LOMBA lintas alam dan bukit bukan medan yang enteng, walau hanya
urituk menempuh jarak 16 km. Dilengkapi walkman dan tape
recorder dengan lagu-lagu mars agar semangat tetap tinggi untuk
menundukkan medan yang serba berbukit---juga tak banyak
menolong.
Tak heran bila sebagian peserta lomba yang diadakan Fakultas
Pertanian Unpad, Bandung itu pada loyo. Seperti laskar kalah
perang. "Kalau tahu medanya begini berat, saya tak mau ikut,"
hta Yanti, 16 tahun dari regu Gabon, ketika ia baru mencapai
seperlima dari jarak tempuh.
Lomba tradisional ini semula berbentuk gerak jalan. Kemudian
sejak tahun 1980, diubah menjadi lomba lintas lembah dan bukit.
Karena ternyata banyak mahasiswa Unpad yang mencintai rimba dan
alam, termasuk Ir. Iwan Abdurrachman, si pelopor yang terkenal
sebagai pencipta lagu-lagu Bimbo itu. Tahun ini diikuti 320 regu
dengan 1.500 orang peserta lebih, tak hanya dari Bandung, tapi
juga dari Tasikmalaya, Cimahi dan Sumedang.
Sifat lomba yang semula rekreasi sambil berolahraga, kemudian
juga ditingkatkan dalam lomba 26 September baru lalu: mereka
harus juga menanam pohon pelindung sumbangan Dinas Perkebunan
Kab. Majalengka di sekitar bukit Dago yang mulai kritis itu.
Tiap regu, dengan bekal sekop atau cangkul kecil, cukup menanam
sebatang pohon Albasia pada lubang yang sudah disediakan
panitia. Di samping itu. supaya tahu banyak mengenai lingkungan
hidup, mereka diminta menjawab 25 pertanyaan yang sudah
disediakan--semua menyangkut seluk- beluk lingkungan. Hasilnya,
sekiur 2 ha tanah kritis dari 10 tanah kritis yang ada di Dago
ditanami pohon.
Barangkali karena terlalu lelah, ada peserta yang menanam pohon
tanpa akar. Dengan cara serampangan ini hasilnya terlihat
setelah lomba dua tahun lalu. "Hanya 30% pohon yang hidup," kata
Hendy Jatnika, ketua panitia penyelenggara lomba.
Dalam lomba hari Ahad lalu, para peserta dlepas dari Fak.
Pertanian Unpad di bukit Dago. Mereka mula-mula menuruni bukit,
kemudian melintasi sawah. Sawah landai itu hanya beberapa meter,
sudah harus merayapi bukit lagi dengan kemiringan sekitar 40-60
derajat. Para peserta yang kebanyakan remaja mulai ngos-ngosan.
Begitu seterusnya: mendaki bukit dan menuruni lembah. Pada pos
11, berjarak lebih kurang 6 km dari tempat start, regu putri
Remaja dan Bandos menyerah. Beberapa orang perlu ditolong. Tapi
di pos itu panitia tak menyediakan kendaraan, karena lokasinya
memang sulit dijangkau. "Ya, terpaksa kami gotong," kata Asep,
salah seorang peserta.
Tak sedikit pula peserta putra yang bahu-membahu berjalan supaya
regu tetap utuh. Ada juga yang berusaha mendorong panut
kawannya, kedka ada yane tak sanggup lagi mendaki.
Ada pula peserta yang berlari ketika menuruni bukit. Tapi karena
bukit amat terjal, ia tak mampu menghentikan larinya. Akhirnya
ia berguling-guling.
Yang tidak siap berlomba tapi beruntung adalah Alit dan
kawan-kawannya. Pelajar SMP 11 Tasikmalaya itu ikut hanya karena
pengalamannya di kepramukaan. Alit mengaku sering berkemah di
gunung, sebelum Galunggung meletus. Bekal itulah yang membuat
Alit dan regunya jadi juara I tingkat SLP putra. "Kami tak
menyangka jadi juara," kata Alit bangga.
Sedang grup tingkat umum dengan persiapan matang dan meraih
juara adalah regu putri Afiat 1. Grup gerak jalan dari Bandung
ini sudah rutin berlatih 5 km tiap hari. Waktu tempuh mereka 3
jam 19 menit--waktu yang ditentukan panitia 3,5 jam. Afiat I
kemudian ditetapkan sebagai juara umum karena dinilai rapi,
punya dayatahan, disiplin serta mengenal lingkungan dengan baik.
Juara-juara lainnya adalah: tingkat SLP putri SMP Providentia
Bandung, tingkat SLA putra SMA-BPI Bandung sedang tingkat SLA
putri SMA I Tasikmalaya. Untuk tingkat umum putra di juara
Avalance Bandung. Pada tingkat perguruan tinggi yang jadi juara
Fak. Peternakan Unpad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini