GELANGGANG pertarungan di PON XI makin hangat. Tak hanya oleh persaingan dalam memperebutkan medali, tapi juga oleh pelbagai kabar pemecahan rekor yang sejak Selasa pekan lalu terasa seperti menggebu-gebu. Bahkan agak mengejutkan, ketika lewat cabang olah raga angkat berat, dua atlet Karsono (Jawa Barat) dan Nanda Telaumbanua (Sumatera Barat) disebut-sebut berhasil memecahkan rekor dunia baru. Karsono, misalnya, disebutkan memecahkan dua rekor dunia. Pertama angkatan squat, mengangkat barbel dari belakang leher, letaknya sejajar dengan pundak, dari jongkok lalu berdiri, atas nama Maxwell (Inggris). Rekor dunia ini 175 kg, sedangkan angkatan Karsono 185 kg. Dan yang kedua untuk angkatan bench-press, mengangkat barbel sambil tiduran di atas bangku, atas nama Ferera (AS) dengan angkatan 121 kg. Karsono melampaui dengan angkatan 125 kg. Sementara itu, Nanda, yang sebenarnya juga adalah juara dunia yunior angkat berat untuk squat - yang diperolehnya dua bulan lalu di pertandingan World Games di London - memperbaiki rekornya dengan angkatan 210 kg. Atau 7 kg lebih berat dari rekor lamanya. Ini prestasi terbaik pertama Karsono dan Nanda di PON. Sekaligus pula, inilah prestasi dunia pertama yang dihasilkan dalam suatu pertandingan olah raga di gelanggang PON selama ini. Maka, tak heran, kalau nama kedua atlet tadi sempat menghias halaman depan pelbagai surat kabar. Tapi, betulkah keduanya pemegang rekor dunia yang baru sekarang? Ternyata, tidak. "Sebab, pertandingan angkat berat di PON XI tidak lengkap memenuhi ketentuan IPF (International Powerlifting Federation)," kata Toni Sundjaja, manajer Tim Angkat Berat Ja-Bar. Setidak-tidaknya ada dua ketentuan atau persyaratan IPF, menurut dosen Universitas Parahyangan, Bandung, itu yang tidak dipenuhi Panitia Pelaksana Angkat Berat PON. Yaitu, ketentuan harus memberlakukan doping test (pemeriksaan urine para atlet sesaat sebelum bertanding, untuk memastikan apakah seorang atlet menggunakan obat perangsang atau tidak) dan keharusan pertandingan diwasiti oleh minimal seorang wasit kelas satu yang mengantungi sertifikat IPF. Syarat yang sebenarnya sederhana saja. Mengapa syarat itu tak dipenuhi Panpel Angkat Berat? Secara pasti Toni Sundjaya tak begitu bisa menjelaskan. Tapi, setidak-tidaknya, itu menyebabkan rekor yang sudah dipecahkan Nanda jadi sia-sia. Bagaimana cabang olah raga lain? Setidak-tidaknya, dari 45 cabang olah raga yang dipertandingkan dalam PON XI, ada tujuh cabang olah raga lain yang bisa diukur pemecahan rekornya dalam tingkat internasional. Umpamanya renang, balap sepeda, atletik, panahan, dan angkat besi. "Kami sudah pasti diakui karena semua persyaratan dari mulai stadion, hingga isinya, kami penuhi," kata ketua umum PASI, Bob Hasan. Isi stadion tadi, menurut dia, di antaranya adalah foto finish dan alat pengukur waktu elektronik, seperti yang kini dimiliki Stadion Madya, Senayan, Jakarta. Memang, persyaratan untuk bisa diakui sebuah rekor internasional tak sama di ketujuh cabang tadi. Namun, persamaan persyaratan, seperti yang sudah diberlakukan atletik, terkadang juga diterapkan cabang renang. Dalam hal memiliki pencatat waktu elektronik, misalnya. Tapi, dalam menembak ada keharusan tambahan yaitu hadirnya utusan Federasi Menembak Internasional (UIT) sebagai saksi pertandingan itu. Hanya dengan itu mereka mau mengakui rekor tadi. SIALNYA, ketentuan itu bisa berubah, seperti yang dialami balap sepeda (lihat: Boks). Itulah sebabnya, tak semua Panpel di PON XI mengupayakan sekuat tenaga agar memenuhi syarat yang diminta organisasi induk mereka. Menembak, misalnya, seperti kata Sulistio, ketua Panpel, diharuskan mengirimkan terlebih dahulu contoh sasaran yang akan dipakai dalam pertandingan dan mengundang seorang utusan dari UIT untuk menyaksikan pertarungan yang akan diadakan. Hanya dengan itu hasil kejuaraan diakui seandainya terjadi pemecahan rekor. "Tapi kami tak mau memenuhi ketentuan itu karena tak perlu. Sebab, sudah tahu tak bakal ada atlet yang bisa memecah rekor dunia," kata Sulistio. Di PON, rekor yang untuk sementara dibidik agaknya barulah nasional, atau paling tinggi Asia, seperti pernah dikemukakan M.F. Siregar, sekjen KONI Pusat. Dengan kata lain, apa boleh buat, apa yang sudah dihasilkan Nanda Telaumbanua itu dianggap kejutan yang kebetulan saja. Sebab, toh, prestasi atlet Indonesia memang baru berkisar pada pemecahan rekor PON dan Nasional. Itu pun tak bisa terus meningkat dari PON ke PON. Untuk atletik, misalnya, rekor pemecahan PON X dan PON XI, sudah bisa dipastikan terjadi penurunan. Pada PON X, bisa terjadi 13 pemecahan rekor nasional, sedangkan pada PON XI kini hanya 10. Demikian juga rekor PON hanya pecah 31 buah pada PON XI, sementara empat tahun lalu 33. Untunglah, penurunan itu masih bisa diselingi dengan terus munculnya bintang-bintang baru, dari setiap cabang olah raga. Umpamanya Elfira Rosa di cabang renang (lihat:Boks) dan Nurfitriyana, yang sudah menyumbangkan dua medali emas panahan untuk kontingennya, DKI Jakarta. Marah Sakti Laporan Rudy Novrianto & Putut Tri Husodo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini