DI clay court Rawalpindi (2-4 Maret) tim tenis Indonesia digasak Pakistan bagaikan lempung empuknya, 1-4. Inilah untuk pertama kali anak asuhan Jonosewojo tumbang di tangan Pakistan setelah tiga kali bertemu dalam babak penyisihan Piala Davis. Pada tahun 1975 Pakistan ditundukkan 3-2 oleh Yustedjo dan kawan-kawan. Begitu juga 1981, Yustedjo dkk. unggul kembali 4-1. Suka atau tak suka, Yustedjo Tarik kelihatannya memang jadi kunci penentu. Dan ini diakui Ketua Bidang Pembinaan Pelti, Soedjono. "Regu Piala Davis yang dikirim ke Pakistan ini tidakfull team dengan tidak hadirnya Yustedjo," katanya. Dia menyebutkan, anak Betawi itu merupakan pemain yang masih bisa diandalkan dan sampai sekarang dia masih merupakan pemain terbaik. "Kalau Yustedjo sudah niat mengalahkan lawan-lawan, pasti dapat dilakukannya," katanya pula. Dia memuji keberanian mental Yustedjo, pemain yang dihukum Pelti karena membangkang tak mau ikut seleksi nasional Piala Davis. Tintus, pemain top yang diandalkan di Rawalpindi, menurut Soedjono, masih belum cukup kuat mentalnya untuk menghadapi ketegangan pertandingan. "Mentalnya masih perlu diasah lagi," katanya. Bertekuk lututnya tim Indonesia pada Pakistan itu tampaknya memang banyak ditentukan masalah keberanian di lapangan, terutama dalam menghadapi wasit dan penjaga garis yang menurut kabar "mencurangi" Tintus dan kawan-kawan. "Bagaimana pemain bisa main dengan tenang kalau setiap serve selalu kena foot fault. Pada hari pertama saja Suharyadi kena enam belas kali. Sedangkan hari ketiga, dua belas kali," cerita Gondowijoyo, pelatih, merangkap kapten tak bermain. Menurut Gondowijoyo, kalau Yustedjo Tarik ikut main, "mungkin dia mogok nggak mau main melihat ulah wasit." Hubungan dengan wasit dari India itu begitu tegangnya sampai terbawa-bawa ke hotel, tempat mereka tidak saling menyapa. Ketika Yustedjo Tarik ditanya apa yang akan dia lakukan kalau berhadapan dengan wasit macam itu, dia menjawab, "Akan saya tanya wasitnya dalam bahasa Inggris. Apakah Anda seorang Muslim. Saya juga seorang Muslim, makanya jangan berbuat curang," katanya tanpa berubah air muka. Tetapi kemudian dia kembali melontarkan ucapan ngledek, meragukan laporan tentang tingkah wasit yang seenaknya. "Masak di depan penonton yang begitu banyak mereka berbuat curang. Mungkin pemain Indonesia saja yang sering mati sendiri, katanya. Menurut cerita Gondowijoyo, pemain Pakistan mengandalkan serve-volley, yaitu melepaskan serve keras dan langsung menghadang di depan net. Mereka kelihatan lebih mantap bermain di lapangan tanah liat yang dipergunakan untuk pertandingan. Tetapi, menurut pengalaman Yustedjo pemain-pemain Pakistan itu "tidak ada istimewanya". Variasi pukulan pemain Indonesia lebih banyak. Pengalaman berlatih pun mereka kalah. Anak-anak Indonesia pernah mendapat gemblengan di Alabama, AS. Sedangkan pemain Pakistan, katanya, tidak pernah berlatih khusus di luar negeri. "Dari segi teknik, regu Indonesia lebih unggul," begitu kata Tintus Arianto Wibowo, pemain yang diharapkan menggondol 2 angka, tapi ternyata rontok sama sekali. "Memang satu kejutan saya kalah dari Islam Ul Haq. Habis, gimana nggak kesal, bola masuk sekitar lima senti dikatakan keluar. Begitu juga sebaliknya. Kalau ada Yustedjo, bisa ramai sama wasit," katanya. Tintus mengakui, tanpa kehadiran Yustedjo kepercayaan dirinya berkurang. "Kalau ada Yustedjo 'kan lebih enak. Sebab Yustedjo masih ditakuti lawan-lawannya terutama di Asia. Paling tidak, gimana ya..." tanya juara amatir Asia 1983 itu tanpa meminta jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini