Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setumpuk protes dari jepang

Peraturan ekspor yang dikaitkan dengan larangan ekspor kayu gelondongan dan keppres 18, mendapat protes dari jepang. protes dikemukakan dalam sebuah edaran komite ekonomi jepang-indonesia. (eb)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengusaha Jepang agaknya sudah menunggu-nunggu kedatangan rombongan Presiden Soeharto, di akhir kunjungan ke luar negeri, sekitar minggu ketiga Oktober. Apalagi di situ Menko Ekuin Widjojo Nitisastro akan ikut serta. Dan masalah hangat yang kan mereka ajukan, nampaknya masih di seputar hubungan dagang IndonesiaJepang, yang belakangan ini agak tersendat juga. Alhasil, seperti dikemukakan Komite Ekonomi Jepang-Indonesia, para pengusaha mereka yang tergabung dalam komite itu, masih merasa keberatan kalau Indonesia tetap melaksanakan itu ekspor yang dikaitkan (counterurchase). Dalam sebuah edaran pertengahan September lalu, komite yang tergabung dalam Kamar Dagang Jepang (Keidanren) beranggapan, keharusan untuk membeli barang-barang ekspor--di luar minyak dan gas alam--bagi para pengusaha yang memenangkan tender, terasa menyulitkan mengingat sebagian besar barng-barang ekspor itu selain amat bersaing di pasaran dunia, juga mengalami fluktuasi yang cukup besar. "Sulit bagi kami untuk ikut menunjang ekspor Indonesia yang terikat itu, dalam suasana ekonomi dunia yang masih terasa berat," kata Matsujiro Ikeda, Presiden Marubeni Corporation. "Keadaannya akan semakin sulit, kalau peraturan itu tetap dipertahankan seperti adanya. Dalam jangka panjang, untuk bisa menolong ekspor dari Indonesia, perlu dilakukan suatu pendekatan kasus demi kasus," kata Tomiichi Akiyama, Direktur Pelaksana Sumitomo Corporation . Su ara yang senada juga dikemukan Masaaki Enomoto, Direktur Peaksana Mitsubishi Corporation. Seorang wakil dari perusahaan Jepang yang juga terkenal, mengingatkan adalah salah kalau timbul kesan seakan-akan rumah-rumah dagang (trading ouses) yang amat terkenal di Jepang itu dengan gampang akan menyerap barang ekspor dari negeri lain, lalu menjualnya. "Kami sungguh bukan tukang sulap. Apalagi dalam suasana kekuatan ekonomi Jepang yang lagi melemah searang," katanya. Protes yang senada, sehubungan dengan peraturan ekspor yang dikaitkan tu, terlontar juga dalam seminar yang ke-10 Jepang-Indonesia di Kota Kobe, yang berlangsung 20 sampai 22 September. Tapi yang paling tak sedap adalah salah satu permintan para pengusaha Jepang, seperti tercantum dalam edaran komite ekonomi Jepang-Indonesia. Mereka menyatakan akan mempertimbangkan peraturan counter purchase itu, asal saja barang-barang ekspor yang terkait itu termasuk minyak dan gas alam. Suatu permintaan yang pasti akan ditolak pihak Departemen Perdagangan dan Koperasi RI. Hal lain yang terasa amat bertentangan dengan beleid ekspor kita adalah. mereka beranggapan -- sesuai dengan prinsip pasaran bebas yang dianut Jepang -- barang-barang ekspor yang dikaitkan itu agar boleh dijual ke mana saja, dan bukannya ke negara yang memenangkan suatu tender. Dalam edaran yang delapan halaman itu, mereka juga menyatakan keberatan terhadap larangan ekspor kayu gelondongan (logs) dan Keppres 18, peraturan pelayaran yang mengharuskan semua pembelian dan ekspor barang-barang milik pemerintah diangkut dengan kapal-kapal samudra yang berbendera Indonesia. Dan kalau peraturan itu akan terus dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam hal ekspor yang dikaitkan mereka khawatir "itu akan bisa mengurangi tingkar perdagangan antara Indonesia dan Jepang". Jepang sampai sekarang memang merupakan partner dagang Indonesia yang paling besar. Sekitar 40% dari seluruh ekspor nonminyak Indonesia diekspor ke Jepang, dan dari sana Indonesia membeli sekitar 10%. Kalau benar suara Keidanren bukan cuma suatu gertakan, Indonesia memang perlu berhati-hati. Namun begitu, seorang pejabat Departemen Perdagangan RI beranggapan surat edaran yang bernada "galak" itu sebenarnya agak ketinggalan. Dalam praktek, kata pejabat itu, sudah lebih banyak kemudahan serta keringanan yang diberikan kepada para pengusaha asing, termasuk sanksi 50% yang amat dikhawatirkan pihak Jepang. Dalam perauran ekspor yang dikaitkan, sebaga suplemen paket ekspor Januari 1982, memang tercantum adanya sanksi 50% dari jumlah konrak yang tak dipenuhi, Kalau saja mereka sampai membelot. "Dalam perundingan, soal sanksi itu tentunya masih bisa ditawar," katanya. Namun melihat begitu banyak soal yang ditentang pihak pengusaha Jepang, para pembesar ekonomi Indonesia nampaknya perlu cepat tutun tangan. Kunjungan Presiden Soeharto ke Tokyo, disertai Menteri Ekuin Widjojo bisa diduga akan mencari jalan keluar untuk tnengatasi berbagai ganjalan dengan partner dagangnya yang paling besar itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus