Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kali ini untuk wong sala

Sukamdani sahid gitosardjono, terpilih sebagai ketua umum kadin 1982/1985, karena banyak mendapat dukungan kadin daerah (kadinda). (eb)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan pintu Ruang Krakatau, Hotel Horison, Probosutedjo dengan tawa lbar menjangkau lengan Sukamdani Sahid Gitosardjono. "Selamat," ucap Probo lirih. Jumat malam itu Sukamdani banyak menerima ucapan selamat sesudah dalam pemilihan lima formatur penyusun pengurus baru Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dia berhasil mengantungi 42 suara, paling tinggi. Sedang lawan tangguhnya: Probosutedjo meraih 4 suara. Dengan demikian, Sukamdani yang anyak mendapat dukungan Kadin daerah (Kadinda), otomatis tampil sebagai ketua umum Kadin 1982-85. Pemilihan ketua umum itulah, di samping pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru, yang merupakan hasil amat penting Musyawarah Nasional (Munas) Kadin 22 -24 September di Jakarta. Sukamdani kelihatan berseri-seri ketika muncul dari sebuah kamar sesudah berembuk hampir satu jam bersama empat formatur lainnya menyusun kepengurusan baru. "Horas," katanya mengangkat tangan. Kemenangan Sukamdani sudah sejak awal bisa ditebak. Entah karena sebab apa, Probo beberapa kali menyatakan niatnya tak bersedia ikut dalam pemilihan ketua. Tapi di malam terakhir Munas, ketika duduk memimpin sidang pemilihan formatur, Probo--yang antara lain didukung Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi)--menentukan sikapnya: "Bersedia dicalonkan sebagai ketua umum Kadin." Probo, di samping Sukamdani, memang merupakan calon kuat yang sudah beredar menjelang Munas Kadin. Tap perubahan sikap itu agaknya terlambat sehingga kurang berhasil mempengaruhi 26 utusan Kadinda sebagai pemegang hak suara. Munas yang merupakan forum "pesta demokrasi" pengusaha kecil sampai kakap itu, seperti biasa menjadi panas menjelang Funcak acara. Hasyim Ning, Ketua Umum Kadin 1979-1982, mendadak gusar ketika selaku pimpinan sidang pembicaraannya dipotong oleh utusan Kadinda Bali. "Jangan main serobot begitu, saya belum selesai bicara," seru Hasyim Ning. Berbeda dengan Hasyim Ning, 66 tahun, Sukamdani tampak memiliki pembawaan tenang, dan hati-hati mengutarakan pendapat. Pengusaha lemah, katanya, akan mendapat prioritas utama Kadin selama masa kepemimpinannya. Menurut dia, sektor kegiatan yang dilakukan pengusaha lemah ternyata menyerap banyak tenaga kerja. "Dengan menggarap jiwa kewiraswastaan pengusaha lemah, itu berarti akan membuka kesempatan kerja buat orang lain," ujarnya. "Dan kalau kita berbicara soal pengusaha lemah, tidak lain kita berbicara soal koperasi." Tekad Kadin di bawah Sukamdani sungguh selaras dengan tekad pemerintah, yang belakangan ini banyak memberikan perhatian pada usaha koperasi. Maka ketika para peserta Munas itu berkunjung ke Bina Graha, akhir pekan lalu, Presiden Soeharto tak lupa menekankan agar "Kadin selalu memberi perhatian dan pembinaan kepada golongan ekonomi lemah". Dan, kata Presiden, "pemerintah juga telah bertekad untuk membangkitkan kekuatan golongan ekonomi lemah". Lahir di Sala 14 Maret 1928, Sukarndani mengaku memulai riwayat bisnisnya dengan modal Rp 12.500 dalam usaha percetakan PT Tema Baru di Sala tahun 1958. Di kota itu pula ia kemudian mencoba nasib di bidang perhotelan--tahun 1963 dibangunnya hotel internasional berkamar 40. Sejak itulah namanya banyak disebut dalam dunia perhotelan. Belakangan ia terjun juga ke industri semen, perkayuan dan konstruksi. Sukamdani menolak bila keberhasilannya kini dikaitkan dengan keluarga Presiden Soeharto. "Saya bukan apa-apanya Presiden. Kebetulan saya kenal beliau sebelum jadi presiden," kata Dir-Ut Hotel Sahid Jaya itu. Enakkah jadi ketua Kadin? "Mana ada fasilitas diperoleh ketua Kadin. Buktinya aku punya Daha Motor (agen tunggal Fiat) sudah tutup," kata Hasyim Ning, Ketua Kadin 1979-82. Hasyim lalu mengecam anggota Kadin yang tidak disiplin membayar iuran RP 25 ribu per bulan. Jumlah mereka ini, katanya, mencapai 53% dari seluruh nggota. Karena itulah dari iuran anggota ini, Kadin setiap bulan hanya berasil mengumpulkan Rp 2,25 juta per bulan. Untuk membiayai kegiatan rutin, seperti menggaji karyawan, dan mengongkosi perjalanan dinas pengurus rumah itu jelas terasa kecil. "Untung saja di tahun 1980 itu ada sejumlah pengusaha seperti Probosutedjo menyumbang Rp 200 juta, Yan Darmadi Rp 200 juta dan Indocement Rp 75 juta," katanya. Peranan penyumbang ini, menurut Hasyim, besar sekali peranannya mengerakan Kadin. "Coba kalau nggak ada Pak Probo, Kadin nggak bakal jalan," atanya. "Jadi kalau mau jadi ketua Kain, harus cukup duit." Pada hakikatya memang, katanya, pengurus harus selalu memberikan amal jariyah untuk menggerakkan organisasi. Suwoto Sukendar, Ketua Kadin 1976-79 juga mengemukakan pendapat serupa. Dia, katanya, sering jika menerima undangan dari luar negeri harus membiayai sendiri perjalanannya. Tidak benar, katanya, ketua Kadin akan memeroleh kemudahan dalam memperoleh kredit. Untuk meminta kredit, bank tetap melakukan penilaian ketat terhadap memohon, termasuk ketua Kadin. "Mana ada ketua Kadin yang dapat proyek," atanya. "Menduduki jabatan ketua Kadin itu lebih merupakan kebanggaan, bukan mengejar kekuasaan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus