Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lima Dollar Untuk Si Manis

Untuk menutupi defisit yang diakibatkan turunnya harga jual minyak ekspor, pemerintah akan mencari pinjaman komersial sebesar us$ 2 milyar. (eb)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKA-TEKI mengenai turunnya harga ekspor minyak Indonesia akhirnya terungkap juga. Keputusan penting itu baru ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, Senin pekan ini, dua 1 hari setelah pelantikan Kabinet Pembangunan IV. Harga 18 jenis minyak bumi Indonesia, termasuk jenis Arun Condensate yang oleh OPEC dianggap sebagai setengak minyak mentah, turun 14,2% sampai 16,4%. Sedang jenis Minas atau yang juga dikenal sebagai Sumatran Light Crude (SLC) turun sebanyak 14,48% dari US$ 34,53 menjadi 29,53 per barrel. Harga-harga baru minyak Indonesia itu berlaku surut sejak 23 Februari lalu. Adalah menarik, Indonesia tetap mempertahankan pembeda harga (diferensial) sebanyak US$ 0,53 di atas harga patokan minyak OPEC, jenis Arabian Light Crude yang US$ 29 per barrel. Tadinya, sesuai dengan permintaan pihak pembeli di Jepang, jenis Minas paling banter akan mampu mempertahankan pembeda harga sebanyak 0,25 sen dollar per barrel, di atas ALC. Maukah Jepang menerima? "Saya tidak pesimistis," kata seorang pejabat minyak di Jakarta. Ia tak membantah para pembeli di Jepang mungkin beranggapan itu agak tinggi. Tapi ia merasa yakin, melalui kombinasi penurunan seluruh harga minyak Indonesia, Jepang masih bisa menerimanya. Ia sendiri tak bersedia menjelaskan lebih jauh. Tapi beberapa kalangan minyak asing di Jakarta berpendapat, perhitungan itu terselip dalam jumlah dan tingkat persentase dari penurunan beberapa jenis minyak yang lain. Seperti diketahui Jepang dari dulu membeli semua jenis minyak kita, sekalipun yang terbesar adalah Minas. Jenis Handil misalnya, terbesar ekspornya setelah Minas, turun 15,23%. Sedang jenis Cinta ekspornya No. 4 ke Jepang, dipotong 15,16% (lihat tabel). Indonesia nampaknya juga ingin berpegang teguh pada konsensus OPEC. Dalam sidang darurat yang memakan 8 hari di London baru-baru ini, Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang lain berpesan, agar para anggota menepati janji tidak menurunkan lagi pembeda harga masing-masing. Indonesia bahkan berani melangkah lebihmaju dari Arab Saudi, misalnya, dalam menentukan mulai berlakunya masa surut 23 Februari, sedang Arab Saudi dan negara-negara Teluk, seperti Kuwait dan Uni Emirat Arab menetapkan harga-harga baru itu mulai berlaku 1 Februari. Bisa dipastikan ada pembeli di Jepang yang merasakurang senang, kalau saja mereka menutup kontrak baru sebelum masa surut 23 Februari. Konon ada tiga langganan Indonesia di Jepang yang merasa "terkena", dan minta pengertian agar dikenakan harga ekspor minyak yang baru. Seberapa jauh permintaan tiga pembeli di Jepang itu diperhatikan, belum diketahui. Tapi diplomasi minyak Indonesia yang sejak beberapa waktu lalu aktif mendatangi para pembeli, bukan menunggu datangnya pembeli seperti dulu, memang bermaksud merangkul para langganan di samping mencan pembeii baru di Jepang. Dirut Pertamina Joedo Sumbono sewaktu singgah di Tokyo sebulan lalu, merasakan beturposisi pasaran minyak berada di pihak pembeli (buyer's market). "Kita betul-betul harus terjun mencari pembeli," katanya. Untuk membujuk para pembeli di masa yang masih serba resesi ini memang tak mudah. Apalagi pasaran minyak belum bisa disebut 'tenang' setelah OPEC mencapai konsensus di London. Iran, misalnya, berteriak-teriak tak mau mematuhi keputusan OPEC di London, seperti dilontarkan oleh ketua parlemen Hoyatoleslam Rafsanjani dalam suatu sidang Jumat di Teheran, pekan lalu. Ini benar-benar tak menguntungkan bagi OPEC. Kalau Iran yang produksinya diduga sekitar 2,7 juta barrel sehari - kuota OPEC baginya adalah 2,45 juta barrel - seenaknya menetapkan harga di bawah ALC bagi Iranian Light yang banyak diekspor ke Jepang, sedikit banyak itu tentu akan mengacau pasaran dari Timur Tengah dan Indonesia. Tapi yang lebih dikhawatirkan lagi adalahgerak-gerik Inggris dan Norwegia, penghasil minyak Laut Utara. Inggris yang berproduksi sebanyak 2,2-2,3 juta barrel sehari bukan mustahil akan menurunkan harga ekspor jenis Forties dan Brent - sekualitas dengan jenis Bonny keluaran Nigeria yang kini dijual dengan US$ 30,50 per barrel. Beberapa langganan Inggris yang besar, antara ain di Amerika, menuntut agar harga itu diturunkan lagi dengan US$ 1,50. Kalau misalnya, Inggris terpaksa tunduk pada permintaan para pembelinya, katakanlah dengan satu dollar lagi, mudah diduga OPEC pasti akan berkumpul kembali. Nigeria akan mengejar harga baru Inggris, karena mempunyai daerah pemasaran yang sama. Begitu juga Arab Saudi, negara-negara Teluk yang lain, Libya dan Aljazair akan dibuat pusing kepala karena sama-sama mengekspor ke Amerika. Dan Indonesia, sekalipun sebagian besar pasarnya di Jepang, pasti akan ikut terseret. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto tahu betul masalah yang musykil itu. Karena itu ia belum merasa khawatir melihat Uni Soviet menurunkan harga minyaknya. Produksi minyak Indonesia sendiri yang di bulan Februari mencapai kurang lebih sejuta barrel, diam-diam mulai naik lagi. Antara tanggal 11-17 Maret lalu, produksi sehari rata-rata mulai pulih, mencapai 1,3 juta barrel sehari, termasuk kondensat. Bagi keuangan Indonesia, turunnya harga-harga minyak sungguh berarti banyak. Menurut perhitungan sederhana, Indonesia akan kehilangan paling sedikit sekitar US$ 1,5 milyar dalam tahun anggaran yang baru, dengan catatan ekspor minyak sehari ratarata ditargetkan sekitar 900.000 barrel. Untuk penurunan setiap satu dollar saja, Indonesia akan kehilangan sekitar US$ 300 juta setahun. Untuk menutupi kekurangan itu, pemerintah diduga akan lebih giat lagi mencari pinjaman komersial sebesar US$ 2 milyar. Tapi berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk tahun anggaran mendatang pemerintah tidak bisa lagi menenma kredit bersyarat lunak, dengan bunga 0,125% di atas Libor (tingkat suku bunga antar-bank di London). Pinjaman US$ 1 milyar, yang ditandatangani pertengahan bulan im, i New York, misalnya, separuhnya dikenakan bunga 1% di atas suku bunga utama di AS yang kini 10,5%. Pemerintah juga dikabarkan telah meminta Dana Moneter Internasional (IMF) agar memberikan pinjaman US$ 600 juta untuk menolong defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran 1982/1983, yang diduga akan mencavai US$ 7,3 milyar. Tadinya defisit itu diperkirakan tak akan lebih dari US$ 6,5 milyar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus