Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Liburan Yang Menggaruk Kantung

Wartawan Tempo Minuk Sastrowardojo berkunjung ke bali akhir pekan lalu bersama rombongan wisatawan asing. berikut ini laporannya selama dua hari sebagai turis.

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIBURAN pendek ke Bali terasa mulai menggaruk kantung sejak tiket pesawat dan kamar hotel dipesan dari biro perjalanan Pacto, Jakarta. Biaya pesawat Garuda pulang-pergi sudah menghabiskan Rp 160.000. Dan biaya menginap dua malam di Hotel Sanur Beach yang berbintang 4 itu memakan Rp 103.000 lebih untuk seorang di kamar yang single. Zaman sekarang memang zaman resesi, dan devaluasi rupiah kemarin rupanya sudah ikut menaikkan harga di berbagai bidang usaha. Termasuk bidang pariwisata, tentunya. Namun pengangkutan dari pelabuhan udara Ngurah Rai ke hotel boleh dipuji. Selain murah, cuma Rp 2.500 untuk suatu jarak 14 km, bis mini berwarna biru muda punya Hotel Sanur Beach itu akan mengangkut tamu yang sebelumnya sudah memesan tempat, sekalipun hanya seorang. Bulan April ini agaknya merupakan bulan sepi untuk pariwisata di Bali. Lebih-lebih karena di negeri kaum turis ini, kebanyakan dari Barat, sedang diganggu oleh resesi. Masa bebas visa dua bulan bagi wisatawan dari 26 negara agaknya juga belum terasa menjaring masuknya turis ke hotel. "Hasil dari kebijaksanaan itu masih butuh waktu beberapa lama," kata Ketut Suganda, asisten manajer Hotel Sanur Beach. Berkapasitas 312 kamar, Ketut Suganda toh mengaku tingkat penghunian hotel itu mencapai 60%, dan seorang tamu rata-rata menginap selama empat hari, dan sekitar 40-50% berasal dari Eropa Barat. Para wisatawan itu, seperti biasa, diajak keliling tur, melihat tarian, masuk toko, lalu makan di restoran. Perjalanan yang paling panjang adalah ke daerah wisata Kintamani. Dan pagi itu, akhir pekan lalu, rombongan tur ke Kintamani hanya terdiri 11 orang: empat dari Inggris, tiga dari AS, selebihnya turis domestik. Bangli, pramuwisata dari Pacto memberikan keterangan dalam bahasa Inggris. Tata bahasanya tak sempurna, memang. Tapi ucapannya mudah dimengerti oleh para penumpang. Alkisah, kami diajak ke Batubulan menyaksikan tari Barong yang dipentaskan penduduk Desa Banjar. Rombongan tak dipungut bayaran, karena sudah termasuk biaya tur sehari yang 13 dollar (Rp 12.500) setiap orang. Tak banyak yang menonton tarian itu. Cuma 60 dari tempat duduk berkapasitas 300 orang terisi. Menurut I Gusti Nara, pengurus rombongan tari Barong, penonton ramai di bulan Desember-Januari, masa liburan. Selesai menonton acara yang satu jam, rombongan kecil itu lantas dibawa ke Celuk, masuk toko kerajinan perak. Pengunjung melihat-lihat selama kurang lebih 20 menit, dan di antara mereka ada juga yang membeli perhiasan hasil karya tiga buruh kanak-kanak. Seorang wanita Inggris nampaknya lebih tertarik untuk mengamati pepohonan di tepi jalan. "Pohon itu bagus, mirip akasia di rumah saya," katanya seraya menunjuk tanaman yang berbunga oranye. "Dan itu, apa itu pohon karet?" tanya seorang wanita bule lain kepada pacarnya. Selama dalam perjalanan para turis Barat itu nampaknya lebih suka mengobrol tentang keindahan alam di Bali. Tapi rombongan tiba-tiba merasa terancam ketika berhadapan dengan para pedagang. Itu terjadi setelah mereka diajak berkunjung ke galeri Ida Bagus Njana Tilem. Setelah melihat-lihat patung Tilem yang begitu halus tapi mahal, mereka merasa diserbu oleh penjual patung yang murahan, dan penjual piring anyaman. "Eight dollar mister," teriak wanita menawarkan kain biru bersablon, seraya terus mengudak seorang turis. Lebih ganas lagi ketika sampai ke Tirta Empul, Tampaksiring. Begitu penumpang turun dari bis, lengan mereka ditarik oleh segerombolan anak yang bekerja sebagai calo pedagang pisang. "Five hundred sir, only five hundred," teriak mereka berulang-ulang. Kemudian muncul penjual patung eboni. Mereka mengejar rombongan yang sudah kembali masuk bis. Mereka tanpa takut, memasukkan lengan mereka ke dalam kendaraan itu, dan menyodorkan patung ke depan muka orang. Suara mereka amat membisingkan telinga, dan penumpang merasa capek setiap kali menolak mereka. Akhirnya para wisatawan itu mengambil sikap diam. Bahkan salah seorang anggota rombongan diam saja ketika seorang anak kecil nakal menggesek-gesekkan patung ke punggungnya. Ada juga yang tak peduli, dan membuka kembali jendela mobil yang sengaja ditutup. "Mereka sebenarnya perlu dikasihani," kata seorang dari Amerika. "Barang dagangannya sangat murah. Apa sih artinya 500 rupiah buat saya?" Tapi dia enggan membeli, karena "cara mereka menjual dagangannya," tambahnya. Toh ketika mampir ke sebuah daerah pertokoan lain, si Amerika itu membeli juga sebuah patung besar seharga Rp 20 ribu, turun dari tawaran semula yang Rp 40 ribu. Anne-Marie dari Inggris merasa agak heran setelah melihat Bali. "Di Inggris para agen perjalanan selalu mengatakan Bali itu serba luks. Nyatanya kok tidak," katanya. Dia merasa "belum pernah melihat kemiskinan penduduk seperti itu." Kent, seorang Amerika yang sering ke Jakarta, beranggapan liburan ke Bali termasuk mahal. "Orang Amerika yang kembali biasanya tergolong yang ingin bertualang. Kalau sekadar mencari udara tropis, kebanyakan lebih suka berlibur ke Hawaii. Jaraknya tak terlalu jauh, dan tarif hotelnya termasuk lebih murah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus