Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pelajaran

Hasil seminar di Untag menggugat buku pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) agar alinea yang mempertahankan nama baik presiden Sukarno dibuktikan kebenarannya. Buku cetakan baru direvisi. (pdk)

21 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYUSUNAN materi PSPB merupakan sejarah tersendiri. Sebuah seminar tentang sejarah Indonesia yang diselenggarakan di Universitas 17 Agustus Jakarta - siapa menyangka - ternyata merupakan babak tersendiri: mengguncang buku pegangan sekolah yang selama ini dianggap sudah mapan. Senin pekan lalu, R. Nalenan, sekretaris Lembaga Penelitian Sejarah Nasional di universitas itu, membacakan hasil seminar yang sebenarnya telah berlangsung setahun silam. Sejak itu, mulailah orang mempersoalkan materi buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Sebuah alinea dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III - untuk SMP - halaman 154 kemudian menjadi masalah. Di situ tertulis: "Dalam pada itu Presiden Sukarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dolar atas nama Presiden." Karena teks itulah, banyak orang memang bertanya-tanya tentang tingkah laku presiden pertama RI itu. Seminar, menurut Nalenan, memproses 'tuduhan' itu dan menuntut agar penulis buku membuktikan kebenaran pernyataan itu. "Kami mengimbau Menteri P & K, Prof. Dr. Fuad Hassan secepatnya menyelesaikan masalah ini demi kebenaran sejarah," kata Nalenan. Ini memang batu uji pertama bagi Menteri Fuad Hassan. "Seminggu ini kepusingan sejarah," ujarnya. Namun - dengan berhati-hati - Menteri menanggapi gugatan itu, bahkan telah menyampaikan permasalahan pada Presiden. "Percayalah, saya akan memperhatikan semua itu," katanya. Pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akan mengumpulkan para ahli sejarah, untuk melakukan penyusunan ulang. Peninjauan ulang itu, menurut Menteri Fuad, tak hanya dilakukan terhadap satu alinea yang meresahkan itu saja, tapi secara menyeluruh: baik dari aspek sejarah maupun pendidikan. Yang pasti, "Presiden setuju buku itu diteliti," ujarnya. Sebenarnya persoalan bermula pada tahun 1975 -jauh sebelum istilah PSPB muncul - semasa Menteri P dan K Prof. Dr. Syarif Thayeb. Sebuah tim kecil yang diketuai Nugroho Notosusanto - waktu itu menjadi kepala Pusat Sejarah ABRI - telah menyelesaikan buku Sejarah Nasional Indonesia yang dianggapnya sebagai buku standar. Buku enam jilid, setebal 2.000 halaman, oleh penulis disebutnya sebagai karya pertama mengenai "sejarah Indonesia oleh orang Indonesia sendiri dan dengan interpretasi Indonesia". Proyek Paket Buku Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lalu menunjuk Nugroho - dengan anggota tim yang berbeda - mengembangkan buku sejarah itu untuk buku pelajaran siswa SMP, dengan memakai "buku babon" Sejarah Nasional Indonesia itu. Balai Pustaka - setelah mendapat izin dari Departemen dengan SK Menteri nomor 144 tahun 1976 - segera memperbanyak-nya. Abdurrachman Surjomihardjo, salah seorang dari tiga pemrasaran dalam seminar itu - selain Roeslan Abdulgani dan Soeroto - memang tidak berkenan dengan buku itu kendati tidak setegas yang diungkapkan Nalenan. Buku itu, menurut Abdurrachman, kelewat tajam untuk konsumsi anak-anak. "Jelas, sulit bagi anak tingkat SMP untuk membayangkan bagaimana sebenarnya deposito bank, kemungkinan adanya korupsi, atau bagaimana proses keluarnya rahasia klien dari suatu bank." Untuk orang-orang tertentu yang mempelajari sejarah pada bidang-bidang khusus, fakta semacam itu - menurut dia - diperlukan. Sejarawan itu tidak mempersoalkan benar atau tidak alinea yang mengundang polemik itu. Namun, secara keseluruhan ia menilai bahwa "gaya penyajian dan retorika keseluruhan buku itu" tidak tepat untuk siswa SMP. Polemik kini tidak lagi sesempit itu. Beberapa tokoh sejarah, melalui beberapa media massa, malah telah menunjukkan keinginannya untuk menilai kembali "sejarah yang telah dibakukan" yang dianggap tercemari oleh sikap politik terhadap masa lalu. Bahkan sejarah mengenai lahirnya Pancasila sudah mulai dipersoalkan - suatu hal yang sudah lebih luas daripada urusan bangku sekolah tentu, dan ini pernah diperhitungkan oleh Nugroho. Terlambat memang bila kini buku itu yang dipersoalkan karena edisi ketujuh terbitan 1985 yang sudah beredar tak lagi memuat alinea itu. Menurut Nalenan, pihaknya telah menyampaikan keberatannya pada Menteri Nugroho tahun lalu tapi tak ditanggapi. Namun, seorang pejabat menyebut bahwa Almarhum telah menunjukkan bukti kepada para penggugat: untuk mematahkan alasannya. "Jadi, masalahnya sekarang adalah layak atau tidak hal itu untuk buku pelajaran." Bahwa kini mereka menuntut lagi, menurut sumber itu, adalah masalah lain. Apakah buku yang masih beredar dengan alinea Bung Karno itu perlu ditarik? "Saya paling anti dalam hal semacam itu. Yang lama tak perlu ditarik. Cukup beri tahu saja apa kelemahan-kelemahannya," ucap Prof. Dr. Harsya W. Bactiar, ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K. Lagipula, sekali lagi, hal yang dihebohkan itu, dalam buku cetakan terbaru sudah dihapus. Zaim Uchrowi Laporan Yusroni Henridewanto dan Indrayati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus