PARA pengusaha Jepang agaknya sudah menunggu-nunggu kedatangan
rombongan Presiden Soeharto, di akhir kunjungan ke luar negeri,
sekitar minggu ketiga Oktober. Apalagi di situ Menko Ekuin
Widjojo Nitisastro akan ikut serta. Dan masalah hangat yang kan
mereka ajukan, nampaknya masih di seputar hubungan dagang
IndonesiaJepang, yang belakangan ini agak tersendat juga.
Alhasil, seperti dikemukakan Komite Ekonomi Jepang-Indonesia,
para pengusaha mereka yang tergabung dalam komite itu, masih
merasa keberatan kalau Indonesia tetap melaksanakan itu ekspor
yang dikaitkan (counterurchase). Dalam sebuah edaran
pertengahan September lalu, komite yang tergabung dalam Kamar
Dagang Jepang (Keidanren) beranggapan, keharusan untuk membeli
barang-barang ekspor--di luar minyak dan gas alam--bagi para
pengusaha yang memenangkan tender, terasa menyulitkan mengingat
sebagian besar barng-barang ekspor itu selain amat bersaing di
pasaran dunia, juga mengalami fluktuasi yang cukup besar.
"Sulit bagi kami untuk ikut menunjang ekspor Indonesia yang
terikat itu, dalam suasana ekonomi dunia yang masih terasa
berat," kata Matsujiro Ikeda, Presiden Marubeni Corporation.
"Keadaannya akan semakin sulit, kalau peraturan itu tetap
dipertahankan seperti adanya. Dalam jangka panjang, untuk bisa
menolong ekspor dari Indonesia, perlu dilakukan suatu pendekatan
kasus demi kasus," kata Tomiichi Akiyama, Direktur Pelaksana
Sumitomo Corporation . Su ara yang senada juga dikemukan Masaaki
Enomoto, Direktur Peaksana Mitsubishi Corporation.
Seorang wakil dari perusahaan Jepang yang juga terkenal,
mengingatkan adalah salah kalau timbul kesan seakan-akan
rumah-rumah dagang (trading ouses) yang amat terkenal di Jepang
itu dengan gampang akan menyerap barang ekspor dari negeri lain,
lalu menjualnya. "Kami sungguh bukan tukang sulap. Apalagi dalam
suasana kekuatan ekonomi Jepang yang lagi melemah searang,"
katanya.
Protes yang senada, sehubungan dengan peraturan ekspor yang
dikaitkan tu, terlontar juga dalam seminar yang ke-10
Jepang-Indonesia di Kota Kobe, yang berlangsung 20 sampai 22
September. Tapi yang paling tak sedap adalah salah satu
permintan para pengusaha Jepang, seperti tercantum dalam edaran
komite ekonomi Jepang-Indonesia. Mereka menyatakan akan
mempertimbangkan peraturan counter purchase itu, asal saja
barang-barang ekspor yang terkait itu termasuk minyak dan gas
alam. Suatu permintaan yang pasti akan ditolak pihak Departemen
Perdagangan dan Koperasi RI.
Hal lain yang terasa amat bertentangan dengan beleid ekspor kita
adalah. mereka beranggapan -- sesuai dengan prinsip pasaran
bebas yang dianut Jepang -- barang-barang ekspor yang dikaitkan
itu agar boleh dijual ke mana saja, dan bukannya ke negara yang
memenangkan suatu tender.
Dalam edaran yang delapan halaman itu, mereka juga menyatakan
keberatan terhadap larangan ekspor kayu gelondongan (logs) dan
Keppres 18, peraturan pelayaran yang mengharuskan semua
pembelian dan ekspor barang-barang milik pemerintah diangkut
dengan kapal-kapal samudra yang berbendera Indonesia. Dan kalau
peraturan itu akan terus dijalankan oleh Pemerintah Indonesia,
terutama dalam hal ekspor yang dikaitkan mereka khawatir "itu
akan bisa mengurangi tingkar perdagangan antara Indonesia dan
Jepang".
Jepang sampai sekarang memang merupakan partner dagang Indonesia
yang paling besar. Sekitar 40% dari seluruh ekspor nonminyak
Indonesia diekspor ke Jepang, dan dari sana Indonesia membeli
sekitar 10%. Kalau benar suara Keidanren bukan cuma suatu
gertakan, Indonesia memang perlu berhati-hati.
Namun begitu, seorang pejabat Departemen Perdagangan RI
beranggapan surat edaran yang bernada "galak" itu sebenarnya
agak ketinggalan. Dalam praktek, kata pejabat itu, sudah lebih
banyak kemudahan serta keringanan yang diberikan kepada para
pengusaha asing, termasuk sanksi 50% yang amat dikhawatirkan
pihak Jepang. Dalam perauran ekspor yang dikaitkan, sebaga
suplemen paket ekspor Januari 1982, memang tercantum adanya
sanksi 50% dari jumlah konrak yang tak dipenuhi, Kalau saja
mereka sampai membelot. "Dalam perundingan, soal sanksi itu
tentunya masih bisa ditawar," katanya.
Namun melihat begitu banyak soal yang ditentang pihak pengusaha
Jepang, para pembesar ekonomi Indonesia nampaknya perlu cepat
tutun tangan. Kunjungan Presiden Soeharto ke Tokyo, disertai
Menteri Ekuin Widjojo bisa diduga akan mencari jalan keluar
untuk tnengatasi berbagai ganjalan dengan partner dagangnya
yang paling besar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini