BAGAIMANA Singapura dalam 20 tahun yang akan datang? Topik ini dibahas dalam sebuah diskusi diselenggarakan pada Juli 1986 oleh Kamar Dagang dan Industri Cina Singapura. Pokok-pokoknya disiarkan belum lama berselang dan memberikan pemandangan menarik, walaupun tidak terlalu asing. Partai Aksi Rakyat (PAP) sudah berkuasa dalam 25 tahun yang lampau dan akan tetap demikian dalam masa mendatang. Ini titik tolaknya. Tetapi partai politik ini akan dipimpin oleh para pemimpin baru dalam suatu lingkungan politik yang berlainan. Hubungan para pemimpin lama PAP seperti Lee Kuan Yew dan kawan-kawannya dengan rakyat pemilih tahun 1950-an dan 1960-an bersifat istimewa karena situasi kondisi khas masa itu. Rakyat berterima kasih dan berutang budi kepada Lee Kuan Yew. Tetapi hubungan rakyat pemilih dengan para pemimpin generasi baru akan bersifat suatu kontrak, dan di dalamnya unsur terima kasih tiada lagi memainkan peran. Dahulu, gaya pemerintah paternalistik merupakan pilihan satu-satunya. Di masa depan, gaya pemerintah harus disesuaikan dengan kenyataan bahwa rakyat kini lebih banyak mempertanyakan dan mempunyai pengharapan lebih besar pula. Pendidikan rakyat lebih baik, kemakmurannya meningkat, dan politik memasuki tahap tempat terdapat serba kecukupan dan limpahan kemakmuran. Istilahnya ialah politics of affluence, dan dalam tahap itu pemerintah diharapkan berbuat lebih banyak daripada hanya memberikan barang-barang ekonomi. Maka, para pemimpin generasi baru berbicara secara lebih terbuka, mengadakan dialog dan persuasi dengan rakyat. Tetapi apakah pemimpin generasi baru itu dapat bertahan sebagai pemimpin politik dan akseptabel bagi rakyat pemilih, hal ini merupakan pertanyaan. Singapura tergolong negara yang pemimpin tunggalnya sangat menonjol dan sangat berkuasa -- dalam hal ini Lee Kuan Yew. Dalam dominant-leader states, pemimpin tunggal menentukan siapa orang yang tepat untuk menjadi pemimpin politik dan siapa tidak. Singapura memiliki sistem partai-dominan, yakni PAP, dan hal ini menjamin kemantapan politik. Dalam beberapa dasawarsa berikut Singapura akan terus punya sistem partai-dominan, tetapi partai oposisi memastikan dirinya pula. Kepemimpinan yang memerintah seharusnya bersikap lebih toleran terhadap partai-partai oposisi. Demikian intisari diskusi di Singapura. Tentulah gambaran tentang Singapura di masa yang akan datang tadi membuat kita teringat akan keadaan di tanah air kita. Bagaimana pula halnya dengan Indonesia 20 tahun mendatang? Ini menarik kalau bisa dijawab. Pada 15-19 Desember 1986 akan berlangsung di Ujungpandang Seminar Nasional HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang membahas topik "Mempersiapkan Masyarakat Masa Depan". Sebagai pakar ilmu sosial mereka tentu menggambarkan keadaan Indonesia 20 tahun mendatang berdasarkan tinjauan ilmiah, hasil penelitian. Saya tidak berada dalam posisi mereka, dan karena itu mungkin tinjauan saya bersifat spekulatif. Tetapi sebagai pengamat urusan politik di negeri ini sejak zaman revolusi fisik bersenjata, dan dalam masa cukup panjang telah memperoleh sejumlah pandangan dan pengalaman, kiranya akan diperbolehkan saya mengajukan beberapa hal. Pada hemat saya,Golongan Karya (Golkar), yang merupakan partai-dominan dan senantiasa menang dalam pemilihan umum akan tetap demikian halnya dalam masa 20 tahun mendatang. Ini titik tolaknya. Jadi, sama dengan PAP di Singapura, UMNO di Malaysia, atau Partai Liberal Demokrat di Jepang. Golkar tentu akan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin baru akibat proses biologis, karena pemimpin yang tua-tua sudah tutup usia. Tetapi mereka tidak bekerja dalam lingkungan politik yang berlainan. Lingkungan itu tetap serupa dengan yang sekarang, yaitu ABRI merupakan unsur dominan dalam struktur kekuasaan. Hubungan rakyat pemilih dengan para pemimpin aneh juga. Sikap rakyat terhadap pemimpin-pemimpin Angkatan 45 ialah "memaafkan" bila ada di antara pemimpin itu yang omongannya bertentangan dengan perbuatan, yang melakukan hal-hal yang berlainan dari cita-cita perjuangan bangsa di zaman revolusi. Alasannya? Karena pemimpin-pemimpin Angkatan 45 sudah berjasa menegakkan dan membela proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, jadi biarlah mereka memetik buah kemerdekaan. Sikap rakyat pemilih terhadap para pemimpin generasi pasca-45 niscaya berlainan. Rakyat akan sukar menerima bila pemimpin-pemimpin generasi baru berbuat seperti sebagian pemimpin Angkatan 45. Tetapi sikap demikian tidak banyak pengaruhnya terhadap keadaan, karena rakyat umumnya belum mampu membentuk tenaga-tenaga pengimbang dalam masyarakat. Ada orang meletakkan harapan pada golongan menengah, kaum profesional, mereka yang mendapat pendidikan lebih baik yang tumbuh dalam masa Orde Baru. Mereka itu akan menuntut kebebasan sesuai dengan kemajemukan masyarakat dan dengan pengamalan Pancasila yang sesungguhnya. Kelas menengah biasanya merupakan pelopor memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai demokratis dalam masyarakat. Tetapi di Indonesia tidak demikian halnya. Golongan menengah, kaum profesional di negeri ini, sangat bergantung untuk survival atau kelanjutan hidupnya kepada yang menguasai birokrasi. Selain daripada itu, kualitas mereka sebagai manusia ialah tidak suka kepada politik, mencari "slamet" lebih dahulu guna memajukan kepentingan diri atau golongannya, tidak punya komitmen kepada cita-cita populistik dan karena itu berdamai dengan kenyataan masyarakat yang sekalipun bersifat uncaring society, masyarakat tanpa welas asih terhadap sesama orang. Maka, sia-sia belaka meletakkan harapan pada golongan menengah baru yang muncul dalam Orde Baru. Di Singapura sekarang orang telah berbicara tentang politics of affluence. Di Indonesia hal itu tidak bakal muncul dalam 20 tahun mendatang. Walaupun pembangunan ekonomi dipacu dengan segenap tenaga, mustahil akan tercapai GNP yang tinggi dan income per kapita yang sejajar dengan Singapura. Maka, yang ada ialah politics of sameness atau yang itu ke itu juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini