BERKENDARAAN pagi hari dari daerah pemukiman ke pusat Kota Los
Angeles adalah pengalaman yang mengerikan. Kota raya itu
memanjang lebih dari 100 mil di pantai barat AS, di tepi
Samudera Pasifik. Setiap pagi jalan-jalan raya menuju pusat kota
penuh sesak mobil, bumper-to-bumper lima enam jalur berjalan
pelan. Polusi menghalangi pandangan sampai 50-100 meter saja,
selebihnya putih kelabu asap knalpot. Sedang di seberang sana,
Jalan raya menuju pemukiman kosong melompong.
Beberapa minggu setelah Los Angeles (ini tahun 1970), saya
berkesempatan mengunjungi sebuah kota percobaan kecil, dua jam
dari Washington DC. Seperti ilustrasi buku anak-anak.
Berpenduduk sekitar 100.000 saja, dan dengan beberapa industri
kecil, semua orang bisa makan siang di rumah masing-masing.
Anak-anak berjalan kaki ke sekolah, hampir tidak ada jalan raya
diseberangi karena diatur demikian rupa. Tata tentrem karta
raharja.
Pegawai real-estate tempat tersebut menegkan kira-kira begini:
Kota-kota raya seperti Los Angeles dan sejenisnya telah
dibiarkan berkembang tanpa kendali sehingga menjadi sangat tidak
Pancasilais (ini terjemahan bebas saya perkataan yang dipakai
tuan itu very un-American !) Bayangkan, lanjutnya. Pada siang
hari daerah pemukiman di kota seperti itu melulu dihuni
perempuan iseng atau para pembantu. Ada main antara mereka ini
dengan tukang listrik, tukang PAM, tukang susu dsb., bukan hanya
cerita khayalan.
Anak-anak dan remaja di sana persis seperti yan dilukiskan
Simon & Garfunkel dalam lagu 'Baby Driver'(dari arbum Bridge
Over Troubled Water, yang terbit pada pergantian tahun itu).
Sedang para commuters (orang yang ulang-alik bekerja) mendapat
kebebasan luas di kota. Di sana tersedia hotel yang menyewakan
kamar jam-jaman, lengkap dengan teman kencannya-sekalian.
Nah, kota percobaan inilah yang diharapkan bisa menjadi
antitesis Los Angeles di atas itu. Inilah kota masa depan,
katanya. (Dalam hal terakhir ini dia keliru besar).
Tahun berikutnya saya mulai tinggal di Jakarta, dan mulai
mengamati kota metropolitan ini dengan prihatin. Rasanya sudah
separuh jalan menuju Los Angeles sedang kota kecil percobaan
itu ada di jalur lain ke arah lain, nun seratus tahun jauhnya di
belakang sana.
Karena itu pada suatu malam saya bermimpi.
Rasanya di rumah saya ada telepon (wah!). Dan saya menungguinya
sepanjang hari, penuh harap seseorang akan menelepon dan
memberitahukan yang baik-baik. Benar saja. Ketika saya mulai
bosan menunggu, seseorang menelepon. Gagang telepon saya angkat,
dan dengan penuh etika saya sebutkan nama saya.
"Saya yang mengatur kota ini," kata suara dari seberang sana.
"Gubernur?" tanya saya sambil berpikir wah.
"Husy, jangan banyak tanya," balasnya ketus. "Saya akan izinkan
Saudara memiliki telepon yang Saudara pegang itu, kalau bisa
mengatakan dengan tepat penyakit kota ini yang paling parah,
sekalian bagaimana mengobatinya."
"Apakah pendapat saya begitu berharganya?" tanya saya.
"Saudara tidak perlu bertanya. Mulai saja."
Dengan penuh harap akan memiliki telepon gratis, buru-buru saya
jawab, "Arus penduduk setiap harinya."
"Apa sih, itu?"
"Setiap hari ratusan ribu, atau barangkali jutaan orang menyerbu
kota untuk bekerja. Seperti laron mengerumuni lampu . ."
"Tak perlu pakai seperti-seperti segala," potongnya.
"Tapi saya kepingin menjadi sastrawan," balas saya cepat, karena
merasa tersinggung. ''Nah, arus manusia inilah induk
penyakitnya, yang menimbulkan kemacetan lalu-lintas,
keberingasan pemakai jalan, polusi, pemborosan bahan bakar,
waktu, uang, dan tenaga," sambung saya.
"Tapi kan akan dibangun jalan layang?" bantah dari sana.
"Tidak keburu. Waktu jalan itu selesai, arus manusia dan
kendaraan sudah meningkat sekian puluh persen," balas saya. Saya
tambahi bahwa persoalan yang sebenarnya adalah persoalan sosial,
dan sekalian saya takut-takuti orang yang di seberang sana
dengan cerita yang saya dengar dari pegawai real-estate dulu.
"Saudara becanda, ya! Jadi resep saudara adalah, biarkan mereka
cari makan di Depok saja, atau izinkan mereka mendirikan rumah
di halaman kantor masing-masing. Begitu?"
"Salah. Kantor-kantor itulah yang harus diusir ke batas kota."
"Hah?" suara dari seberan sana, kaget.
"Pakai hak segala. Dengar dulu, dong. Keliling kota ini hampir
90 km, kira-kira 20 km adalah pantai. Nah, pada garis batas
daratan yang 70 km ini dapat dideretkan semua kantor departemen
dan nondepartemen, pemerintah dan nonpemerintah, sekolah-sekolah
negeri dan nonnegeri . . ."
"Sekolah?" potongnya kaget lagi. "Kan mereka sudah lama ada di
sana?"
"Itu ketinggalan zaman. Semuanya sudah berubah. Dulu muridnya
kan belum banyak, dan belum dijemput mobil? Jangan sok, deh,
mereka. Yang boleh tingal di kota hanya yang betul-betul perlu
saja. Nah, langkah berikutnya adalah membentuk Dewan Arbitrasi
Perumahan, yang melakukan perundingan memindahkan orang yang
tinggal di barat, yang kantornya kebetulan di timur, misalnya
sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang dapat pergi kerja
jalan kaki atau bersepeda."
"Kalau menteri-menteri juga harus berkantor di pinggiran kota
kan repot kalau akan menghadiri sidang kabinet paripurna?"
"Lha, tapi kan sudah tidak banyak lagi orang dan kendaraan di
jalanan? Jangankan menteri. Camat pun kalau mau berkendaraan
pakai sirene dan voorijder di jalan raya, saya yakin tidak akan
menimbulkan kemacetan lalu-lintas," balas saya yakin.
"Ide saudara utopistis, dan tidak relevan," suara dari sana,
ketus.
Saya ingin berteriak, ini adalah antitesis kemacetan lalu-lintas
di kota ini, ini adalah ide masa depan, tapi tiba-tiba telepon
di hadapan saya lenyap, dan gagang telepon yang saya pegang
ternyata pipa tua saya, asapnya mengebul ke kuping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini