Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Yang Rusak Di Kandang Sendiri

Diikuti oleh 160 pegolf dari 18 negara, pemain tuan rumah gagal, Robert Wrenn JR (AS) keluar sebagai juara. (or)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 13 kali Jakarta menjadi tuan rumah Indonesia Open, tapi tak satu pun pegolf profesional Indonesia yang bisa menjuarainya. Jangankan jadi kampiun, masuk dalam 10 besar saja belum bisa. Dalam kejuaraan pekan lalu (17-20 Maret) yang diikuti 160 pegolf dari 18 negara, nasib mereka lebih menyedihkan. Gemmy, 26 tahun, yang tahun 1982 berhasil menempatkan diri pada posisi ke-37 dan mengantungi sekitar Rp 300.000, Minggu lalu gagal masuk final. Bekas caddy yang beranak 3 itu termenung beberapa saat di meja panitia setelah mengetahui namanya terusur dari daftar finalis. Bisa dimaklumi pahitnya kekalahan itu, karena kegagalannya hanya dipisahkan jarak seujung rambut. Total score yang dibuatnya sampai hari kedua adalah 148 (72 dan 76) sementara batas persyaratan masuk final memperebutkan hadiah USS 75.000 atau sekitar Rp 53 juta itu, adalah 147. Gemmy, satu dari 6 pemain pro tuan rumah yang diharapkan tampil di final, pada hari pertama bermain mantap. Baru Rada hari kedua emosinya tiba-tiba guncang Tee off dari hole I bolanya melenceng ke anan dan terjerembab dalam rough (rumput tinggi). Ketika mau menghantarkan bolanya ke green dalam pukulan ketiga, bola itu masuk pula ke dalam perangkap pasir. Untung dari bunker yang terjal itu dia masih mampu mendaratkan bolanya sekitar 1 meter dari pin. Dia membuat par pada hole ber-par 5 yang berjarak 502 meter tersebut. Di luar lapangan, anak Betawi ini tidak dikenal sebaai pecandu rokok. "Saya hanya merokok untuk menenangkan emosi ketika main," katanya. Memang, sejak bolanya kena perangkap rough dan terjerembab di bunker pada hari kedua itu, dia kelihatan mulai merogoh saku dan menyedot dalam-dalam rokok kretek berfilter. Kadang-kadang dia melepaskan topi dan membiarkan kepalanya disengat matahari. Namun ketegangan tetap gagal dia atasi. "Terus terang, sekalipun lapangan ini kayak rumah sendiri, saya tak bisa mengatasinya. Terutama hole satu sampai sembilan. Saya tak tahu bagaimana, yang jelas saya selalu rusak di sini," kata Gemmy. Kawan-kawannya sendiri yang mengikuti permainannya sambil membawakan rokok maupun minumannya, punya kelakar sendiri. "Dia lupa salat," kata seseoran. Ketika azan Jumat berkumandang di luar lapangan Rawamangun, Gemmy yang mengaku jarang mangkir sembahyang Jumat itu, harus tee off. Kegagalan Gemmy kelihatannya tidak mengecewakan sekitar 2.000 pecandu golf yang mengikuti pertandingan. Karena mereka punya andalan lain yang lebih meyakinkan: Paterno Braza. Sekalipun pegolf erusla 42 tahun ini datang dari Filipina dia sudah diperlakukan seperti teman dekat oleh orang-orang golf di sini. Malahan ia dijadikan marga Sihombing, karena tampannya yang mirip orang Batak. Begitu seringnya dia mundar-mandir untuk mengajar ataupun memperebutkan hadiah di sini, sampai-sampai dia sudah bisa bercakap-cakap dalam ahasa Indonesia. "Malu, saya orang Jawa," katanya ketika menerima hadiah US$ 7.500 (sekitar Rp 5,2 Juta) sebagai pemenang kedua kejuaraan. Sudomo, Menteri Tenaga Kerja yang baru dan hadir dalam pemberian hadiah itu, tertawa dibuatnya. Braza dan teman senegaranya, Mario Siodina, sudah mempimpin pada hari pertama ketika mereka sama-sama membuat score 4 di bawah par 66. Tetapi posisi mereka pada hari kedua dilampaui Robert Wrenn Jr, 23 tahun, pegolf asal AS yang menyandang gelar sarana bidang komumkasi itu. Anak muda yang baru satu setengah tahun jadi pemain profesional itu membuat score mengesankan dengan catatan 7 di bawah par 63. Pada hari ketia dan keempat denan hanya bertahan 1 di atas par 71, pegolf dari daerah tembakau, Virginia, itu keluar sebagai pemenang pertama dan merebut hadiah uang sebesar US$ 11.245 (sekitar Rp 7,8 juta). Robert mulai mengayunkan stick golf pada usia 12 tahun. Ia terjun ke Sirkuit Golf Asia sejak tahun lalu. Tapi baru tahun ini ia panen kemenangan dan itu terjadi di Indonesia Open yang merupakan matarantai ke-5 setelah Filipina, Hongkong, Malaysia dan Singapura. "Hadiah yang saya rebut di sini, begitu juga yang saya peroleh di negara lain, akan saya gunakan untuk membayar utang pada sponsor saya," ceritanya. Dia berkelana di Asia untuk mencapai ranking tertentu supaya bisa ambil bagian dalam turnamen-turnamen di AS yang memperebutkan hadiah ratusan ribu dollar. Tentang para pemain .pro Indonesia yang hampir tak pernah bertanding di luar kandang, Robert menganjurkan agar mereka mencoba. "Katakanlah ke Singapura atau Malaysia. Saya heran, mengapa tak ada sponsor yang mau menunjang mereka. Tak masuk akal. Untuk Braza ada orang kaya Indonesla yang mau mensponsori kedatangannya ke Indonesia. Iengapa menolong pemain sendiri tak mau. Pengalaman itu penting," kata sang juara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus