Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Da'wah, sekaligus nafkah

Mengajar agama dari rumah ke rumah murid-murid. tidak menuntut gaji, tapi sering diberi sumbangan. ada yang lebih senang mendapat hadiah buku. (sd)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari sekelompok pemuda bertampang angker mendatangi Sanusi Guru agama berasal Ambon ini kaget. Tapi setelah mereka menyatakan ingin belajar agama, dia jadi terharu. "Mungkin mereka tertarik pada isi ceramah-ceramah saya," ujar Sanusi Thoha Kaplale, 30 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi UII yang menumpang di Asrama Putra Masjid Syuhada, Yogyakarta. Pemuda-pemuda itu oleh masyarakat sekitarnya dianggap sering melakukan kerusuhan. Mereka semula enggan belajar agama pada seorang kiai. Tapi selama setahun belajar, sepuluh dari 14 orang semula masih bertahan 10 orang. "Mereka mulai insyaf," tutur Sanusi. Sebagai guru agama di Yogyakarta Sanusi cukup populer. Dalam bulan Ramadhan ia menjadi imam sembahyang taraweh di kampus Gajah Mada, dan mengajar anak-anak maupun remaja di masjid Syuhada. Dikunjunginya pula berbagai rumah untuk mengajar atas panggilan. "Areal tugas saya meliputi seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta," katanya. Sering pula ia memenuhi undangan pengajian ke luar kota. Ada beberapa tokoh masyarakat yang menjadi muridnya. Para pejabat, misalnya, belajar agama karena ingin menunaikan rukun Islam kelima. Atau seorang bekas tokoh militer yang di masa dinasnya pernah menembak orang, di masa tuanya kini ingin menebus dosanya dengan mendekatkan diri kepada Allah. Beberapa di antara muridnya belajar agama secara privat karena merasa malu belajar secara umum dan terbuka. Tapi sebagian besar lantaran waktu mereka yang terbatas hingga tak memungkinkan belajar agama secara khusus di madrasah misalnya. Dalam mengajar, Sanusi seringkali mengajak muridnya berdialog. Menghadapi orang tua, Sanusi biasanya mengajak mereka berdiskusi. Menghadapi remaja yang sama sekali belum mengenal agama, kalau perlu, Sanusi bernyanyi sambil bermain gitar. Selama ini Sanusi belum punya kerja tetap. Tugasnya mengajar agama, hanyalah "sebagai panggilan hati" belaka. Ia suka mengikuti latihan da'wah yang diselenggarakan di masjid Syuhada. Dari kegiatannya berda'wah, sesekali Sanusi menerima imbalan Rp 10.000 sampai Rp 25 000. Tapi kepada murid-muridnya ia selalu menandaskan bahwa ia tidak mencari uang. "Saya lebih senang menerima hadiah seperti buku misalnya," katanya. Seperti halnya orang Ambon dari Yogyakarta itu, Ny. Sa'adiah Djalil, 53 tahun, jadi guru agama yang cukup beken di Medan. Cara pendekatannya memang khas. Bila ada gadis muridnya yang tampak tercenung sedih, Sa'adiah pun lantas menghiburnya dengan berpantun: Kalau meludah, meludahlah/Asal jangan kena kain/Yang sudah sudahlah/Toh banyak pemuda yang lain. Begitu pula jika ada perjaka muridnya yang asyik melamun, Sa'adiah pun lantas menggodanya Kupikir engkau sekuntum mawar/Rupanya sekuntum melati/Kusangka engkau 'dik, jadi penawar/Rupanya cuma penghancur hati. "Pokoknya mengajar itu tidak boleh tegang, harus ada variasinya," ujar Sa'adiah, istri pensiunan tentara yang tinggal di Jalan Bakti. Ibu dari sepuluh anak ini sudah 20 tahun mengajar agama. Setiap hari ia mendatangi belasan rumah, cuma hari Minggu libur. Ia juga mengajar para remaja anggota Perkumpulan Muda-mudi Jamiatul Fatah Islamiyah. "Guru yang paling banyak memberikan waktunya bagi seluruh anggota perkumpulan ini adalah Ibu Sa'adiah," ujar Hasan, 28 tahun, pimpinan perkumpulan tersebut. Sa'adiah tak pernah khawatir pulang malam, sebab ia selalu dijemput-antar. Di antara murid-muridnya, ada kelompok nenek-nenek, kelompok remaja, kelompok anak-anak. Anggota kelompok secara sukarela menyediakan rumahnya sebagai tempat belajar. Sa'adiah yang sudah ubanan itu tidak menerima gaji, "sebab ini semata-mata da'wah," katanya. Tapi ada saja muridnya yang menyerahkan sumbangan ala kadarnya. Mengapa orang belajar agama secara privat? "Belajar agama di madrasah terikat waktu," tutur Sa'adiah. Tidak sedikit pula orang tua yang baru sadar akan pentingnya pengetahuan agama, malu masuk ke madrasah. "Saya juga sering melihat anak-anak yang kaku sembahyang dan mengaji. Ini lantaran ulah orang tuanya yang tidak membiasakan memberi teladan kehidupan agama di rumah," kata guru itu lagi. Sa'adiah adalah lulusan sebuah madrasah di Aceh Utara, dan sempat mengikuti kursus kader da'wah (1960) yang diselenggarakan oleh PB Al-Washliyah. Ia juga mengantungi sertifikat IPPSIS (Ikatan Pengajian Penuntun Syari'at Islam) pimpinan Al-Ustadz Haji Bahrum Saleh Nasution yang juga sangat terkenal di Medan. Agaknya pantas ia menyandang gelar ustadzah. Di kampung Kembang Kuning, Surabaya, juga ada ustadzah yang cukup tekun mengajar dari pintu ke pintu sejak 1968. Ia adalah Ning Istiqomah, 50 tahun. Sejak muda sudah biasa ia mendampingi ibunya, almarhumah Nyai Sarah, mengajar agama. Sebuah langgar di samping rumahnya tak pernah sepi dari anak-anak yang belajar agama atau mengaji Selain itu seminggu dua kali ia mengajar dari rumah ke rumah. Banyak keluarga di bilangan Darmo kawasan elite di Surabaya, yang memanggil Ning Istiqomah untuk mengajar anak-anak mereka. "Sehabis mengajar saya biasanya diantar pulang dengan mobil," kata Ning. Hal itu barangkali juga lantaran pergaulan Ning Istiqomah yang cukup luas. Selain jadi pengurus Muslimat NU di kawasan tempat ia tinggal, ustadzah ini juga menjadi pengurus muslimat masjid Rahmat, tak jauh dari rumahnya. Ia juga tak pernah memungut uang. "Ini semata-mata da'wah, karena itu tidak boleh kita mengkomersialkannya," katanya. Tapi biasanya orang-orang gedongan itu menyumbang sampai Rp 10.000 lebih. "Kalau memang dikasih, ya alhamdulillah," ujarnya. Uang sebanyak itu ternyata sebagian ia manfaatkan untuk melengkapi sarana langgarnya seperti buku pelajaran agama, tikar, dan sebagainya. Juga untuk menghidupi Sautur Rahmah, sebuah grup musik samroh yang dibinanya sejak 1960. Grup yang terdiri dari anak-anak ini dilengkapi dengan sebuah grup sandiwara. Ning Istiqomah yang asli Surabaya ini pernah mengenyam pendidikan umum dan agama di Pondok Putri Pereng di Sepanjang, Kabupaten Sidoarjo. Dan sampai sekarang ia tidak merikah. Mengapa? "Karena saya terlalu sayang pada langgar warisan ibu. Apalagi 22 kemanakan saya semuanya belajar agama di sini," ucapnya lirih. Rupanya segenap cinta kasihnya bertumpah-ruah pada langgar yang kian hari kian dipercantik itu. Perasaan begitu pula, cinta pada anak-anak, barangkali yang mendorong Siti Rosyidah, 20 tahun, betah menjadi guru agama kecil-kecilan di Kauman, sebuah perkampungan yang kebanyakan dihuni keluarga muslim di jantung Kota Sala, persis di sebelah utara masjid Agung. "Begitu dekatnya anak-anak itu pada saya hingga sering mereka tak segan-segan mengutarakan isi hati pada saya," kata Rosyidah, tamatan PGA Negeri Sala. Rosyidah sendiri sudah terbiasa mengasuh kelima adiknya. Muridnya tidak banyak, itu pun anak-anak para tetangganya. Lima hari dalam seminggu ia mengajar agama dan mengaji sejak waktu asar sampai maghrib. Agar anak-anak itu tidak bosan, ia sering mendongeng. Kalau perlu ia membagikan permen. Mereka adalah anak-anak para pengusaha batik yang sudah sibuk berdagang di Pasar Klewer, pasar tekstil yang terletak di sebelah selatan masjid Agung. Setelah sembahyang maghrib, anak-anak itu kembali ke rumah mbak Rosyidah untuk belajar pengetahuan umum sampai tiba waktu isya. Mereka pada pagi hari duduk di SD. Dari orang tua masing-masing Rosyidah menerima imbalan Rp 5.000. Itu tentu sangat membantu dapur Mudjiwari, orang tua Rosyidah, yang sehari-hari dikenal sebagai tukang sepatu. Tapi adakalanya Rosyidah merasa sulit. Yaitu bila pertanyaan murid sukar dijawab. "Karena itu saya mesti banyak belajar pula," katanya. Memang Rosyidah rajin pula mengikuti pengajian purnomosiden, di masjid Agung setiap bulan, persis di saat bulan lagi purnama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus