Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Saya mimpi mengatur kota

Arus manusia yang bekerja di kota metropolitan jakarta, penyebab utama kemacetan lalu lintas. ide yang tidak relevan, bila kantor-kantor dan sekolah-sekolah dipindahkan. yang tinggal di kota hanya yang betul-betul perlu.

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKENDARAAN pagi hari dari daerah pemukiman ke pusat Kota Los Angeles adalah pengalaman yang mengerikan. Kota raya itu memanjang lebih dari 100 mil di pantai barat AS, di tepi Samudera Pasifik. Setiap pagi jalan-jalan raya menuju pusat kota penuh sesak mobil, bumper-to-bumper lima enam jalur berjalan pelan. Polusi menghalangi pandangan sampai 50-100 meter saja, selebihnya putih kelabu asap knalpot. Sedang di seberang sana, Jalan raya menuju pemukiman kosong melompong. Beberapa minggu setelah Los Angeles (ini tahun 1970), saya berkesempatan mengunjungi sebuah kota percobaan kecil, dua jam dari Washington DC. Seperti ilustrasi buku anak-anak. Berpenduduk sekitar 100.000 saja, dan dengan beberapa industri kecil, semua orang bisa makan siang di rumah masing-masing. Anak-anak berjalan kaki ke sekolah, hampir tidak ada jalan raya diseberangi karena diatur demikian rupa. Tata tentrem karta raharja. Pegawai real-estate tempat tersebut menegkan kira-kira begini: Kota-kota raya seperti Los Angeles dan sejenisnya telah dibiarkan berkembang tanpa kendali sehingga menjadi sangat tidak Pancasilais (ini terjemahan bebas saya perkataan yang dipakai tuan itu very un-American !) Bayangkan, lanjutnya. Pada siang hari daerah pemukiman di kota seperti itu melulu dihuni perempuan iseng atau para pembantu. Ada main antara mereka ini dengan tukang listrik, tukang PAM, tukang susu dsb., bukan hanya cerita khayalan. Anak-anak dan remaja di sana persis seperti yan dilukiskan Simon & Garfunkel dalam lagu 'Baby Driver'(dari arbum Bridge Over Troubled Water, yang terbit pada pergantian tahun itu). Sedang para commuters (orang yang ulang-alik bekerja) mendapat kebebasan luas di kota. Di sana tersedia hotel yang menyewakan kamar jam-jaman, lengkap dengan teman kencannya-sekalian. Nah, kota percobaan inilah yang diharapkan bisa menjadi antitesis Los Angeles di atas itu. Inilah kota masa depan, katanya. (Dalam hal terakhir ini dia keliru besar). Tahun berikutnya saya mulai tinggal di Jakarta, dan mulai mengamati kota metropolitan ini dengan prihatin. Rasanya sudah separuh jalan menuju Los Angeles sedang kota kecil percobaan itu ada di jalur lain ke arah lain, nun seratus tahun jauhnya di belakang sana. Karena itu pada suatu malam saya bermimpi. Rasanya di rumah saya ada telepon (wah!). Dan saya menungguinya sepanjang hari, penuh harap seseorang akan menelepon dan memberitahukan yang baik-baik. Benar saja. Ketika saya mulai bosan menunggu, seseorang menelepon. Gagang telepon saya angkat, dan dengan penuh etika saya sebutkan nama saya. "Saya yang mengatur kota ini," kata suara dari seberang sana. "Gubernur?" tanya saya sambil berpikir wah. "Husy, jangan banyak tanya," balasnya ketus. "Saya akan izinkan Saudara memiliki telepon yang Saudara pegang itu, kalau bisa mengatakan dengan tepat penyakit kota ini yang paling parah, sekalian bagaimana mengobatinya." "Apakah pendapat saya begitu berharganya?" tanya saya. "Saudara tidak perlu bertanya. Mulai saja." Dengan penuh harap akan memiliki telepon gratis, buru-buru saya jawab, "Arus penduduk setiap harinya." "Apa sih, itu?" "Setiap hari ratusan ribu, atau barangkali jutaan orang menyerbu kota untuk bekerja. Seperti laron mengerumuni lampu . ." "Tak perlu pakai seperti-seperti segala," potongnya. "Tapi saya kepingin menjadi sastrawan," balas saya cepat, karena merasa tersinggung. ''Nah, arus manusia inilah induk penyakitnya, yang menimbulkan kemacetan lalu-lintas, keberingasan pemakai jalan, polusi, pemborosan bahan bakar, waktu, uang, dan tenaga," sambung saya. "Tapi kan akan dibangun jalan layang?" bantah dari sana. "Tidak keburu. Waktu jalan itu selesai, arus manusia dan kendaraan sudah meningkat sekian puluh persen," balas saya. Saya tambahi bahwa persoalan yang sebenarnya adalah persoalan sosial, dan sekalian saya takut-takuti orang yang di seberang sana dengan cerita yang saya dengar dari pegawai real-estate dulu. "Saudara becanda, ya! Jadi resep saudara adalah, biarkan mereka cari makan di Depok saja, atau izinkan mereka mendirikan rumah di halaman kantor masing-masing. Begitu?" "Salah. Kantor-kantor itulah yang harus diusir ke batas kota." "Hah?" suara dari seberan sana, kaget. "Pakai hak segala. Dengar dulu, dong. Keliling kota ini hampir 90 km, kira-kira 20 km adalah pantai. Nah, pada garis batas daratan yang 70 km ini dapat dideretkan semua kantor departemen dan nondepartemen, pemerintah dan nonpemerintah, sekolah-sekolah negeri dan nonnegeri . . ." "Sekolah?" potongnya kaget lagi. "Kan mereka sudah lama ada di sana?" "Itu ketinggalan zaman. Semuanya sudah berubah. Dulu muridnya kan belum banyak, dan belum dijemput mobil? Jangan sok, deh, mereka. Yang boleh tingal di kota hanya yang betul-betul perlu saja. Nah, langkah berikutnya adalah membentuk Dewan Arbitrasi Perumahan, yang melakukan perundingan memindahkan orang yang tinggal di barat, yang kantornya kebetulan di timur, misalnya sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang dapat pergi kerja jalan kaki atau bersepeda." "Kalau menteri-menteri juga harus berkantor di pinggiran kota kan repot kalau akan menghadiri sidang kabinet paripurna?" "Lha, tapi kan sudah tidak banyak lagi orang dan kendaraan di jalanan? Jangankan menteri. Camat pun kalau mau berkendaraan pakai sirene dan voorijder di jalan raya, saya yakin tidak akan menimbulkan kemacetan lalu-lintas," balas saya yakin. "Ide saudara utopistis, dan tidak relevan," suara dari sana, ketus. Saya ingin berteriak, ini adalah antitesis kemacetan lalu-lintas di kota ini, ini adalah ide masa depan, tapi tiba-tiba telepon di hadapan saya lenyap, dan gagang telepon yang saya pegang ternyata pipa tua saya, asapnya mengebul ke kuping.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus