JEPANG sendiri, sebagai kampiun judo, tidak pernah melaksanakan
pemusatan latihan secara tetus-menerus bertahun-tahun. Tetapi
Indonesia rupanya lain. Terpencil di kaki- Gunung Pangrango, di
daerah Ciloto, masuk sekitar 1 km dari jalan raya
Jakarta-Bandung, dengan megah berdiri pusat latihan judo yang
dibangun dengan harga Rp 1 milyar.
Di situ sepanjang tahun, ditempa 20 pejudo (lima di antaranya
wanita) asal Jakarta, Jawa Barat, Jawa tengah, Yogyakarta dan
Sumatera Utara. "Kami menganggap training center sepanjang tahun
jalan yang paling baik untuk meningkatkan prestasi," kata
Sudjono, ketua bidang organisasi Pengurus Besar Persatuan Judo
Seluruh Indonesia (PJSI).
Sistem pemusatan latihan sepanjang tahun itu dimulai sejak 1979.
Dan Ketua Umum PJSI, A.R. Soehoed rupanya terpesona melihat
hasilnya. Dari 16 medali emas yang diperebutkan dalam SEA Games
Manila (1981), Indonesia meraih 8 buah. Padahal dalam SEA Games
yang berlangsung 1979 di Jakarta, hanya 5 emas yang diperoleh.
"Kita sekarang berimbang dengan Taiwan," uiar Tony Atmajaya,
ketua bidang pembinaan.
Orang-orang judo Indonesia mengaku mereka sekarang berada di
urutan ketiga, setelah Jepang dan Korea. Karena posisi yang
membaik itu, Soehoed (Menteri Perindustrian) dengan dukungan
beberapa bekas pejudo nasional memprakarsai pembangunan pusat
latihan di Ciloto yang diresmikan 30 Oktober ini. Pada
kesempatan itu pula dibuka kejuaraan judo "Piala Soehoed tahun
1982".
Soehoed yang jangkung dan bersuara lembut itu agaknya punya daya
pikat di kalangan pengusaha. Tak kurang dari 40 perusahaan,
mulai dari pabrik mobil semen, sampai rokok kretek,
menyumbangkan dana untuk pembangunan pusat latihan yang berdiri
di atas tanah 7 000 meter persegi.
Gelanggang judo pusat latihan itu bisa menampung 200 penonton.
Ada pula gedung berlantai 3, yang sebagian buat asrama 100
pejudo. Ada warung kopi (coffee shop), sauna, tempat mandi furo
(mandi khas Jepang) dan poliklinik. Di bawah lindungan
pohonpohon pinus menunggu pula 12 cottage --dan kawasan itu
dinamakan Lembah Pinus.
Segala sesuatunya dibuat menarik, supaya pejudo betah. Ada guru
les untuk mengejar ketinggalan pelajaran di sekolah. Malahan ada
pejudo yang semula buta huruf, berhasil memberantas BH-nya di
situ.
Sedangkan buat mereka yang masih bersekolah di SMP atau SMA
diantarjemput dengan mobil. Mungkin karena daya pikat itu.,
beberapa pejudo yang duduk di perguruan tinggi rela meninggalkan
bangku kuliah.
Tapi ada juga yang menolak. Terutama mereka yang sudah
berkeluarga. "Membosankan," kata Yono Boediono. Tanpa masuk ke
pemusatan latihan itu ia juara dalam kejurnas di Surabaya,
Agustus lalu. Sebab seorang pejudo bisa terus tinggal di sana
sepanjang dia masih dapat berprestasi dan betah berpisah dengan
keluarga bagi yang sudah punya anak-istri.
Pemusatan latihan menahun itu menghabiskan dana sekitar Rp 2
juta per bulan, berasal dari sumbangan berbagai perusahaan.
"Tapi 'kan belum tentu lancar kalau Pak Soehoed tak lagi jadi
menteri!" cetus Fanny Setiawan, ketua bidang dana PB PJSI.
Agaknya untuk berlatih membiayai sendiri, Yayasan Penggemar Judo
Indonesia (didirikan Soehoed 1981) yang menjadi pemilik kompleks
judo itu berniat menyewakan fasilitas peristirahatan yang ada di
situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini