GENDERANG perang sudah ditabuh. Hanya sehari setelah raja Muangthai, Bhumibol Adulyadej - dengan iringan pelbagai acara dan atraksi meriah - membuka SEA Games XIII, sekitar 2.000 atlet dari delapan negara Asia Tenggara segera berkutat dalam pertarungan memperebutkan 250 buah medali (emas, perak, dan perunggu) yang diperlombakan di Bangkok. Lima stadion yang menampung semua kegiatan lomba mulai tampak ramai. Dan suasana pun berangsur-angsur menghangat. Sampai Senin pekan ini, untuk sementara, dua kontingen: Indonesia, pengumpul medali terbanyak sejak SEA Games IX/1977, dan Muangthai bersaing ketat dalam perolehan medali. Dan bisa diduga, hari-hari mendatang ini, pertarungan bakal diramaikan oleh kontingen lain. Tapi, sudah 26 tahun kegiatan lomba seperti itu rutin diadakan, dan sudah bermilyar dolar dana dihabiskan, adakah terlihat peningkatan prestasi para atlet kawasan ini? Jika ditakar-takar dengan patokan hanya prestasi, apa boleh buat, jawabannya memang bisa membuat banyak orang mengelus dada. Sebab, bukan rahasia, kendati hampir semua pimpinan kontingen yang ditanya wartawan TEMPO di Bangkok mengaku sudah demikian serius dan ketat membina atlet mereka sebelum diterjunkan - dan jawaban seperti ini acap pula dikemukakan dalam beberapa SEA Games sebelumnya - catatan prestasi mereka tetap saja minus. Jika dibandingkan, misalnya, dengan atlet dari negeri kawasan Asia lain, seperti Cina, Jepang, Korea, dan India - apalagi dengan atlet dari benua lain, seperti Eropa, Amerika, dan Australia. Buktinya sudah terlihat. Untuk Asia di Asian Games IX di New Delhi 1982 lalu. Atlet-atlet kawasan Asia Tenggara tercecer dari Cina, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, dan India, lima besar pengumpul medali emas terbanyak. Hal serupa terjadi juga pada Kejuaraan Atletik VI, September lalu di Jakarta. Mengapa? Jawaban hampir seragam diterima dari pimpinan kontingen yang mengirim atlet mereka ke Bangkok. "Yang paling penting, harus kita akui, kita ketinggalan dalam soal pembinaan atlet," kata Muhammad Zaman Khan, 42, pimpinan kontingen Malaysia. Contohnya, kata Komandan Polisi Malaysia itu lagi, di antaranya dari penetapan waktu mulai membina atlet. Di Eropa, dan juga beberapa negara Asia, seperti Jepang dan RRC, pembinaan dimulai sejak di bangku sekolah dasar. "Sedangkan di Malaysia tak ada pelajaran olah raga dalam kurikulum," ujar Khan. Hal serupa ini pernah juga dikeluhkan pimpinan beberapa cabang olah raga Indonesia. Tapi, sebenarnya, kekurangan yang terberat, menurut Michael Keon, pimpinan pembinaan atlet Filipina (Gintong Alay), ialah kelemahan mental. "Mental masyarakatnya tak setegar mental masyarakat Korea, misalnya," kata Keon. Sehingga, apa boleh buat, itu mempengaruhi kekuatan para atlet, baik ketika berjuang di arena pertandingan maupun ketika latihan. "Jika mental tak kuat, latihan pun tak akan bisa serius dan teratur. Hasilnya, ya, seperti sekarang ini," kata kemanakan Presiden Marcos itu. Dengan kata lain, tampaknya memang belum ada resep mujarab untuk bisa mendongkrak prestasi atlet Asia Tenggara itu ke tingkat Asia. Dan ini diakui Ketua Kontingen Indonesia Gatot Soewagio. "Sebab, kita sendiri sebenarnya hanya menduga-duga saja apa penyebab pasti itu, lalu mencari obatnya berdasarkan dugaan," katanya. Mestinya, menurut Gatot, perlu diriset secara teliti, faktor penyebab itu, baru dicari obat penawarnya. Inilah yang memang belum dilakukan para pimpinan olah raga di kawasan ini, seperti tersirat dari percakapan wartawan TEMPO dengan pimpinan kontingen tersebut. Perhatian, agaknya, memang bisa lebih tertuju pada tekad mengusahakan atlet menang di suatu pertandingan, seperti SEA Games, - 'kan ini memang lebih asyik - daripada menyiapkan suatu cara pembinaan atlet yang lebih mendasar. Bahkan Burma, negeri yang belakangan ini agak redup prestasinya (lihat: Boks) terlihat juga berharap, "atlet saringan" mereka akan ikut berbicara dalam pengumpulan medali. Tuan rumah Muangthai malah terus mengupayakan pelbagai cara lewat dukungan penonton, termasuk juga pengubahan jadwal acara beberapa cabang, untuk bisa unggul dalam perolehan medali. Dan mereka tetap ancaman bagi Indonesia yang masih berada dalam posisi mendebarkan. Sebab sudah hampir pasti, emas tak bakal diperoleh kontingen ini di cabang yang paling banyak penggemarnya, yaitu sepak bola. Karena di hari perdana, Senin pekan ini PSSI A, asuhan Harry Tjong, sudah ditaklukkan Singapura 0-1. Asal kekalahan ini tak menjalar ke cabang olah raga lain. Marah Sakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini