MARKAS pemusatan latihan pemain nasional (pelatnas) Senayan kini sepi dari pemain senior. Setelah sukses tak terduga Icuk Sugiarto dan kawan-kawan di Kejuaraan Piala Dunia VI, dua pekan lalu, tak satu pun di antara mereka tampak berlatih di ruang latihan pelatnas. Hanya sejumlah pemain yunior, Senin pekan ini, terlihat serius bermain raket. Ini karena mereka memang akan diterjunkan untuk bertanding di Kejuaraan Yunior Indonesia Terbuka Rabu pekan ini di Istora Senayan. Apa yang terjadi pada pemain senior? Ini pertanyaan yang wajar saja muncul. Maklum, setelah kegagalan para pemain itu di Asian Games X di Seoul, Korea Selatan, pengurus PBSI tampaknya seperti agak kebingungan menghadapi mereka itu. Ini paling tidak terbukti dengan keluarnya beberapa putusan mengejutkan. Mulai dari pembatalan pengiriman pemain (Icuk Sugiarto ke turnamen yang berlangsung di Eropa) hingga terakhir: menghentikan untuk sementara kegiatan pelatnas terhitung mulai 1 November hingga awal tahun 1987. Tindakan terakhir ini mengherankan. Untunglah, dan mungkin juga sebuah kejutan tersendiri: Icuk (dan juga ganda campuran Verawaty/Eddy Hartono serta ganda putra Liem Swie King/Bobby Ertanto) bisa juara. Kok, ternyata, tanpa pelatih dan pelatnas pemain bisa jadi juara? Lantas perlukah pelatnas diubah? Tahir Djide, Ketua Bidang Pembinaan PBSI, yang ditemui Adji Abdul Gofar dari TEMPO di Bandung, mengatakan, sebenarnya tak ada penerapan pola (kerja) baru. "Yang berubah itu bukan polanya, tapi metode penanganan para pemain," katanya. Ia menyebut dua contoh perbaikan yang akan dilakukan dalam penanganan pemain itu. Pertama, dulu semua pemain senior di pelatnas ditangani empat pelatih (teknik dan fisik), tapi dalam metode baru nanti beban pelatih dikurangi. Seorang pelatih hanya akan diminta melatih maksimal enam pemain tunggal. Atau hanya tiga ganda. Kedua, para pelatih akan diberi keleluasaan dan tanggung jawab penuh untuk melatih dan membina pemainnya. "Hanya saja ada syarat, mereka harus menyesuaikan diri dengan master program pengurus PBSI," kata Tahir, serius. Master program merupakan rencana induk yang disepakati pengurus dan pelatih. Konsep dasarnya -- berupa semua rencana dan teori melatih yang akan diterapkan para pelatih -- mula-mula dimintakan dari para pelatih dan kemudian didiskusikan dengan pengurus. Kesepakatan dari diskusi itulah, menurut Tahir, yang dimaksudnya dengan master program. Dan dengan itu, para pelatih menjalankan tugas mereka. Bukan berarti rencana induk itu tak bisa diubah. "Evaluasi akan tetap dilakukan setiap kali selesai satu turnamen," tambah dosen FPOK, IKIP Bandung, yang kini masih aktif raelatih di klub BM 77, Bandung, itu. Dalam metode baru itu juga akan ada pembatasan pada jumlah turnamen yang akan diikuti para pemain senior. Icuk, misalnya, hanya akan diizinkan main di empat sampai lima turnamen bergengsi saja setiap tahun. Siapa saja calon pelatih itu nanti, Tahir belum mau menyebutkan. Tapi, Wakil Sekjen PBSI Rafiudin Hamrung mengatakan kepada Rudy Novrianto dari TEMPO, sejumlah bekas pemain senior akan dilibat secara penuh. Mereka, antara lain, untuk tunggal putra: Rudy Hartono dan Tong Sin Fu, bekas pemain andalan RRC yang kini sedang dikontrak klub Pelita Jaya. Dan untuk ganda: Christian Hadinata. Untuk putri senior, pelatih tunggal adalah bekas pemain Atik Jauhari (khusus pemain senior), sedangkan pemain yunior dilatih kakak Tjun Tjun, juga pernah jadi andalan kubu RRC, Liong Ciu Shia. Pelatih ini memang sudah sejak Kejuaraan Piala Thomas dan Uber, Mei lalu, dilibat sebagai pelatih oleh PBSI. Kepada TEMPO, Rudy Hartono, bekas maestro bulu tangkis dunia itu, tak membantah penunjukan dirinya sebagai pelatih penuh. Dan dia malah mengatakan sudah mengajukan sedikitnya dua syarat sebelum bertugas. Rencana dimulai awal Januari 1987. Pertama, ia hanya akan melatih pemain yunior. Kedua, ia minta dibantu dua asisten: seorang dokter kesehatan dan seorang psikolog." Karena kita memang sudah saatnya mulai latihan cara ilmiah," kata bekas ketua bidang pembinaan PBSI itu. Dia termasuk salah seorang yang setuju pada rencana PBSI untuk mengubah cara penanganan pemain di pelatnas. "Kita memang perlu semacam pilot project baru dalam membentuk sistem latihan. Mungkin sudah saatnya kita (para pelatih) punya patokan (standar) cara melatih. Hingga, para pelatih tidak menerapkan caranya masing-masing dalam menangani pemain," ujar pengusaha yang juga jadi pimpinan perwakilan perusahaan alat olah raga Yonex, Jepang, di Indonesia itu. Ditemui ketika sedang melatih di klub Pelita Jaya, Tong Sin Fu juga membenarkan rencana penunjukan dirinya sebagai pelatih yang nantinya dikhususkan menangani pemain senior, seperti Icuk, Lius Pongoh, dan Edy Kurniawan. "Tapi sekarang saya belum bisa bilang apa-apa. Lagi pula, kalau saya bilang itu 'kan rahasia dan bisa diketahui musuh nanti," kata pelatih asal Solo yang lancar berbahasa Indonesia itu, sambil tertawa. Juara tunggal RRC tahun tujuh puluhan itu mengatakan tak punya cukup waktu menonton Kejuaraan Piala Dunia dua pekan lalu. Karena itu, ia mengaku tidak tahu persis tingkat permainan pemain-pemain Indonesia. "Tapi, saya akan mulai latihan nanti dari penegakan disiplin," katanya. Dan itu dijanjikannya akan dimulainya dari dirinya sendiri. "Sebab, kalau pelatih juga tak disiplin, selalu telat datang ke tempat latihan, misalnya, mana pemain mau ikut disiplin," katanya. Dengan konsep baru itu nanti, menurut Tahir, memang diharapkan muncul kompetisi sehat di antara para pelatih. "Karena jelas pelatih nanti masing-masing akan berusaha menggembleng anak asuhannya. Dia kelihatannya optimistis, kendati penanganan dengan cara baru itu bisa saja mengulang cerita lama. Misalnya soal ketidakcocokan antara pelatih dan pemain. Atau juga, siapa tahu, karena pemain memang sudah jenuh pada pelatih. Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini