Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Memburu sebuah polip ke singapura

Bertahun-tahun rudolf simanjuntak menderita sakit perut. tiga kali rontgen dokter indonesia, gagal menemukan polip di ususnya, baru berhasil dioperasi dokter singapura.(ksh)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK berusia 3 tahun Rudolf, putra Nogar Simanjuntak, sering mengeluh sakit perut. Untuk menahan sakit, anak itu terkadang sampai berguling-guling. Penderitaan itu menyerang terutama bila anak tersebut terlalu kenyang, terlambat makan atau menyantap panganan yang keras berserat. Beberapa kenalan Nogar dan dokter, menyebutkan kemungkinan anaknya itu menderita maag. Obat untuk dugaan itu pun diberikan. Namun penyakit perut anak berusia 6 tahun itu menyerang lebih gawat. Pada usia lima setengah tahun tinjanya mulai bercampur darah segar. Rudolf akhirnya diserahkan kepada Suharyono, seorang dokter yang ahli dalam penyakit pencernaan anak. Untuk mendapat gambaran yang jelas, organ perut si Rudolf di-roentgen ahli radiologi ternama, Prof. H.B. Sjahriar Rasad. Tetapi dari hasil roentgen itu Sjahriar tidak menemukan "kelainan-kelainan patologis yang jelas." Dia hanya menduga kemungkinan peradangan kronis pada usus sebelah kiri. Nogar bingung. "Saking paniknya saya melihat penderitaan anak saya itu, saya sudah terdorong untuk minta pertolongan dukun. Sesuatu yang tidak saya percayai sedikit pun," cerita si ayah. Rudolf, anak yang kedua dan terakhir itu tetap menderita. Karena kesimpulan Sjahriar itu rupanya tak begitu tegas, Suharyono kemudian meminta pemotretan ulang. Sekali ini pada ahli radiologi Ade Sutarto. Dokter yang berpraktek di RS Pelni, Jalan Petamburan, Jakarta itu, mendapati bayangan bulat kecil seperti cincin di daerah usus sebelah kanan bawah. Nampaknya penderitaan anak itu datang dari daerah yang kacau itu. "Sangat mungkin polip di daerah caecum dengan appendicitis chronica," katanya. Maksudnya ada kemungkinan tumbuhnya daging liar di daerah usus besar, persis dekat tikungan menuju usus buntu. Ditambah lagi kemungkinan radang usus buntu yang kronis. Gambaran keadaan usus yang kelihatannya saling berbeda antara ahli radiologi kawakan Sjahriar Rasad, 62 tahun, dengan ahli yang lebih muda, Ade Sutarto, 39 tahun. Yang satu melihat sesuatu yang mencurigakan di usus kiri, yang lain menduga ada yang tak benar di usus sebelah kanan. Berdasarkan kesimpulan Ade Sutarto, anak itu dibaringkan di meja bedah ada pertengahan Juni 1981. Operasi ditangani dr. Eddy Mulyanto, satu di antara sedikit spesialis belah anak yang dimiliki Indonesia. Tetapi begitu organ pencernaan itu sudah terbuka, ternyata daging tumbuh (polip) tadi tidak ditemukan. Yang ditemukan justru kotoran. Rupanya perut anak itu belum bersih benar sebelum diroentgen Takut kalau-kalau nanti daerah sekitar dan usus buntu tadi menimbulkan kelainan lain, maka pada saat itu juga usus buntu tersebut disingkirkan. Beberapa bulan setelah operasi, Rudolf menjerit-jerit kesakitan lagi. Begitu sakitnya, sehingga bibirnya membiru. Sanak famili datang merubung. Mereka kelihatannya begitu putus asa. Karena toh setelah dioperasi Rudolf tetap dalam penderitaannya. Dan hali ini tambah parah. Dia lemas sekali. "Aih . . . berangkatlah anakku ini," begitu kata hati Nogar Simanjuntak ketika itu seperti ia tuturkan kepada TEMPO. Para dokter yang menolong tak habis pikir penyakit apa gerangan yang menyerang Mereka nampaknya putus asa. Sebab sekalipun sudah di-roentgen untuk ketiga kali dan dimasukkan dalam kategori 'kasus sulit" dibicarakan kalangan ahli, mereka tetap belum melihat penyebab penderitaan itu. Akhirnya Prof. W.A.F. Tumbelaka, kepala bagian penyakit anak RS Cipto menganjurkan agar si penderita diperiksa psikiater. Hasilnya, pemeriksaan psiliiater menyebutkan Rudolf sehat walafiat. Barangkali bisa menolong, Nogar, 44 tahun, menganjurkan kepada para dokter supaya membuat foto scan terhadap usus Rudolf. Sang ayah merasa usulnya ini (dia hanya seorang yang berpendidikan ekonomi, bekerja di IBM) diabaikan. Dan difoto scan bukannya usus, melainkan ginjal dan empedu. Daerah itu yang jadi sasaran karena para dokter rupanya menduga organ itu yang bikin gara-gara. Sebab kalau perut melilit, Rudolf memegangi bagian perut, di mana kedua organ tadi tersembunyi. Dokter-dokter terbaik sudah berusaha menolong, Rudolf Simanjuntak tetap belum tertolong. Akhirnya November 1981 dia masuk ke sebuah rumah sakit di Singapura. Beberapa hari kemudian dia dioengen kembali. Dokter di rumah sakit itu dengan cepat menemukan polip di usus sebelah kiri. Rudolf diopera si kembali untuk membuang polip itu. Dia benar-benar sembuh, sampai sekarang. Ketika Nogar Simanjuntak menunjukkan hasil roentgen dari Indonesia, dokter Singapura tadi juga bisa melihat penyebab penderitaan itu di dalam roentgen tadi. Memang kurang nyata, tapi terlihat bayangan hitam menghadang dalam usus itu. "It's a crime," kata mereka seperti yang diceritakan Nogar, tentang kurang jelinya dokter-dokter di Indonesia. Tetapi apa komentar Sjahriar Rasad? "Saya tidak mengatakan kalau polip Rudolf itu tidak ada. Tapi tidak kelihatan," katanya. Antara pemeriksaan yang dia lakukan pada April 1981 dengan November tahun itu juga, ada jarak 7 bulan. "Ini cukup lama untuk membuat polip menjadi cukup besar untuk dapat dilihat." Menurut orang tua si penderita pada roentgen yang dibuat Ade Sutarto bulan Mei sudah terlihat polip, seperti yang kemudian terlihat jelas pada foto yang dibuat dokter Singapura. "Dan anak saya itu menderita sudah bertahun-tahun," katanya. Bagaimana Ade Sutarto bisa menyebutkan kemungkinan polip di dekat usus buntu? "Saya tidak memastikan itu polip, tapi sangat mungkin. Dan itu kemungkinan yang bisa dipastikan. Jadi saya tak keliru. Kebetulan saja setelah dioperasi kemungkinln yang dipastikan itu ternyata kotoran," jawabnya. Eddy Mulyanto yang melakukan operasi "hampa" di Jakarta merasa tidak bersalah. Karena katanya dia melakukan tindakan itu berdasarkan petunjuk ahli radiologi. Polip yang terlalu kecil bisa saja gagal ditemukan. "Tetapi kalau sudah membesar, semua orang bisa menjadi pahlawan," katanya. Keluarga Simanjuntak barangkali tidak ingin pahlawan buat si Rudolf itu datang dari Singapura. Ia ingin anak itu tertolong di sini. Ini terlihat dari beberapa ahli Indonesia yang terlibat. Tetapi di Medan, memang ada dokter yang segera menyerah kalau sudah tak berhasil. "Kalau kami tak sanggup mengobati, memang kami sarankan pergi ke Singapura," ucap dr. Aslim Sihotang, sekretaris Ikatan Dokter Indonesia, cabang Medan. Sedangkan pasien sendiri kadang-kadang bertindak lebih jauh. Ini terutama mereka lakukan kalau cara di Singapura lebih menyenangkan dan menurut mereka lebih sedikit risikonya. Teresa Mawarati, 40 tahun, istri seorang wartawan di Kota Medan, memperoleh keputusan dokter bahwa karang ginjalnya akan hilang kalau dioperasi. Tetapi sang nyonya menetapkan lain. Dia mendengar di Singapura penyakit karang ginjal bisa diatasi tanpa pembedahan. Dia berangkat ke sana dan ternyata dengan beberapa tablet. karang di ginjal itu bisa keluar bersama urine. Biaya pengobatan sekitar Rp 200.000. Pilihan sendiri seperti yang dilakukan Teresa dari Medan itu, nampaknya menjadi kebiasaan yang semakin membesar di sini. Dia menemukan delapan orang asal Jakarta, Surabaya, Bandung dan Padang mencari penyembuhan yang sama di Kota Singa itu. Banyak juga yang berobat atau mcmeriksakan kesehatannya ke Singapura sekedar sambilan saja. Sally Moeluono dari Jakarta misalnya, berobat penyakit kandungan di kota itu karena kebetulan menemani suaminya menjalani operasi wazir. Tetapi buat pedagang besar seperti Hwai Tik dari Surabaya, berobat penyakit kencing batu ke negara tetangga itu dia tumpangi pula dengan kegiatan bisnis. "Berobat sambil berdagang," katanya polos. Obatnya pun menurut pedagang itu lebih murah di sana. Dan kalau dibandingkan dengan kasus Rudolf, perbandingan harga itu barangkali menjadi lebih susah. Di Jakarta uang yang dihabiskan sekitar Rp 8 juta. Sedang di Singapura sekitar Rp 1,3 juta -- dan sembuh. Sulit menghitung berapa banyak orang lndonesia yang berobat ke Singapura. "Yang berterus terang berobat hanya sedikit," kata M. Dimyati Hartono yang mengurusi keimigrasian di Medan. Yang tidak lapor siapa yang tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus