DI depan pintu Ruang Krakatau, Hotel Horison, Probosutedjo
dengan tawa lbar menjangkau lengan Sukamdani Sahid
Gitosardjono. "Selamat," ucap Probo lirih. Jumat malam itu
Sukamdani banyak menerima ucapan selamat sesudah dalam pemilihan
lima formatur penyusun pengurus baru Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin), dia berhasil mengantungi 42 suara, paling
tinggi. Sedang lawan tangguhnya: Probosutedjo meraih 4 suara.
Dengan demikian, Sukamdani yang anyak mendapat dukungan Kadin
daerah (Kadinda), otomatis tampil sebagai ketua umum Kadin
1982-85. Pemilihan ketua umum itulah, di samping pengesahan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru, yang merupakan
hasil amat penting Musyawarah Nasional (Munas) Kadin 22 -24
September di Jakarta. Sukamdani kelihatan berseri-seri ketika
muncul dari sebuah kamar sesudah berembuk hampir satu jam
bersama empat formatur lainnya menyusun kepengurusan baru.
"Horas," katanya mengangkat tangan.
Kemenangan Sukamdani sudah sejak awal bisa ditebak. Entah karena
sebab apa, Probo beberapa kali menyatakan niatnya tak bersedia
ikut dalam pemilihan ketua. Tapi di malam terakhir Munas, ketika
duduk memimpin sidang pemilihan formatur, Probo--yang antara
lain didukung Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(Hipmi)--menentukan sikapnya: "Bersedia dicalonkan sebagai ketua
umum Kadin."
Probo, di samping Sukamdani, memang merupakan calon kuat yang
sudah beredar menjelang Munas Kadin. Tap perubahan sikap itu
agaknya terlambat sehingga kurang berhasil mempengaruhi 26
utusan Kadinda sebagai pemegang hak suara. Munas yang merupakan
forum "pesta demokrasi" pengusaha kecil sampai kakap itu,
seperti biasa menjadi panas menjelang Funcak acara. Hasyim
Ning, Ketua Umum Kadin 1979-1982, mendadak gusar ketika selaku
pimpinan sidang pembicaraannya dipotong oleh utusan Kadinda
Bali. "Jangan main serobot begitu, saya belum selesai bicara,"
seru Hasyim Ning.
Berbeda dengan Hasyim Ning, 66 tahun, Sukamdani tampak memiliki
pembawaan tenang, dan hati-hati mengutarakan pendapat. Pengusaha
lemah, katanya, akan mendapat prioritas utama Kadin selama masa
kepemimpinannya. Menurut dia, sektor kegiatan yang dilakukan
pengusaha lemah ternyata menyerap banyak tenaga kerja. "Dengan
menggarap jiwa kewiraswastaan pengusaha lemah, itu berarti akan
membuka kesempatan kerja buat orang lain," ujarnya. "Dan kalau
kita berbicara soal pengusaha lemah, tidak lain kita berbicara
soal koperasi."
Tekad Kadin di bawah Sukamdani sungguh selaras dengan tekad
pemerintah, yang belakangan ini banyak memberikan perhatian pada
usaha koperasi. Maka ketika para peserta Munas itu berkunjung ke
Bina Graha, akhir pekan lalu, Presiden Soeharto tak lupa
menekankan agar "Kadin selalu memberi perhatian dan pembinaan
kepada golongan ekonomi lemah". Dan, kata Presiden, "pemerintah
juga telah bertekad untuk membangkitkan kekuatan golongan
ekonomi lemah".
Lahir di Sala 14 Maret 1928, Sukarndani mengaku memulai riwayat
bisnisnya dengan modal Rp 12.500 dalam usaha percetakan PT Tema
Baru di Sala tahun 1958. Di kota itu pula ia kemudian mencoba
nasib di bidang perhotelan--tahun 1963 dibangunnya hotel
internasional berkamar 40. Sejak itulah namanya banyak disebut
dalam dunia perhotelan. Belakangan ia terjun juga ke industri
semen, perkayuan dan konstruksi. Sukamdani menolak bila
keberhasilannya kini dikaitkan dengan keluarga Presiden
Soeharto. "Saya bukan apa-apanya Presiden. Kebetulan saya kenal
beliau sebelum jadi presiden," kata Dir-Ut Hotel Sahid Jaya itu.
Enakkah jadi ketua Kadin? "Mana ada fasilitas diperoleh ketua
Kadin. Buktinya aku punya Daha Motor (agen tunggal Fiat) sudah
tutup," kata Hasyim Ning, Ketua Kadin 1979-82.
Hasyim lalu mengecam anggota Kadin yang tidak disiplin membayar
iuran RP 25 ribu per bulan. Jumlah mereka ini, katanya, mencapai
53% dari seluruh nggota. Karena itulah dari iuran anggota ini,
Kadin setiap bulan hanya berasil mengumpulkan Rp 2,25 juta per
bulan. Untuk membiayai kegiatan rutin, seperti menggaji
karyawan, dan mengongkosi perjalanan dinas pengurus rumah itu
jelas terasa kecil. "Untung saja di tahun 1980 itu ada sejumlah
pengusaha seperti Probosutedjo menyumbang Rp 200 juta, Yan
Darmadi Rp 200 juta dan Indocement Rp 75 juta," katanya.
Peranan penyumbang ini, menurut Hasyim, besar sekali peranannya
mengerakan Kadin. "Coba kalau nggak ada Pak Probo, Kadin nggak
bakal jalan," atanya. "Jadi kalau mau jadi ketua Kain, harus
cukup duit." Pada hakikatya memang, katanya, pengurus harus
selalu memberikan amal jariyah untuk menggerakkan organisasi.
Suwoto Sukendar, Ketua Kadin 1976-79 juga mengemukakan pendapat
serupa. Dia, katanya, sering jika menerima undangan dari luar
negeri harus membiayai sendiri perjalanannya. Tidak benar,
katanya, ketua Kadin akan memeroleh kemudahan dalam memperoleh
kredit. Untuk meminta kredit, bank tetap melakukan penilaian
ketat terhadap memohon, termasuk ketua Kadin. "Mana ada ketua
Kadin yang dapat proyek," atanya. "Menduduki jabatan ketua Kadin
itu lebih merupakan kebanggaan, bukan mengejar kekuasaan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini