SUATU hari sekelompok pemuda bertampang angker mendatangi Sanusi
Guru agama berasal Ambon ini kaget. Tapi setelah mereka
menyatakan ingin belajar agama, dia jadi terharu. "Mungkin
mereka tertarik pada isi ceramah-ceramah saya," ujar Sanusi
Thoha Kaplale, 30 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi UII yang
menumpang di Asrama Putra Masjid Syuhada, Yogyakarta.
Pemuda-pemuda itu oleh masyarakat sekitarnya dianggap sering
melakukan kerusuhan. Mereka semula enggan belajar agama pada
seorang kiai. Tapi selama setahun belajar, sepuluh dari 14 orang
semula masih bertahan 10 orang. "Mereka mulai insyaf," tutur
Sanusi.
Sebagai guru agama di Yogyakarta Sanusi cukup populer. Dalam
bulan Ramadhan ia menjadi imam sembahyang taraweh di kampus
Gajah Mada, dan mengajar anak-anak maupun remaja di masjid
Syuhada. Dikunjunginya pula berbagai rumah untuk mengajar atas
panggilan. "Areal tugas saya meliputi seluruh wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta," katanya. Sering pula ia memenuhi undangan
pengajian ke luar kota.
Ada beberapa tokoh masyarakat yang menjadi muridnya. Para
pejabat, misalnya, belajar agama karena ingin menunaikan rukun
Islam kelima. Atau seorang bekas tokoh militer yang di masa
dinasnya pernah menembak orang, di masa tuanya kini ingin
menebus dosanya dengan mendekatkan diri kepada Allah. Beberapa
di antara muridnya belajar agama secara privat karena merasa
malu belajar secara umum dan terbuka. Tapi sebagian besar
lantaran waktu mereka yang terbatas hingga tak memungkinkan
belajar agama secara khusus di madrasah misalnya.
Dalam mengajar, Sanusi seringkali mengajak muridnya berdialog.
Menghadapi orang tua, Sanusi biasanya mengajak mereka
berdiskusi. Menghadapi remaja yang sama sekali belum mengenal
agama, kalau perlu, Sanusi bernyanyi sambil bermain gitar.
Selama ini Sanusi belum punya kerja tetap. Tugasnya mengajar
agama, hanyalah "sebagai panggilan hati" belaka. Ia suka
mengikuti latihan da'wah yang diselenggarakan di masjid Syuhada.
Dari kegiatannya berda'wah, sesekali Sanusi menerima imbalan Rp
10.000 sampai Rp 25 000.
Tapi kepada murid-muridnya ia selalu menandaskan bahwa ia tidak
mencari uang. "Saya lebih senang menerima hadiah seperti buku
misalnya," katanya.
Seperti halnya orang Ambon dari Yogyakarta itu, Ny. Sa'adiah
Djalil, 53 tahun, jadi guru agama yang cukup beken di Medan.
Cara pendekatannya memang khas. Bila ada gadis muridnya yang
tampak tercenung sedih, Sa'adiah pun lantas menghiburnya dengan
berpantun: Kalau meludah, meludahlah/Asal jangan kena kain/Yang
sudah sudahlah/Toh banyak pemuda yang lain.
Begitu pula jika ada perjaka muridnya yang asyik melamun,
Sa'adiah pun lantas menggodanya Kupikir engkau sekuntum
mawar/Rupanya sekuntum melati/Kusangka engkau 'dik, jadi
penawar/Rupanya cuma penghancur hati.
"Pokoknya mengajar itu tidak boleh tegang, harus ada
variasinya," ujar Sa'adiah, istri pensiunan tentara yang tinggal
di Jalan Bakti. Ibu dari sepuluh anak ini sudah 20 tahun
mengajar agama.
Setiap hari ia mendatangi belasan rumah, cuma hari Minggu libur.
Ia juga mengajar para remaja anggota Perkumpulan Muda-mudi
Jamiatul Fatah Islamiyah. "Guru yang paling banyak memberikan
waktunya bagi seluruh anggota perkumpulan ini adalah Ibu
Sa'adiah," ujar Hasan, 28 tahun, pimpinan perkumpulan tersebut.
Sa'adiah tak pernah khawatir pulang malam, sebab ia selalu
dijemput-antar.
Di antara murid-muridnya, ada kelompok nenek-nenek, kelompok
remaja, kelompok anak-anak. Anggota kelompok secara sukarela
menyediakan rumahnya sebagai tempat belajar. Sa'adiah yang sudah
ubanan itu tidak menerima gaji, "sebab ini semata-mata da'wah,"
katanya. Tapi ada saja muridnya yang menyerahkan sumbangan ala
kadarnya.
Mengapa orang belajar agama secara privat? "Belajar agama di
madrasah terikat waktu," tutur Sa'adiah. Tidak sedikit pula
orang tua yang baru sadar akan pentingnya pengetahuan agama,
malu masuk ke madrasah. "Saya juga sering melihat anak-anak yang
kaku sembahyang dan mengaji. Ini lantaran ulah orang tuanya yang
tidak membiasakan memberi teladan kehidupan agama di rumah,"
kata guru itu lagi.
Sa'adiah adalah lulusan sebuah madrasah di Aceh Utara, dan
sempat mengikuti kursus kader da'wah (1960) yang diselenggarakan
oleh PB Al-Washliyah. Ia juga mengantungi sertifikat IPPSIS
(Ikatan Pengajian Penuntun Syari'at Islam) pimpinan Al-Ustadz
Haji Bahrum Saleh Nasution yang juga sangat terkenal di Medan.
Agaknya pantas ia menyandang gelar ustadzah.
Di kampung Kembang Kuning, Surabaya, juga ada ustadzah yang
cukup tekun mengajar dari pintu ke pintu sejak 1968. Ia adalah
Ning Istiqomah, 50 tahun. Sejak muda sudah biasa ia mendampingi
ibunya, almarhumah Nyai Sarah, mengajar agama. Sebuah langgar di
samping rumahnya tak pernah sepi dari anak-anak yang belajar
agama atau mengaji Selain itu seminggu dua kali ia mengajar dari
rumah ke rumah.
Banyak keluarga di bilangan Darmo kawasan elite di Surabaya,
yang memanggil Ning Istiqomah untuk mengajar anak-anak mereka.
"Sehabis mengajar saya biasanya diantar pulang dengan mobil,"
kata Ning. Hal itu barangkali juga lantaran pergaulan Ning
Istiqomah yang cukup luas. Selain jadi pengurus Muslimat NU di
kawasan tempat ia tinggal, ustadzah ini juga menjadi pengurus
muslimat masjid Rahmat, tak jauh dari rumahnya.
Ia juga tak pernah memungut uang. "Ini semata-mata da'wah,
karena itu tidak boleh kita mengkomersialkannya," katanya. Tapi
biasanya orang-orang gedongan itu menyumbang sampai Rp 10.000
lebih. "Kalau memang dikasih, ya alhamdulillah," ujarnya.
Uang sebanyak itu ternyata sebagian ia manfaatkan untuk
melengkapi sarana langgarnya seperti buku pelajaran agama,
tikar, dan sebagainya. Juga untuk menghidupi Sautur Rahmah,
sebuah grup musik samroh yang dibinanya sejak 1960. Grup yang
terdiri dari anak-anak ini dilengkapi dengan sebuah grup
sandiwara.
Ning Istiqomah yang asli Surabaya ini pernah mengenyam
pendidikan umum dan agama di Pondok Putri Pereng di Sepanjang,
Kabupaten Sidoarjo. Dan sampai sekarang ia tidak merikah.
Mengapa? "Karena saya terlalu sayang pada langgar warisan ibu.
Apalagi 22 kemanakan saya semuanya belajar agama di sini,"
ucapnya lirih. Rupanya segenap cinta kasihnya bertumpah-ruah
pada langgar yang kian hari kian dipercantik itu.
Perasaan begitu pula, cinta pada anak-anak, barangkali yang
mendorong Siti Rosyidah, 20 tahun, betah menjadi guru agama
kecil-kecilan di Kauman, sebuah perkampungan yang kebanyakan
dihuni keluarga muslim di jantung Kota Sala, persis di sebelah
utara masjid Agung. "Begitu dekatnya anak-anak itu pada saya
hingga sering mereka tak segan-segan mengutarakan isi hati pada
saya," kata Rosyidah, tamatan PGA Negeri Sala.
Rosyidah sendiri sudah terbiasa mengasuh kelima adiknya.
Muridnya tidak banyak, itu pun anak-anak para tetangganya. Lima
hari dalam seminggu ia mengajar agama dan mengaji sejak waktu
asar sampai maghrib. Agar anak-anak itu tidak bosan, ia sering
mendongeng. Kalau perlu ia membagikan permen. Mereka adalah
anak-anak para pengusaha batik yang sudah sibuk berdagang di
Pasar Klewer, pasar tekstil yang terletak di sebelah selatan
masjid Agung.
Setelah sembahyang maghrib, anak-anak itu kembali ke rumah mbak
Rosyidah untuk belajar pengetahuan umum sampai tiba waktu isya.
Mereka pada pagi hari duduk di SD. Dari orang tua masing-masing
Rosyidah menerima imbalan Rp 5.000. Itu tentu sangat membantu
dapur Mudjiwari, orang tua Rosyidah, yang sehari-hari dikenal
sebagai tukang sepatu.
Tapi adakalanya Rosyidah merasa sulit. Yaitu bila pertanyaan
murid sukar dijawab. "Karena itu saya mesti banyak belajar
pula," katanya. Memang Rosyidah rajin pula mengikuti pengajian
purnomosiden, di masjid Agung setiap bulan, persis di saat bulan
lagi purnama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini