Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pria-pria sebagai bidan

Pengalaman orang laki-laki yang berprofesi sebagai paraji (dukun bayi) di beberapa daerah. paraji pria lebih disukai para ibu karena tarif lebih murah dan tidak merasa sakit. (sd)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGAN Sahma sering berlumur darah. Tanpa mencucinya lebih dulu, kadang-kadang ia langsung merokok atau minum. "Saya tak pernah jijik," ujarnya. Sudah delapan tahun lelaki itu berpraktek sebagai paraji alias dukun bayi. Untuk membantu para pasien melahirkan, Sahma melakukan apa saja yang biasa dilakukan dukun beranak yang umumnya wanita. Di tempat tinggalnya, Desa Pakuhaji, Kecamatan Cisalak, Subang (Jawa Barat)--sekitar 78 km dari Bandung-nama Sahma cukup terkenal. Daerah operasinya bahkan meliputi seluruh wilayah kabupaten. Banyak wanita yang lebih suka ditangani Sahma, meskipun di desanya ada pula paraji wanita, bidan dan dokter puskesmas. Apalagi Sahma, 49 tahun, tak pernah pasang tarif. Sebelumnya, ketika masih tinggal di Desa Ciburial, Bandung, Sahma yang sehari-hari menjadi tukang batu, sering membantu nenek dan bibinya yang memang menjadi paraji. Baru dua malam pindah di Pakuhaji, seorang tetangganya yang mau melahirkan mendapat musibah. Sudah lima hari bayi yang ditunggu-tunggu tak kunjung lahir. Paraji yang menolongnya sudah putus asa. Mendengar hal itu, Sahma merasa iba. Tanpa diminta, ia pun turun tangan. Diambilnya segelas air putih, dimanterai, lantas diminumkan pada pasiennya. Ia pun mengurut perut pasien itu. Tak lama kemudian, alhamdulillah, lahirlah si jabang bayi. Sejak itu, namanya mulai dikenal sebagai paraji -- dari mulut ke mulut. Bulan lalu ia bahkan sempat menolong empat tetangganya yang melahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Selama lebih kurang 36 jam, Sahma berpraktek secara marathon. Untunglah keempat bayi itu lahir bergiliran. "Seperti sudah ada yang mengatur saja," kata Sahma tertawa. Meskipun tidak pernah mendapat bimbingan bidan atau dinas kesehatan, cara Sahma menolong kelahiran bayi hampir tak beda dengan cara bidan. Ia mempersiapkan minyak kelapa untuk mengurut perut, air hangat dan handuk untuk membersihkan bayi. Setelah membersihkan tubuh jabang bayi itu, Sahma menepuk punggung manusia kecil itu, "agar menangis, sebagai tanda sehat," katanya. Setelah dimandikan dengan air hangat-hangat kuku, bayi itu dibungkus dengan handuk. Tali pusarnya diputus dengan gunting tajam yang sudah dibersihkan dengan spiritus, kemudian ari-arinya ia bersihkan dan ia tanam sendiri. "Pada hari ketiga, setelah diurut, pasien diberi minum jamu agar semua darah kotor keluar," katanya. Selain menjenguk pasiennya untuk mengurus perut pada hari-hari ke 3, 7, 15, 20, 30 dan 40, Sahma juga meramu obat-obatan tradisional yang terdiri dari daun-daunan dan akar-akaran, ditambah air ketan hitam dan anggur beranak. Perut pasien juga diikat dengan kain stagen agar tidak kendur atau buncit. Lama perawatan tersebut antara 3 - 6 bulan . Sahma ternyata juga pandai membantu program KB dengan menjarangkan kelahiran. Caranya dengan mengurut perut si ibu. Ada bagian tertentu, terutama pada rahim, yang ditekan keras. " Itu membuat saluran telur menyempit dan pembuahan terhambat," kata Sahma. "Tapi hal itu hanya dapat dilakukan tiga hari setelah melahirkan," tambahnya. Selama menolong kelahiran itu, ada kalanya Sahma hanya mengenakan celana dalam saja. Istrinya, Icih, tidak pernah mencemburui dia. Sebab seperti katanya, "itu sudah menjadi tugasnya." Sehari-hari Nyi Icih adalah pedagang tempe dan tahu di pasar. Sama tak menetapkan tarif bagi pertolongan. Bahkan, katanya, tak mengharapkan. "Saya menolong dengan ikhlas," ucapnya. Tapi ia tak pernah menolak pemberian keluarga pasien berupa beras, kelapa, pisang, ketan hitam. Padahal hidupnya berkekurangan. Rumahnya, ukuran 4 x 6 meter, berdinding bambu berlantai tanah sudah keropos. Sawahnya kurang dari seperempat hektar. Tapi kelahiran keempat anaknya ditolong oleh paraji lain. ukan karena ia tak mampu, melainkan, katanya, "itu sudah syaratnya." Menurut kepercayaan Sahma, dengan ditolong orang lain, dan dengan begitu Sahma harus membayar, berarti anak yang lahir tersebut diperoleh denan susah payah. "Dan harus dipelihara dengan baik-baik pula," tambahnya. Lain halnya dengan Sabdi, 60 tahun paraji pria yang tinggal di Desa Cimanggu, tak jauh dari Pakuhaji. Ia pernah menolong kelahiran anak bungsunya sendiri 25 tahun lalu. Dari enam anaknya, hanya anak bungsu itu yang tidak lahir di rumah sakit. Sudah 30 uhun lebih berpraktek, Sabdi tak pernah bercita-cita menjadi paraji. Sebelumnya ia dikenal sebagai dukun patah tulang. Tapi suatu malam, tahun 1950, seorang pemuda minta bantuannya menolong istrinya yang akan melahirkan. Karena setengah dipaksa, Sabdi berangkat juga melewati hutan dan sawah. Begitu meraba perut pasiennya, Sabdi berkata: "Nanti siang pukul 11 anakmu akan lahir." Malam itu ia terpaksa bermalam dirumah pasiennya. Beberapa jam kemudian, tepat pukul 11 siang, sing bayi pun nongol di muka bumi. Sejak itu Sabdi sering dipanggil untuk menolong kelahiran. Banyak bayi yang ditolongnya kini sudah berkeluarga dan punya anak. Seorang di antaranya bahkan menganggap Sabdi sebagai orang tuanya sendiri. Maemunah, begitu nama bayi yang lahir pada 1956 itu, mula-mula sudah tak diharapkan bisa hidup. Letak tubuhnya sungsang. "Berkat bantuan para karuhun, alhamdulillah, ibu dan bayinya selamat dan sehat wal afiat," kata Sabdi. Si Maemunah kini sudah berkeluarga dan beranak dua orang. Yang dimaksud karuhun tak lain roh nenek moyang. Setiap kali menolong kclahiran, Sabdi selalu memusatkan pikiran sambil membaca mantera, disertai pembakaran kemenyan. "Setelah bayi lahir, saya tidak ingat lagi apa yang telah saya kerjakan," katanya. Sebab, katanya, ketika menolong kelahiran itu, ia selalu kesurupan roh karuhun. Meskipun ia mengaku selalu dibantu oleh roh, ada satu hal yang tidak bisa ia kerjakan. Yaitu membantu kelahiran bayi yang sudah meninggal dalam kandungan. Menghadapi pasien itu ia selalu minta bantuan Sahma, rekannya. "Meskipun ia lebih muda, tapi dalam menangani kelahiran seperti itu, Sahma lebih pintar dari saya," katanya. Dibanding Sahma, kehidupan Sabdi lebih mak'mur. Maklum, orang tuanya pernah menjadi kepala desa. Rumahnya besar dan bagus, berdinding tembok berlantai teraso putih. Tanahnya, warisan orang tuanya, lebih dari dua hektar. Meskipun tak pernah pasang tarif, ratarata ia menerima imbalan antara Rp 5.000 sampai Rp 12.500 per orang. Berbeda dengan istri Sahma, Nyi .rnah, istri Sabdi, sering mencemburui suaminya. "Kalau perasaan saya tidak enak, saya larang suami saya menolong orang melahirkan," katanya. Karena itu tak jarang Sabdi pergi diam-diam, hingga sering pula bertengkar dengan istrinya. "Habis, perempuan-perempuan itu membutuhkan pertolongan," kilahnya. Lain pula halnya dengan istri Martoredjo, paraji pria dari Dukuh Bulakrejo, Desa Semen, Kecamatan Paron, Ngawi (Jawa Timur). Ia justru mendampingi suaminya yang sudah berusia 85 tahun itu. Ia memandikan sang bayi, memorong dan menanam ari-arinya. Bahkan merawatnya sampai bayi tersebut berusia dua mlnggu. Sudah 35 tahun berpraktek sebagai dukun bayi, Martorejo sejak lama sudah juga punya keahlian sebagai dukun penyakit. Ia pandai mengobati sakit panas, terkena "gangguan setan" dan memimpin upacara perkawinan menurut adat-istiadat setempat. Tak jarang pula para bidan Puskesmas Kecamatan Paron minta bantuannya. Keahlian Martoredjo memang warisan dari orang tuanya. Ayahnya, juga neneknya, memang paraji terkenal dizamannya. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, Martoredjo yang amat kesohor itu lulus dengan nilai baik pada penataran para dukun bayi yang diselenggarakan puskesmas setempat tahun lalu. Martoredjo juga tidak pasang tarif. Namun bila ada yang menyodorkan lima lembar uang ribuan atau satu slof rokok kretek, diterimanya dengan baik. "Itu rezeki Tuhan, tak baik menolaknya," ujarnya. Kasan, 76 tahun, paraji pria dari Dukuh Mojosari, Desa Jambangan, di Kabupaten Ngawi, merahasiakan mantera yang dikuasainya. "Pokoknya saya berdoa kepada Tuhan agar membantu kelahiran bayi itu dengan cepat dan selamat," ujarnya. Meskipun baru tiga tahun berpraktek, Kasan sudah terkenal di desanya. ANDAIKATA bayi yang ditolongnya tidak kunjung muncul, Kasan cepat cepat menuangkan air putih dari sebuah kendi. Setelah dimanterai, lantas ia minumkan kepada pasien. "Dengan cara itu kelahiran biasanya lancar," katanya lagi. Tapi kalau cara yang ditempuhnya tidak juga memberi hasil, ia tak segansegan minta bantuan bidan puskesmas. Seperti rekan-rekan seprofesinya, Kasan tidak pernah minta imbalan atas pertolongannya. "Kadang-kadang saya hanya menerima ucapan terima kasih saja, terutama dari keluarga yang tidak mampu," tuturnya. "Itu pun saya terima dengan senang hati," tambahnya. Sejak muda Kasan yang buta huruf ini sudah dikenal sebagai dukun. Ia pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bahkan sekarang, selain dikenal sebagai dukun manusia, ia juga, lihay sebagai paraji penolong hewan yang hendak beranak. Ia pernah membantu dua ekor sapi yang sulit melahirkan. "Biasanya saya hanya mengurut perutnya saja. Saya pijit-pijit beberapa kali. Dan anak sapi itu keluar dengan selamat," katanya. Macam-macam alasan para ibu yang lebih suka ditangani paraji pria. Ada yang mengaku tarifnya lebih murah, ada pula yang menyataan karena di desanya tidak ada paraji wanita. Dan umumnya mengaku "tidak merasa sakit". Ada pula yang hanya ikut-ikutan karena sang paraji sudah terkenal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus