Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Meterai & AIDS

Gaudsmit george abdul karim, warga belanda, diadili di jakarta. dituduh mencetak meterai palsu yang diedarkan oleh erry irfan & memet slamet. erry yang terserang aids belum diajukan ke pengadilan. (hk)

14 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAUDSMIT George Abdul Karim menjadi orang Belanda pertama yang diadili di Indonesia karena melakukan kejahatan di negerinya sendiri: Ia diseret Jaksa R. Silaban ke sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan mencetak meterai palsu di negerinya dan kemudian di edarkan oleh komplotannya di Indonesia. Warga negara Belanda itu, menurut Silaban, mencetak sekitar 10.000 lembar meterai palsu, bernilai Rp 100 sampai Rp 500 setiap lembar. Itu dilakukannya, sekitar 1982, di Den Haag. Meterai itu kemudian dibawa ke Indonesia oleh Erry Irfan Martakusumah dan Memet Slamet Hadisoma. Melalui Erry itulah, kata Jaksa, meterai palsu itu kemudian masuk ke pasaran. Perbuatan itu terbongkar setelah polisi menangkap pengedar-pengedarnya di Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Mereka mengaku mendapat-kannya dari Erry. Dan dari Erry pula diketahui nama Abdul Karim. Ketika orang Belanda itu datang ke Indonesia, 15 Agustus 1984, ia langsung di ciduk polisi. Abdul Karim, 35, yang masih mempunyai darah Indonesia - ibu Gorontalo dan ayah blasteran Belanda-Suriname - mengaku mengenal Erry di Den Haag, melalui adik perempuan Erry yang menetap di sana. Suatu ketika, ceritanya, ia diminta Erry mencetak "sesuatu" yang contohnya dibawa langsung oleh Erry. Katanya, ia bersedia mencetak, karena mengira barang itu adalah semacam kupon untuk mendapatkan bonus bagi orang-orang yang berbelanja di toko-toko besar di Belanda. "Saya tidak mengira mencetak barang semacam itu dilarang pemerintah Indonesia, sebab mencetak barang seperti itu tidak dilarang di Belanda," ujar Abdul Karim, yang bekerja sebagai pegawai negeri di Biro Pusat Statistik Belanda, dan mempunyai istri seorang anggota polisi negara itu. Setelah barang itu selesai dicetak, kata Abdul Karim, Erry pula yang mengambilnya ke percetakan. Abdul Karim, yang lahir di Ujungpandang dan sempat sekolah sampai SMP di kota itu, hanya mengaku membantu Erry membayar persekot kepada percetakan sebanyak Nf 3.500. "Uang itu saya berikan sebagai pinjaman, selain Nf 1.000 untuk ongkos pulang ke Indonesia," ujar Abdul Karim, yang mengaku punya hubungan intim dengan adik Erry. Menurut Abdul Karim, yang fasih berbahasa Indonesia itu, sekitar Juni 1984 ia diberi tahu oleh Erry agar tidak datang ke Indonesia karena kasus meterai palsu itu terbongkar oleh polisi. Toh, dua bulan kemudian ia datang juga. "Sebab, saya tidak merasa bersalah," katanya. Di lapangan udara, ia langsung ditangkap. "Saya diperiksa selama tiga hari, setelah itu dilepaskan dengan jaminan," katanya. Tapi ia mengeluh karena proses perkaranya lamban dan ia tidak di inginkan kembali ke Belanda. "Bayangkan, lebih dari setahun saya hidup tanpa kerja apa-apa mana itu prinsip sidang cepat dan murah?" kata Abdul Karim, yang merasa ditipu Erry. Konsul Belanda yang juga hadir di sidang, M.P. van Mook, membenarkan alasan Abdul Karim. "Di negara kami tidak dikenal meterai seperti itu. Yang kami pergunakan di sana, seperti juga sering dipakai di sini, adalah kertas segel," ujar Van Mook kepada TEMPO. Alasan itu pulalah yang dikemukakan oleh pengacara Abdul Karim, Harjono Tjitrosoebono, dalam eksepsinya. "Asas bahwa seseorang tidak bisa dihukum tanpa bersalah berlaku secara universal di seluruh dunia," katanya. Harjono beranggapan, kliennya tidak bersalah. "Ia tidak mengenal benda itu, dan Erry mengatakan kepadanya bahwa benda itu hanya semacam kupon untuk mendapat bonus di toko-toko," ujar Harjono. Jaksa Silaban tidak bisa menerima alasan itu: "Nonsens kalau dia tidak tahu arti meterai." Sebab, katanya, bagaimanapun warga Belanda itu pernah hidup di Indonesia dan sebelumnya pernah pula berbelanja yang kuitansinya dilengkapi meterai Indonesia. Majelis Hakim, yang diketuai Oemar Sanusi, sependapat dengan Silaban. "Itu hanya alibi pembelanya saja. Padahal, orang itu pernah tinggal di Indonesia," ujar Oemar Sanusi, yang pekan lalu menolak eksepsi pembela. Oemar, yang mengaku baru kali ini mengadili kasus semacam itu, melihat ada unsur kesengajaan Abdul Karim. "Ia pernah menerima uang Rp 400 ribu dari Erry. Dan, kalau tidak untuk kejahatan, buat apa barang seperti itu harus dicetak di Belanda?" katanya. Namun, yang aneh dari persidangan itu, Erry - pemeran utama - selain belum juga dihadapkan sebagai terdakwa, juga tidak didatangkan sebagai saksi. "Ia lagi sakit fatal saat ini, kemungkinan terserang AIDS," kata Jaksa Silaban. Tetapi, ketika TEMPO mengecek ke rumahnya di Jalan Besuki, Jakarta Pusat, Erry - yang kabarnya menantu seorang bekas gubernur - lagi keluar rumah. Menurut istrinya, Joice, suaminya itu benar-benar sakit. "Pokoknya sakit, sejak bertahun-tahun lalu," katanya, tanpa menyebutkan penyakit suaminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus