WAKIL Manajer Tim PSMS, Amran Y.S., mengatakan suap semakin merajalela. Mengapa dia mengusulkan pemain Sang terlibat suap diputihkan? Masalah suap bukan barang baru di lapangan hijau Indonesia. Tahun 1961, Ramang, yang dijuluki "si macan bola" itu, diskors seumur hidup oleh PSM Makassar. Ia dituduh menerima hadiah dari bandar taruhan. Setahun kemudian, PSSI membongkar kasus suap paling besar dalam sejarah sepak bola Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai "Skandal Senayan . Sebanyak 18 pemain nasional, yang sudah satu setengah tahun dipersiapkan untuk menghadapi Asian Games Jakarta, t962, bersama tiga wasit, diketahui telah dibeli cukong suap. Pemain terkemuka masa itu, Wowo Soenaryo, misalnya, disebut-sebut mengaku telah menerima uang Rp 25.000,00 dari seorang cukong ketika melawan tim nasional Yugoslavia dalam pertandingan persahabatan di Jakarta. Ke-18 pemain dan ke-wasit itu kemudian diskors PSSI. Akibatnya, tim nasional Indonesia lumpuh di kandang sendiri. Setelah itu, PSSI membongkar pula adanya permainan suap dalam turnamen penting, seperti Pra-Piala Dunia di Singapura (1977), Merdeka Games, Kuala Lumpur (1978). Terakhir, PSSI menjatuhkan skorsing atas lima pemain nasional - Bambang Nurdiansyah, Robby Maruanaya, Elly Idris, Louis Mahodim, dan Noach Maryen - yang dicurigai menerima "uang saku" dari seorang bandar taruhan pada pertandingan Pra-Olimpiade di Singapura dan Tokyo, 1987. PSSI, menurut Amran Y.S., yang juga menjabat Ketua Bidang Pembinaan PSMS, sudah cukup berusaha mengatasinya. Antara lain membentuk Tim Penelitian dan Pemberantasan Masalah Suap (TPPMS), yang diketuai Acub Zainal. Tapi tim itu tak pernah berhasil menjebloskan penyuap ke penjara, karena pembuktian suap secara hukum formal amat sulit. Bukti-bukti tertulis, seperti kuitansi penerimaan uang, tak bisa dikumpulkan. Bahan yang diperoleh tim biasanya hanya pengakuan pemain. Maka, seperti terjadi selama ini, bila sebuah kasus suap terungkap, yang jadi korban hanya pemain. Sementara itu, penyuap tetap saja aman. Mereka tak terjangkau PSSI. "Padahal, mana ada pemain yang terlibat suap bila tidak ada cukongnya," kata Amran. Setelah begitu banyak pemain dihukum, berkurangkah permainan kotor itu? "Ternyata tidak," kata Wakil Manajer Tim PSMS itu. "Malah semakin merajalela." Ia menambahkan hal itu dimungkinkan, karena cukong-cukong judi tetap bebas berkeliaran di setiap pojok stadion sepak bola, dan melambai-lambaikan rupiah kepada pemain, yang rata-rata hidupnya susah. Sementara itu, imbalan yang mereka peroleh dari klub atau perserikatan tak banyak berarti. Bahkan tidak jarang mereka terpental dari jabatan di kantor gara-gara sepak bola terutama kalau mereka gagal menjadi juara. Menurut pengakuan seorang pemain PSMS kepada TEMPO, ada temannya, yang semula memegang posisi empuk di kantornya dipindahkan atasannya ke tempat yang "kering" sepulang mengikuti kompetisi tahun lalu. Semua itu, kata Armran, akan merangsang pemain untuk bermain mata dengan penyuap. "Saya kira, 80% pemain nasional kita sudah pernah berkenalan dengan para cukong," tambah bekas Ketua Pemuda Pancasila Sumatera Utara itu. Maka, menurut Amran, kondisi seperti ini mesti diterobos. "Semua nama cukong suap itu harus dibeberkan kepada masyarakat," katanya. "Kalau perlu dibuat semacam daftar para penyuap dan ditempel di stadion sepak bola, agar cukong-cukong risi menghubungi pemain, dan sebaliknya pemain juga takut berhubungan dengan cukong. Jadi, tak perlu dibawa ke penadilan kalau pembuktiannya secara hukum sulit diperoleh." Tindakan ini, kata Amran lebih lanjut, merupakan tindakan ekstra yang diperlukan dalam sebuah kondisi darurat. Ia optimistis dengan cara ini suap akan berkurang, sekalipun untuk hapus sama sekali tetap sulit. Bagaimana cara PSSI bisa memperoleh daftar para cukong tersebut? "Itu tak sulit. Minta saja keterangan dari para pemain," katanya. Cara itu belum tentu mudah. Pemain belum tentu akan mau mengungkapkannya. Bila mereka menun)uk sebuah nama berikut uang yang diterimanya dari sang cukong, si pelapor bisa-bisa dicurigai pernah terlibat suap, dan boleh jadi pula dikenai hukuman skorsing atau pemecatan dari PSSI. Itu artinya si pelapor telah menjebloskan diri sendiri. Bagaimana caranya agar pemain merasa aman bila mereka mau buka mulut? Inilah usul Amran: "Putihkan saja semua pemain yang pernah terlibat suap itu, malah kalau perlu beri mereka penghargaan, asal saja mau membongkar rahasia cukong suap, dan berani dikonfrontir dengan penyuap untuk membuktikan tuduhannya." Ia kemudian menambahkan wajib pajak saja bisa mendapat pemutihan dari pemerintah, mengapa tidak pemain yang dicurigai kenapa suap. Amran percaya kalau sarannya itu dipergunakan akan banyak pemain yang bersedia buka kartu. "Saya yakin mereka sendiri pun tak pernah merasa tenteram karena terlibat bisnis dengan cukong-cukong itu. Asal mereka bisa diyakinkan akan dilindungi dan pengurus memang konsisten akan menyikat penyuap," tambahnya. PSSI tak menampik resep Amran. Sekretaris Umum PSSI, Nugraha Besoes, menyatakan bersedia membuka pintu asal saja para pemain itu bisa membuktikan tuduhannya. Mereka, misalnya, berani dikonfrontir dengan nama yang dituduhnya. Selain itu, harus ada rekomendasi pengurus klub atau perserikatan bahwa si pelapor bersedia membongkar jalinan suap itu semata-mata demi kepentingan persepakbolaan nasonal. "Kalau bisa begitu, ada yang mau datang ke PSSI, silakan. Semua akan dijamin aman. Walaupun sebetulnya saya kurang setuju kalau hal ini disebut pemutihan," kata Nugraha. Adakah pemain yang cukup bernyali menjawab tantangan itu? Siapa tahu. Amran Nasution, Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini