TIM PSMS di final, gagal menjadi juara Piala Marah Halim (PMH),
ketika Jumat pekan lalu, dikalahkan Korea Selatan 3-1. 35 ribu
pengunjung yang memadati Stadion Teladan, Medan, kecewa.
Beberapa penonton melampiaskan perasaannya dengan melempar batu
dan plastik bekas minuman. Bahkan ada juga yang membakar kertas.
Pernah juara ketika turnamen ini diadakan pertama kali tahun
1972 dan tahun berikutnya, PSMS yang pernah punya nama harum itu
tak pernah menempati tempat pertama lagi sampai kejuaraan ke-12
yang berakhir minggu lampau. PSMS, seperti luga ke)uaraannya
yang memakai nama bekas gubernur Sum-Ut itu kian lama
kualitasnya semakin merosot. "Sampai kejuaraan ke-enam kualitas
turnamen ini tinggi. Tapi setelah itu menurun," kata Wahab Abdy,
56 tahun, ketua Panitia Pelaksana PMH.
Hampir pada setiap kejuaraan, turnamen yang diakui Federasi
Sepakbola Asia (AFC) itu diikuti paling sedikit enam tim dalam
negeri dan enam kesebelasan dari luar negeri. Bahkan tahun 1975,
kejuaraan itu dimeriahkan oleh delapan tim luar negeri dari 14
tim yang turut serta. Tiga tahun kemudian pesertanya merosot
menjadi hanya lima tim luar negeri dari sembilan tim yang turut
bertanding.
Dalam kejuaraan PMH yang baru selesai ini, hanya empat tim dari
luar negeri dari tujuh tim yang masih mau bertanding. Itu pun,
kesebehsan dari Jerman Barat yang memang harus diundang karena
juara tahun lalu, hadir dengan tim lain yang terdiri dari pemain
rongsokan. Menurut Wahab Abdy, tim Jer-Bar yang pemainnya
dipungut dari berbagai klub yang sudah tersisih dari kompetisi
itu, datang dari tempat yang tak ketahuan asalnya.
Kecuali beberapa syarat, antara lain, tim yang diundang
sedikitnya harus juara amatir di negerinya, tampak belum ada
persyaratan negara yang diharapkan hadir dalam PMH. Pernah
diundang Vietnam dan Kampuchea. Bahkan dari Eropa pernah datang
Islandia. Menurut Wahab Abdy, ini disengaja. Turnamen yang
setiap tahunnya berlangsung bulan April itu, katanya, harus kaya
dengan berbagai gaya sepakbola yang ada di dunia. "Jangan heran
kalau suatu ketika Qatar, atau Nigeria yang kita undang. Meriah
kan," katanya lagi.
Pentapat ini dibenarkan Kamarudin Panggabean, arsitek turnamen
PMH yang kini masih menjadi pengurus Yayasan Marah Halim. "Gaya
permainan mereka bisa dipelajari. Mana yang baik bisa kita
pakai. Kalau tim yang diundang hanya dari Asia, bisa
membosankan," katanya.
Namun tentu saja lebih membosankan bila ternyata tim yang sudah
diundang jauh-jauh itu kualitasnya seperti kesebelasan dari
Jerman Barat kali ini. Sekalipun sudah diharapkan agar tim yang
datang mesti yang bagus, tak jarang panitia PMH terpaksa
menerima kesebelasan yang tidak sesuai dengan permintaan.
"Ibarat membeli kucing dalam karung," kata Wahab Abdy lagi.
Apakah turnamen yang semakin merosot itu masih perlu
dilanjutkan? "Siapa pun penyelenggaranya, pokoknya jalan terus,"
kata Kamarudin. Syaratnya, katanya, tim yang diundang harus
memiliki mutu yang baik, dan biaya penyelenggaraan harus
tertutup dari hasil penjualan tiket - karena panitia harus
menanggung biaya mendatangkan peserta dari dalam dan luar
negeri, termasuk uang saku.
Menurut catatan, hampir setiap tahun panitia untung. Bahkan
tahun 1981, untung ebih Rp 64 juta. Sementara tahun lalu rugi
lebih Rp 83 juta karena kejuaraan PMH bersamaan dengan
berlangsungnya turnamen Piala Dunia di Spanyol. Sedangkan tahun
ini, turnamen yang menghabiskan Rp 160 juta itu, belum ketahuan
untung ruginya. Sementara mutu melorot terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini