KOMANDAN Garnisun Ibukota, Brigjen Eddy Marzuki Nalapraya,
kikuk, tapi juga terharu sewaktu menerima serombongan pendekar
berkulit putih di rumahnya pekan lalu. Ketika tuan rumah hendak
mempersilakan mereka duduk, tiba-tiba para pendekar itu menyusun
barisan, memberi hormat sambil merapatkan tangan di dada.
"Pencak silat kini sudah berkembang pesat di Belanda," kata
Nalapraya, Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI)
sesaat setelah menerima pendekar-pendekar Belanda itu. Bukan
cuma di Belanda, negara yang pernah berperang melawan
pendekar-pendekar Indonesia zaman dulu dengan bedil yang telah
mempelajari seni bela diri Indonesia. Bahkan juga Jerman Barat,
Belgia, Luksemburg, Prancis, Inggris, Denmark, Suriname, Arab
Saudi, Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru.
Umumnya pendekar-pendekar silat asing itu berguru pada para
mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. "Kami yakin guru-guru
kita itu telah mengembangkan ilmu bela diri kita secara
subyektif. Anggota sudah ribuan sehingga selera apa yang mereka
pakai, kita tidak tahu," kata Nalapraya lagi. Nah, untuk
meluruskan jurus-jurus kebudayaan bela diri Indonesia di luar
negeri itulah, IPSI mengundang mereka untuk bertanding pada
Kejuaraan Olahraga Pencak Silat Prasetya Mulya Pertama di Istora
Jakarta 6-8 Agustus.
Ternyata minat datang ke Indonesia cukup besar. Dari Belanda
datang 31 pendekar, dari Jerman muncul 10 pesilat, dari AS 7 dan
Australia 2 pesilat. Sedangkan Malaysia dan Singapura --
keduanya bersama Indonesia tahun 1979 mendirikan Persatuan Silat
Antara Bangsa (Persilat) -- juga mengutus masingmasing 33 dan 51
pendekar. Pasukan-pasukan pendekar yang datang ini cukup besar
karena masing-masing negara diperkenankan menurunkan 2 tim, baik
putra maupun putri dalam kejuaraan yang direncanakan
dilangsungkan 2 tahun sekali ini. Dalam kejuaraan sekarang IPSI
menurunkan 35 pendekar.
"Pasukan Belanda" yang pernah mengalahkan Indonesia 4-1 dalam
Kejuaraan Persahabatan Pencak Silat di Jakarta tahun 1980,
memang dijagokan jadi juara. Mereka telah datang sejak awal
pekan lalu, ditempatkan di Wisma Aneka Senayan. "Mereka berlatih
secara tertutup. Katanya pukul 5 pagi sudah keluar berlatih
sampai iam sarapan. Malam mulai lagi pukul 7," kata Eddy
Nalapraya .
Lalu bagaimana kemungkinan bagi pendekar-pendekar IPSI?
"Mestinya kita menang. Teknik kita lebih tingi, karena ibarat
masakan Cina, kita kokinya," jawab Ketua Umum IPSI asal
Sumedang, Jawa Barat itu. Tapi buru-buru ia menambahkan: "Kalau
kita kalah, kita harus menghormati mereka." Pembina olahraga
terbaik 1981 pilihan wartawan olahraga DKI itu yakin pada
kemampuan pesilat-pesilat IPSI yang akan diturunkan, karena
mereka adalah juara-juara nasional dalam PON 1981. Yang
dikhawatirkannya soal stamina karena mereka baru mempersiapkan
diri dua minggu sebelum Lebaran. Sedangkan pesilat-pesilat
Eropa, Belanda khususnya, rutin berlatih sepanjang tahun.
Pemuda-pemuda Eropa, menurut Yanuarno, Ketua Bidang Luar Negeri
IPSI tertarik akan pencak silat, "karena mereka ingin mengisi
diri dengan seni budaya yang lain dari iklim kebudayaan yang
kaku dan individualis. " Banyak orang tua di Eropa senang
anak-anaknya belajar pencak silat karena membuat anak-anak jadi
lebih sopan. Seorang pesilat Belanda yang ditanyai Nalapraya,
kenapa tidak memilih karate, kungfu, taekwondo atau seni bela
diri lain yang lebih terkenal, menjawab: "Seni bela diri itu
terlalu kaku. Dalam silat, saya pun dapat berdansa."
Seni bela diri Asia Tenggara (silat, termasuk arnis dari
Filipina) juga populer di AS sejak akhir dekade 1970. Menurut
Suryadi Jafri (29 tahun), yang telah menjadi guru silat di AS,
"seni bela diri asal Jepang, Korea dan Cina sudah terlalu
dikomersialkan, sehingga tejadi dekadensi. Banyak pemuda AS
pindah belajar silat atau arnis yang mengajarkan bukan cuma ilmu
bela diri secara fisik, tapi juga secara mental."
Pencak silat sebagai seni bela diri memang bukan cuma mengandung
unsur olahraga (prestasi) yang dapat dipertandingkan, tapi juga
unsur pengisian mental. Para pendekar Eropa yang datang ke
Jakarta pekan ini tampaknya ingin membuktikan hal itu lebih
jauh. Karena itu ada yang menanyakan pada Yanuarno tempat yang
menjadi pusat persilatan. Ketua Bidang Luar Negeri IPSI itu
bingung juga dan terpaksa cuma bisa menjawab "Abdi mah latihan
di sawah," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini