya. Misalnya, apakah pola pembinaan olah raga nanti bisa mengerahkan dan menggerakkan daya dan dana nasional secara optimal. Juga tergantung apakah Menteri yang bersangkutan bisa bekerja sama dengan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah. Pemuda, dan Olahraga Dep. P & K, dan KONI beserta organisasi induknya. Adanya Menteri Negara Pemuda dan Olah raga bagi Dadang Suprayogi, ketua harian KONI Pusat, "berarti olah raga dianggap penting." Ada satu hal yang menyangkut pembinaan prestasi olah raga yang selama ini dipendamnya. Ialah tentang sekolah tinggi pelatih. "Itu perlu, untuk menyalurkan atlet-atlet kita yang tadinya berprestasi," katanya. Ia menyayangkan para atlet yang pernah berprestasi lalu hilang begitu saja, karena tak ada wadah untuk mendayagunakan mereka. Kegiatan KONI dalam menunjang prestasi, Suprayogi hanya menunjuk peralatan olah raga yang ada di lantai dasar gedung KONI. "Sarana seperti ini yang diperlukan juga bagi daerah, tidak hanya di sini," katanya. "Dan kita belum mampu mengadakannya untuk daerah." Secara tak langsung ia berbicara tentang dana. Tapi soal dana, pagi-pagi Abdul Gafur sudah melihat pula bahayanya, "bila tak digunakan semaksimal mungkin." Bahaya yang lain, bila semangat berprestasi ternyata tergantung Fada dana. "Ada yang lebih penting dan dana, ialah sportivitas, pengabdian, idealisme, patriotisme," katanya bersemangat. Itu memang berat. Meskipun mungkin hal itulah yang luput dari pembinaan selama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus