BUNUH lawan sebanyak-banyaknya, begitu doktrin yang selalu berkumandang di telinga setiap anggota pasukan yang terjun di medan laga. Karena itu, manusia tak pernah berhenti memikirkan alat perang yang menguntungkan mereka, jika saat itu tiba. Maka, para ahli pun kini mulai memikirkan pengembangan pesawat tak berawak (RPV -- remotely piloted vehicles). Melalui peralatan yang dipasang di sekujur tubuh, pesawat itu melaporkan kekuatan serta gerak-gerik lawan langsung dari atas kepala mereka. Satuan komando Inggris tersohor, SAS (Special Air Service), barangkali, tidak perlu kehilangan nyawa seorang kolonelnya di medan perang Malvinas sekiranya mereka menggunakan RPV. Angkatan bersenjata Israel sebenarnya pernah memaka teknologi tersebut dalam beberapa aksi militer di medan perang Timur Tengah. Bahkan pabrik Mazlat, anak perusahaan Israel Aircraft Industries, sudah sejak 1978 mengembangkan pesawat tak berawak yang telah teruji kemampuannya di kancah perang (Mazlat Mastiff Mk I dan Mk 2) untuk tujuan komersial. Marinir Amerika juga memiliki tipe Mk 3 untuk memperkuat satuan RPV mereka. Perusahaan ML Aviation dari Inggris berharap sebelum akhir abad ini mereka sudah bisa memproduksi ML FS 001 SPRITE (Surveillance, Patrol, Reconnaissance, Intelligence gathering, Target designation, Electronic warfare). Kehebatan yang paling dibanggakan para perancangnya adalah bahwa ia memiliki keunggulan prinsip helikopter: dapat tinggal landas dan mendarat secara vertikal. Sementara itu, pengendalian gerak pesawat maupun peralatan yang dibawanya dapat dilakukan oleh dua orang dari van khusus atau kendaraan sejenis Land Rover. Kedengarannya cukup praktis. Rancang bentuk helikopter tak berawak ini cukup aneh: bagai tubuh nyamuk malaria yang ditopang empat kaki. Di tengah ubun-ubunnya tertancap dua perangkat baling-baling berdiameter 1,60 meter, berputar berlawanan, yang digerakkan dua mesin kembar berkekuatan 7 tenaga kuda. Putaran baling-baling yang berlawanan itu memungkinkan rangka tubuh SPRITE melakukan rotasi tanpa harus mengubah jalur terbangnya. Oleh pabrik perancangnya, helikopter tak berawak seberat 24 kg ini dimaklumkan mampu terbang selama dua jam lebih dengan kecepatan 110 km/jam sambil membawa beban 12 kg. Menurut hasil uji terbang dua prototip SPRITE, sekalipun tiga dari empat tangki bahan bakarnya tertembak, ia masih dapat menjalankan fungsinya sampai titik bahan bakar terakhir. Selain kamera berlensa zoom, empat kompartemen di tubuh SPRITE menyediakan kemungkinan penempatan sensor inframerah, penuntun sasaran rudal, pendeteksi bahan kimia, maupun pengganggu gelombang elektronik. Dengan mengganti peralatannya, SPRITE dapat pula dipergunakan untuk kepentingan sipil, misalnya sebagai alat bantu untuk mengawasi jaringan listrik tekanan tinggi dan jaringan pipa minyak serta survei geologi. Sementara itu, di belahan dunia lainnya, para ahli di pabrik Hynes Aviation, Oklahoma, Amerika, sibuk menggeluti prototip Hynes Model H-5T -- tiruan mini tak berawak helikopter Hynes H-5. Dari hasil uji coba di White Sands, prototip H-5T ini dapat menempuh 185 km sambil membawa beban 225 kg. Dibandingkan dengan SPRITE, prototip H-5T (berat sekitar 700 kg) tentu saja lebih besar. Sejauh ini, departemen pertahanan Amerika, konsumen terbesar teknologi perang, masih belum menentukan pilihan heli tak berawak untuk satuan tempur mereka. Kalaupun nanti mereka harus memilih, masih banyak yang berharap semoga itu bukan pertanda perang akan tiba. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini