TEKA-TEKI mengenai turunnya harga ekspor minyak Indonesia
akhirnya terungkap juga. Keputusan penting itu baru ditetapkan
oleh Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, Senin pekan ini,
dua 1 hari setelah pelantikan Kabinet Pembangunan IV. Harga 18
jenis minyak bumi Indonesia, termasuk jenis Arun Condensate yang
oleh OPEC dianggap sebagai setengak minyak mentah, turun 14,2%
sampai 16,4%. Sedang jenis Minas atau yang juga dikenal sebagai
Sumatran Light Crude (SLC) turun sebanyak 14,48% dari US$ 34,53
menjadi 29,53 per barrel. Harga-harga baru minyak Indonesia itu
berlaku surut sejak 23 Februari lalu.
Adalah menarik, Indonesia tetap mempertahankan pembeda harga
(diferensial) sebanyak US$ 0,53 di atas harga patokan minyak
OPEC, jenis Arabian Light Crude yang US$ 29 per barrel. Tadinya,
sesuai dengan permintaan pihak pembeli di Jepang, jenis Minas
paling banter akan mampu mempertahankan pembeda harga sebanyak
0,25 sen dollar per barrel, di atas ALC.
Maukah Jepang menerima? "Saya tidak pesimistis," kata seorang
pejabat minyak di Jakarta. Ia tak membantah para pembeli di
Jepang mungkin beranggapan itu agak tinggi. Tapi ia merasa
yakin, melalui kombinasi penurunan seluruh harga minyak
Indonesia, Jepang masih bisa menerimanya.
Ia sendiri tak bersedia menjelaskan lebih jauh. Tapi beberapa
kalangan minyak asing di Jakarta berpendapat, perhitungan itu
terselip dalam jumlah dan tingkat persentase dari penurunan
beberapa jenis minyak yang lain. Seperti diketahui Jepang dari
dulu membeli semua jenis minyak kita, sekalipun yang terbesar
adalah Minas. Jenis Handil misalnya, terbesar ekspornya setelah
Minas, turun 15,23%. Sedang jenis Cinta ekspornya No. 4 ke
Jepang, dipotong 15,16% (lihat tabel).
Indonesia nampaknya juga ingin berpegang teguh pada konsensus
OPEC. Dalam sidang darurat yang memakan 8 hari di London
baru-baru ini, Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang lain
berpesan, agar para anggota menepati janji tidak menurunkan lagi
pembeda harga masing-masing.
Indonesia bahkan berani melangkah lebihmaju dari Arab Saudi,
misalnya, dalam menentukan mulai berlakunya masa surut 23
Februari, sedang Arab Saudi dan negara-negara Teluk, seperti
Kuwait dan Uni Emirat Arab menetapkan harga-harga baru itu mulai
berlaku 1 Februari. Bisa dipastikan ada pembeli di Jepang yang
merasakurang senang, kalau saja mereka menutup kontrak baru
sebelum masa surut 23 Februari. Konon ada tiga langganan
Indonesia di Jepang yang merasa "terkena", dan minta pengertian
agar dikenakan harga ekspor minyak yang baru.
Seberapa jauh permintaan tiga pembeli di Jepang itu
diperhatikan, belum diketahui. Tapi diplomasi minyak Indonesia
yang sejak beberapa waktu lalu aktif mendatangi para pembeli,
bukan menunggu datangnya pembeli seperti dulu, memang bermaksud
merangkul para langganan di samping mencan pembeii baru di
Jepang. Dirut Pertamina Joedo Sumbono sewaktu singgah di Tokyo
sebulan lalu, merasakan beturposisi pasaran minyak berada di
pihak pembeli (buyer's market). "Kita betul-betul harus terjun
mencari pembeli," katanya.
Untuk membujuk para pembeli di masa yang masih serba resesi ini
memang tak mudah. Apalagi pasaran minyak belum bisa disebut
'tenang' setelah OPEC mencapai konsensus di London. Iran,
misalnya, berteriak-teriak tak mau mematuhi keputusan OPEC di
London, seperti dilontarkan oleh ketua parlemen Hoyatoleslam
Rafsanjani dalam suatu sidang Jumat di Teheran, pekan lalu. Ini
benar-benar tak menguntungkan bagi OPEC.
Kalau Iran yang produksinya diduga sekitar 2,7 juta barrel
sehari - kuota OPEC baginya adalah 2,45 juta barrel - seenaknya
menetapkan harga di bawah ALC bagi Iranian Light yang banyak
diekspor ke Jepang, sedikit banyak itu tentu akan mengacau
pasaran dari Timur Tengah dan Indonesia.
Tapi yang lebih dikhawatirkan lagi adalahgerak-gerik Inggris dan
Norwegia, penghasil minyak Laut Utara. Inggris yang berproduksi
sebanyak 2,2-2,3 juta barrel sehari bukan mustahil akan
menurunkan harga ekspor jenis Forties dan Brent - sekualitas
dengan jenis Bonny keluaran Nigeria yang kini dijual dengan US$
30,50 per barrel. Beberapa langganan Inggris yang besar, antara
ain di Amerika, menuntut agar harga itu diturunkan lagi dengan
US$ 1,50. Kalau misalnya, Inggris terpaksa tunduk pada
permintaan para pembelinya, katakanlah dengan satu dollar lagi,
mudah diduga OPEC pasti akan berkumpul kembali.
Nigeria akan mengejar harga baru Inggris, karena mempunyai
daerah pemasaran yang sama. Begitu juga Arab Saudi,
negara-negara Teluk yang lain, Libya dan Aljazair akan dibuat
pusing kepala karena sama-sama mengekspor ke Amerika. Dan
Indonesia, sekalipun sebagian besar pasarnya di Jepang, pasti
akan ikut terseret.
Menteri Pertambangan dan Energi Subroto tahu betul masalah yang
musykil itu. Karena itu ia belum merasa khawatir melihat Uni
Soviet menurunkan harga minyaknya. Produksi minyak Indonesia
sendiri yang di bulan Februari mencapai kurang lebih sejuta
barrel, diam-diam mulai naik lagi. Antara tanggal 11-17 Maret
lalu, produksi sehari rata-rata mulai pulih, mencapai 1,3 juta
barrel sehari, termasuk kondensat.
Bagi keuangan Indonesia, turunnya harga-harga minyak sungguh
berarti banyak. Menurut perhitungan sederhana, Indonesia akan
kehilangan paling sedikit sekitar US$ 1,5 milyar dalam tahun
anggaran yang baru, dengan catatan ekspor minyak sehari ratarata
ditargetkan sekitar 900.000 barrel. Untuk penurunan setiap satu
dollar saja, Indonesia akan kehilangan sekitar US$ 300 juta
setahun.
Untuk menutupi kekurangan itu, pemerintah diduga akan lebih giat
lagi mencari pinjaman komersial sebesar US$ 2 milyar. Tapi
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk tahun anggaran
mendatang pemerintah tidak bisa lagi menenma kredit bersyarat
lunak, dengan bunga 0,125% di atas Libor (tingkat suku bunga
antar-bank di London). Pinjaman US$ 1 milyar, yang
ditandatangani pertengahan bulan im, i New York, misalnya,
separuhnya dikenakan bunga 1% di atas suku bunga utama di AS
yang kini 10,5%.
Pemerintah juga dikabarkan telah meminta Dana Moneter
Internasional (IMF) agar memberikan pinjaman US$ 600 juta untuk
menolong defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran
1982/1983, yang diduga akan mencavai US$ 7,3 milyar. Tadinya
defisit itu diperkirakan tak akan lebih dari US$ 6,5 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini