SUDAH 13 kali Jakarta menjadi tuan rumah Indonesia Open, tapi
tak satu pun pegolf profesional Indonesia yang bisa
menjuarainya. Jangankan jadi kampiun, masuk dalam 10 besar saja
belum bisa.
Dalam kejuaraan pekan lalu (17-20 Maret) yang diikuti 160 pegolf
dari 18 negara, nasib mereka lebih menyedihkan. Gemmy, 26 tahun,
yang tahun 1982 berhasil menempatkan diri pada posisi ke-37 dan
mengantungi sekitar Rp 300.000, Minggu lalu gagal masuk final.
Bekas caddy yang beranak 3 itu termenung beberapa saat di meja
panitia setelah mengetahui namanya terusur dari daftar finalis.
Bisa dimaklumi pahitnya kekalahan itu, karena kegagalannya hanya
dipisahkan jarak seujung rambut. Total score yang dibuatnya
sampai hari kedua adalah 148 (72 dan 76) sementara batas
persyaratan masuk final memperebutkan hadiah USS 75.000 atau
sekitar Rp 53 juta itu, adalah 147.
Gemmy, satu dari 6 pemain pro tuan rumah yang diharapkan tampil
di final, pada hari pertama bermain mantap. Baru Rada hari kedua
emosinya tiba-tiba guncang Tee off dari hole I bolanya melenceng
ke anan dan terjerembab dalam rough (rumput tinggi). Ketika mau
menghantarkan bolanya ke green dalam pukulan ketiga, bola itu
masuk pula ke dalam perangkap pasir. Untung dari bunker yang
terjal itu dia masih mampu mendaratkan bolanya sekitar 1 meter
dari pin. Dia membuat par pada hole ber-par 5 yang berjarak 502
meter tersebut.
Di luar lapangan, anak Betawi ini tidak dikenal sebaai pecandu
rokok. "Saya hanya merokok untuk menenangkan emosi ketika main,"
katanya. Memang, sejak bolanya kena perangkap rough dan
terjerembab di bunker pada hari kedua itu, dia kelihatan mulai
merogoh saku dan menyedot dalam-dalam rokok kretek berfilter.
Kadang-kadang dia melepaskan topi dan membiarkan kepalanya
disengat matahari. Namun ketegangan tetap gagal dia atasi.
"Terus terang, sekalipun lapangan ini kayak rumah sendiri, saya
tak bisa mengatasinya. Terutama hole satu sampai sembilan. Saya
tak tahu bagaimana, yang jelas saya selalu rusak di sini," kata
Gemmy.
Kawan-kawannya sendiri yang mengikuti permainannya sambil
membawakan rokok maupun minumannya, punya kelakar sendiri. "Dia
lupa salat," kata seseoran. Ketika azan Jumat berkumandang di
luar lapangan Rawamangun, Gemmy yang mengaku jarang mangkir
sembahyang Jumat itu, harus tee off.
Kegagalan Gemmy kelihatannya tidak mengecewakan sekitar 2.000
pecandu golf yang mengikuti pertandingan. Karena mereka punya
andalan lain yang lebih meyakinkan: Paterno Braza. Sekalipun
pegolf erusla 42 tahun ini datang dari Filipina dia sudah
diperlakukan seperti teman dekat oleh orang-orang golf di sini.
Malahan ia dijadikan marga Sihombing, karena tampannya yang
mirip orang Batak.
Begitu seringnya dia mundar-mandir untuk mengajar ataupun
memperebutkan hadiah di sini, sampai-sampai dia sudah bisa
bercakap-cakap dalam ahasa Indonesia. "Malu, saya orang Jawa,"
katanya ketika menerima hadiah US$ 7.500 (sekitar Rp 5,2 Juta)
sebagai pemenang kedua kejuaraan. Sudomo, Menteri Tenaga Kerja
yang baru dan hadir dalam pemberian hadiah itu, tertawa
dibuatnya.
Braza dan teman senegaranya, Mario Siodina, sudah mempimpin pada
hari pertama ketika mereka sama-sama membuat score 4 di bawah
par 66. Tetapi posisi mereka pada hari kedua dilampaui Robert
Wrenn Jr, 23 tahun, pegolf asal AS yang menyandang gelar sarana
bidang komumkasi itu. Anak muda yang baru satu setengah tahun
jadi pemain profesional itu membuat score mengesankan dengan
catatan 7 di bawah par 63. Pada hari ketia dan keempat denan
hanya bertahan 1 di atas par 71, pegolf dari daerah tembakau,
Virginia, itu keluar sebagai pemenang pertama dan merebut hadiah
uang sebesar US$ 11.245 (sekitar Rp 7,8 juta).
Robert mulai mengayunkan stick golf pada usia 12 tahun. Ia
terjun ke Sirkuit Golf Asia sejak tahun lalu. Tapi baru tahun
ini ia panen kemenangan dan itu terjadi di Indonesia Open yang
merupakan matarantai ke-5 setelah Filipina, Hongkong, Malaysia
dan Singapura. "Hadiah yang saya rebut di sini, begitu juga yang
saya peroleh di negara lain, akan saya gunakan untuk membayar
utang pada sponsor saya," ceritanya.
Dia berkelana di Asia untuk mencapai ranking tertentu supaya
bisa ambil bagian dalam turnamen-turnamen di AS yang
memperebutkan hadiah ratusan ribu dollar.
Tentang para pemain .pro Indonesia yang hampir tak pernah
bertanding di luar kandang, Robert menganjurkan agar mereka
mencoba. "Katakanlah ke Singapura atau Malaysia. Saya heran,
mengapa tak ada sponsor yang mau menunjang mereka. Tak masuk
akal. Untuk Braza ada orang kaya Indonesla yang mau mensponsori
kedatangannya ke Indonesia. Iengapa menolong pemain sendiri tak
mau. Pengalaman itu penting," kata sang juara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini