NYONYA Mardiah menjerit sejadi-jadinya dan, tak lama kemudian, ia jatuh pingsan. Sore itu, Sabtu pekan lalu, Mardiah, 37, janda penjaja pecal keliling yang tinggal di Sumur Batu, Jakarta Pusat, menerima kabar dari polisi bahwa putra tunggalnya, Alfiansyah, mati terbenam dikali. Alfiansyah, 17, pelajar kelas II STM Sumur Batu, boleh dibilang korban pertama perkelahian pelajar yang selama satu setengah bulan belakangan - seiring dengan berlangsungnya PPI - terdengar begitu ramai. Siang itu, pukul 13.00, menjelang Wapres Umar Wirahadikusumah menutup PPI di berbagai tempat di sekitarnya, pecah pula perkelahian pelajar. Polisi mencatat, secara sporadis, perkelahian terjadi di seputar Pasar Baru, di sekeliling Silang Monas, dan di Jalan Perwira. Ketika itu, Alfiansyih dan sejumlah temannya satu sekolah berusaha menyelamatkan diri dari kepungan sejumlah pelajar SMA, di Jalan Perwira, tak jauh dari Masjid Istiqlal. Malang ketika sedang meniti bentangan pipa, Alfiansyah tergelincir dan terperosok ke dalam kali. Sebetulnya air kali di situ tak terlalu dalam, tapi, menurut dugaan, anak muda itu terbenam di dalam lumpur. Mayatnya baru ditemukan sekitar pukul 15.30, setelah polisi meminta bantuan tim Gegana, pasukan antiteroris polisi. Sebetulnya, perkelahian yang pecah Sabtu sore itu sudah diduga sebelumnya karena, menurut seorang petugas polisi, paginya di sebuah sekolah ditemukan selebaran yang mengundang teman-teman sesama murid untuk berkumpul di arena penutupan PPI. Polisi memang mengerahkan kekuatan cukup besar, 100 petugas lebih menjaga berbagai daerah di sekitar PPI yang biasanya jadi ajang pertempuran sesama pelajar itu. Sebuah helikopter turut mengamati dari udara. Karena itulah, meski sempat mengambil korban, perkelahian yang terjadi kali ini tak terhitung besar, dan cepat dikuasai. Begitupun, polisi menangkap sejumlah pelajar di sekitar tempat kejadian - seperti biasa kemudian segera dilepaskan, setelah diperiksa - dan tujuh di antaranya ditahan karena membawa pisau, obeng, dan senjata tajam lain. Haidir, misalnya, seorang pelajar STM, mengaku ditangkap polisi karena membawa sepotong besi bulat. "Berjaga-jaga karena di PPI saya dengar sering terjadi perkelahian," katanya. Di luar peristiwa ini, selama PPI, polisi mencatat tiga peristiwa perkelahian yang terbilang besar. Di antaranya, ketika 3.000-an pelajar dari Serang, Ja-Bar, memasuki arena PPI. Keluar dari sana mereka merusakkan sebuah bis bertingkat, dan kemudian berkelahi dengan pelajar lain yang mereka temui. Gubernur DKI Soeprapto membantah kalau perkelahian pelajar akhir-akhir ini disebabkan oleh PPI. "Yang benar, PPI itu tempat keramaian dan para pelajar 'ngumpul di sana, lalu berkelahi," ujarnya. Psikolog Sarlito Wirawan membenarkan hal itu. Di PPI, menurut dia, terjadi kumpulan massa, dan karena tanpa pengawasan bisa terjadi macam-macam. Yang disalahkan Sarlito ialah para guru. "Guru-guru menyuruh mereka ke PPI, dan di sana mereka dilepas begitu saja," katanya. Kebetulan, di sekitar PPI memang terdapat banyak sekolah. Di kompleks Budi Utomo saja, misalnya, terdapat delapan sekolah SMTA: sebuah SMA dan tujuh STM, yang memiliki sekitar 10.000 siswa. Setiap Sabtu ketika sekolah bubar lebih cepat, ribuan pelajar itu menyerbu PPI seperti semut. Patroli polisi memang memberi nama sandi "semut" untuk para pelajar yang suka berkelahi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini