TANGAN Sahma sering berlumur darah. Tanpa mencucinya lebih dulu,
kadang-kadang ia langsung merokok atau minum. "Saya tak pernah
jijik," ujarnya. Sudah delapan tahun lelaki itu berpraktek
sebagai paraji alias dukun bayi. Untuk membantu para pasien
melahirkan, Sahma melakukan apa saja yang biasa dilakukan dukun
beranak yang umumnya wanita.
Di tempat tinggalnya, Desa Pakuhaji, Kecamatan Cisalak, Subang
(Jawa Barat)--sekitar 78 km dari Bandung-nama Sahma cukup
terkenal. Daerah operasinya bahkan meliputi seluruh wilayah
kabupaten. Banyak wanita yang lebih suka ditangani Sahma,
meskipun di desanya ada pula paraji wanita, bidan dan dokter
puskesmas. Apalagi Sahma, 49 tahun, tak pernah pasang tarif.
Sebelumnya, ketika masih tinggal di Desa Ciburial, Bandung,
Sahma yang sehari-hari menjadi tukang batu, sering membantu
nenek dan bibinya yang memang menjadi paraji. Baru dua malam
pindah di Pakuhaji, seorang tetangganya yang mau melahirkan
mendapat musibah. Sudah lima hari bayi yang ditunggu-tunggu tak
kunjung lahir.
Paraji yang menolongnya sudah putus asa. Mendengar hal itu,
Sahma merasa iba. Tanpa diminta, ia pun turun tangan. Diambilnya
segelas air putih, dimanterai, lantas diminumkan pada pasiennya.
Ia pun mengurut perut pasien itu. Tak lama kemudian,
alhamdulillah, lahirlah si jabang bayi.
Sejak itu, namanya mulai dikenal sebagai paraji -- dari mulut ke
mulut. Bulan lalu ia bahkan sempat menolong empat tetangganya
yang melahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Selama lebih
kurang 36 jam, Sahma berpraktek secara marathon. Untunglah
keempat bayi itu lahir bergiliran. "Seperti sudah ada yang
mengatur saja," kata Sahma tertawa.
Meskipun tidak pernah mendapat bimbingan bidan atau dinas
kesehatan, cara Sahma menolong kelahiran bayi hampir tak beda
dengan cara bidan. Ia mempersiapkan minyak kelapa untuk mengurut
perut, air hangat dan handuk untuk membersihkan bayi. Setelah
membersihkan tubuh jabang bayi itu, Sahma menepuk punggung
manusia kecil itu, "agar menangis, sebagai tanda sehat,"
katanya.
Setelah dimandikan dengan air hangat-hangat kuku, bayi itu
dibungkus dengan handuk. Tali pusarnya diputus dengan gunting
tajam yang sudah dibersihkan dengan spiritus, kemudian
ari-arinya ia bersihkan dan ia tanam sendiri. "Pada hari ketiga,
setelah diurut, pasien diberi minum jamu agar semua darah kotor
keluar," katanya.
Selain menjenguk pasiennya untuk mengurus perut pada hari-hari
ke 3, 7, 15, 20, 30 dan 40, Sahma juga meramu obat-obatan
tradisional yang terdiri dari daun-daunan dan akar-akaran,
ditambah air ketan hitam dan anggur beranak. Perut pasien juga
diikat dengan kain stagen agar tidak kendur atau buncit. Lama
perawatan tersebut antara 3 - 6 bulan .
Sahma ternyata juga pandai membantu program KB dengan
menjarangkan kelahiran. Caranya dengan mengurut perut si ibu.
Ada bagian tertentu, terutama pada rahim, yang ditekan keras. "
Itu membuat saluran telur menyempit dan pembuahan terhambat,"
kata Sahma. "Tapi hal itu hanya dapat dilakukan tiga hari
setelah melahirkan," tambahnya.
Selama menolong kelahiran itu, ada kalanya Sahma hanya
mengenakan celana dalam saja. Istrinya, Icih, tidak pernah
mencemburui dia. Sebab seperti katanya, "itu sudah menjadi
tugasnya." Sehari-hari Nyi Icih adalah pedagang tempe dan tahu
di pasar.
Sama tak menetapkan tarif bagi pertolongan. Bahkan, katanya,
tak mengharapkan. "Saya menolong dengan ikhlas," ucapnya. Tapi
ia tak pernah menolak pemberian keluarga pasien berupa beras,
kelapa, pisang, ketan hitam. Padahal hidupnya berkekurangan.
Rumahnya, ukuran 4 x 6 meter, berdinding bambu berlantai tanah
sudah keropos. Sawahnya kurang dari seperempat hektar.
Tapi kelahiran keempat anaknya ditolong oleh paraji lain. ukan
karena ia tak mampu, melainkan, katanya, "itu sudah syaratnya."
Menurut kepercayaan Sahma, dengan ditolong orang lain, dan
dengan begitu Sahma harus membayar, berarti anak yang lahir
tersebut diperoleh denan susah payah. "Dan harus dipelihara
dengan baik-baik pula," tambahnya.
Lain halnya dengan Sabdi, 60 tahun paraji pria yang tinggal di
Desa Cimanggu, tak jauh dari Pakuhaji. Ia pernah menolong
kelahiran anak bungsunya sendiri 25 tahun lalu. Dari enam
anaknya, hanya anak bungsu itu yang tidak lahir di rumah sakit.
Sudah 30 uhun lebih berpraktek, Sabdi tak pernah bercita-cita
menjadi paraji.
Sebelumnya ia dikenal sebagai dukun patah tulang. Tapi suatu
malam, tahun 1950, seorang pemuda minta bantuannya menolong
istrinya yang akan melahirkan. Karena setengah dipaksa, Sabdi
berangkat juga melewati hutan dan sawah. Begitu meraba perut
pasiennya, Sabdi berkata: "Nanti siang pukul 11 anakmu akan
lahir."
Malam itu ia terpaksa bermalam dirumah pasiennya. Beberapa jam
kemudian, tepat pukul 11 siang, sing bayi pun nongol di muka
bumi. Sejak itu Sabdi sering dipanggil untuk menolong kelahiran.
Banyak bayi yang ditolongnya kini sudah berkeluarga dan punya
anak. Seorang di antaranya bahkan menganggap Sabdi sebagai orang
tuanya sendiri.
Maemunah, begitu nama bayi yang lahir pada 1956 itu, mula-mula
sudah tak diharapkan bisa hidup. Letak tubuhnya sungsang.
"Berkat bantuan para karuhun, alhamdulillah, ibu dan bayinya
selamat dan sehat wal afiat," kata Sabdi. Si Maemunah kini sudah
berkeluarga dan beranak dua orang.
Yang dimaksud karuhun tak lain roh nenek moyang. Setiap kali
menolong kclahiran, Sabdi selalu memusatkan pikiran sambil
membaca mantera, disertai pembakaran kemenyan. "Setelah bayi
lahir, saya tidak ingat lagi apa yang telah saya kerjakan,"
katanya. Sebab, katanya, ketika menolong kelahiran itu, ia
selalu kesurupan roh karuhun.
Meskipun ia mengaku selalu dibantu oleh roh, ada satu hal yang
tidak bisa ia kerjakan. Yaitu membantu kelahiran bayi yang sudah
meninggal dalam kandungan. Menghadapi pasien itu ia selalu minta
bantuan Sahma, rekannya. "Meskipun ia lebih muda, tapi dalam
menangani kelahiran seperti itu, Sahma lebih pintar dari saya,"
katanya.
Dibanding Sahma, kehidupan Sabdi lebih mak'mur. Maklum, orang
tuanya pernah menjadi kepala desa. Rumahnya besar dan bagus,
berdinding tembok berlantai teraso putih. Tanahnya, warisan
orang tuanya, lebih dari dua hektar. Meskipun tak pernah pasang
tarif, ratarata ia menerima imbalan antara Rp 5.000 sampai Rp
12.500 per orang. Berbeda dengan istri Sahma, Nyi .rnah, istri
Sabdi, sering mencemburui suaminya. "Kalau perasaan saya tidak
enak, saya larang suami saya menolong orang melahirkan,"
katanya. Karena itu tak jarang Sabdi pergi diam-diam, hingga
sering pula bertengkar dengan istrinya. "Habis,
perempuan-perempuan itu membutuhkan pertolongan," kilahnya.
Lain pula halnya dengan istri Martoredjo, paraji pria dari Dukuh
Bulakrejo, Desa Semen, Kecamatan Paron, Ngawi (Jawa Timur). Ia
justru mendampingi suaminya yang sudah berusia 85 tahun itu. Ia
memandikan sang bayi, memorong dan menanam ari-arinya. Bahkan
merawatnya sampai bayi tersebut berusia dua mlnggu.
Sudah 35 tahun berpraktek sebagai dukun bayi, Martorejo sejak
lama sudah juga punya keahlian sebagai dukun penyakit. Ia pandai
mengobati sakit panas, terkena "gangguan setan" dan memimpin
upacara perkawinan menurut adat-istiadat setempat. Tak jarang
pula para bidan Puskesmas Kecamatan Paron minta bantuannya.
Keahlian Martoredjo memang warisan dari orang tuanya. Ayahnya,
juga neneknya, memang paraji terkenal dizamannya. Meskipun tidak
bisa membaca dan menulis, Martoredjo yang amat kesohor itu lulus
dengan nilai baik pada penataran para dukun bayi yang
diselenggarakan puskesmas setempat tahun lalu.
Martoredjo juga tidak pasang tarif. Namun bila ada yang
menyodorkan lima lembar uang ribuan atau satu slof rokok kretek,
diterimanya dengan baik. "Itu rezeki Tuhan, tak baik
menolaknya," ujarnya.
Kasan, 76 tahun, paraji pria dari Dukuh Mojosari, Desa
Jambangan, di Kabupaten Ngawi, merahasiakan mantera yang
dikuasainya. "Pokoknya saya berdoa kepada Tuhan agar membantu
kelahiran bayi itu dengan cepat dan selamat," ujarnya. Meskipun
baru tiga tahun berpraktek, Kasan sudah terkenal di desanya.
ANDAIKATA bayi yang ditolongnya tidak kunjung muncul, Kasan
cepat cepat menuangkan air putih dari sebuah kendi. Setelah
dimanterai, lantas ia minumkan kepada pasien. "Dengan cara itu
kelahiran biasanya lancar," katanya lagi. Tapi kalau cara yang
ditempuhnya tidak juga memberi hasil, ia tak segansegan minta
bantuan bidan puskesmas.
Seperti rekan-rekan seprofesinya, Kasan tidak pernah minta
imbalan atas pertolongannya. "Kadang-kadang saya hanya menerima
ucapan terima kasih saja, terutama dari keluarga yang tidak
mampu," tuturnya. "Itu pun saya terima dengan senang hati,"
tambahnya. Sejak muda Kasan yang buta huruf ini sudah dikenal
sebagai dukun.
Ia pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bahkan sekarang,
selain dikenal sebagai dukun manusia, ia juga, lihay sebagai
paraji penolong hewan yang hendak beranak. Ia pernah membantu
dua ekor sapi yang sulit melahirkan. "Biasanya saya hanya
mengurut perutnya saja. Saya pijit-pijit beberapa kali. Dan anak
sapi itu keluar dengan selamat," katanya.
Macam-macam alasan para ibu yang lebih suka ditangani paraji
pria. Ada yang mengaku tarifnya lebih murah, ada pula yang
menyataan karena di desanya tidak ada paraji wanita. Dan
umumnya mengaku "tidak merasa sakit". Ada pula yang hanya
ikut-ikutan karena sang paraji sudah terkenal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini