LIBURAN pendek ke Bali terasa mulai menggaruk kantung sejak
tiket pesawat dan kamar hotel dipesan dari biro perjalanan
Pacto, Jakarta. Biaya pesawat Garuda pulang-pergi sudah
menghabiskan Rp 160.000. Dan biaya menginap dua malam di Hotel
Sanur Beach yang berbintang 4 itu memakan Rp 103.000 lebih untuk
seorang di kamar yang single. Zaman sekarang memang zaman
resesi, dan devaluasi rupiah kemarin rupanya sudah ikut
menaikkan harga di berbagai bidang usaha. Termasuk bidang
pariwisata, tentunya.
Namun pengangkutan dari pelabuhan udara Ngurah Rai ke hotel
boleh dipuji. Selain murah, cuma Rp 2.500 untuk suatu jarak 14
km, bis mini berwarna biru muda punya Hotel Sanur Beach itu akan
mengangkut tamu yang sebelumnya sudah memesan tempat, sekalipun
hanya seorang.
Bulan April ini agaknya merupakan bulan sepi untuk pariwisata di
Bali. Lebih-lebih karena di negeri kaum turis ini, kebanyakan
dari Barat, sedang diganggu oleh resesi. Masa bebas visa dua
bulan bagi wisatawan dari 26 negara agaknya juga belum terasa
menjaring masuknya turis ke hotel. "Hasil dari kebijaksanaan itu
masih butuh waktu beberapa lama," kata Ketut Suganda, asisten
manajer Hotel Sanur Beach.
Berkapasitas 312 kamar, Ketut Suganda toh mengaku tingkat
penghunian hotel itu mencapai 60%, dan seorang tamu rata-rata
menginap selama empat hari, dan sekitar 40-50% berasal dari
Eropa Barat. Para wisatawan itu, seperti biasa, diajak keliling
tur, melihat tarian, masuk toko, lalu makan di restoran.
Perjalanan yang paling panjang adalah ke daerah wisata
Kintamani.
Dan pagi itu, akhir pekan lalu, rombongan tur ke Kintamani hanya
terdiri 11 orang: empat dari Inggris, tiga dari AS, selebihnya
turis domestik. Bangli, pramuwisata dari Pacto memberikan
keterangan dalam bahasa Inggris. Tata bahasanya tak sempurna,
memang. Tapi ucapannya mudah dimengerti oleh para penumpang.
Alkisah, kami diajak ke Batubulan menyaksikan tari Barong yang
dipentaskan penduduk Desa Banjar. Rombongan tak dipungut
bayaran, karena sudah termasuk biaya tur sehari yang 13 dollar
(Rp 12.500) setiap orang.
Tak banyak yang menonton tarian itu. Cuma 60 dari tempat duduk
berkapasitas 300 orang terisi. Menurut I Gusti Nara, pengurus
rombongan tari Barong, penonton ramai di bulan Desember-Januari,
masa liburan. Selesai menonton acara yang satu jam, rombongan
kecil itu lantas dibawa ke Celuk, masuk toko kerajinan perak.
Pengunjung melihat-lihat selama kurang lebih 20 menit, dan di
antara mereka ada juga yang membeli perhiasan hasil karya tiga
buruh kanak-kanak. Seorang wanita Inggris nampaknya lebih
tertarik untuk mengamati pepohonan di tepi jalan. "Pohon itu
bagus, mirip akasia di rumah saya," katanya seraya menunjuk
tanaman yang berbunga oranye. "Dan itu, apa itu pohon karet?"
tanya seorang wanita bule lain kepada pacarnya. Selama dalam
perjalanan para turis Barat itu nampaknya lebih suka mengobrol
tentang keindahan alam di Bali.
Tapi rombongan tiba-tiba merasa terancam ketika berhadapan
dengan para pedagang. Itu terjadi setelah mereka diajak
berkunjung ke galeri Ida Bagus Njana Tilem. Setelah
melihat-lihat patung Tilem yang begitu halus tapi mahal, mereka
merasa diserbu oleh penjual patung yang murahan, dan penjual
piring anyaman. "Eight dollar mister," teriak wanita menawarkan
kain biru bersablon, seraya terus mengudak seorang turis.
Lebih ganas lagi ketika sampai ke Tirta Empul, Tampaksiring.
Begitu penumpang turun dari bis, lengan mereka ditarik oleh
segerombolan anak yang bekerja sebagai calo pedagang pisang.
"Five hundred sir, only five hundred," teriak mereka
berulang-ulang.
Kemudian muncul penjual patung eboni. Mereka mengejar rombongan
yang sudah kembali masuk bis. Mereka tanpa takut, memasukkan
lengan mereka ke dalam kendaraan itu, dan menyodorkan patung ke
depan muka orang. Suara mereka amat membisingkan telinga, dan
penumpang merasa capek setiap kali menolak mereka. Akhirnya para
wisatawan itu mengambil sikap diam. Bahkan salah seorang anggota
rombongan diam saja ketika seorang anak kecil nakal
menggesek-gesekkan patung ke punggungnya. Ada juga yang tak
peduli, dan membuka kembali jendela mobil yang sengaja ditutup.
"Mereka sebenarnya perlu dikasihani," kata seorang dari Amerika.
"Barang dagangannya sangat murah. Apa sih artinya 500 rupiah
buat saya?" Tapi dia enggan membeli, karena "cara mereka menjual
dagangannya," tambahnya. Toh ketika mampir ke sebuah daerah
pertokoan lain, si Amerika itu membeli juga sebuah patung besar
seharga Rp 20 ribu, turun dari tawaran semula yang Rp 40 ribu.
Anne-Marie dari Inggris merasa agak heran setelah melihat Bali.
"Di Inggris para agen perjalanan selalu mengatakan Bali itu
serba luks. Nyatanya kok tidak," katanya. Dia merasa "belum
pernah melihat kemiskinan penduduk seperti itu."
Kent, seorang Amerika yang sering ke Jakarta, beranggapan
liburan ke Bali termasuk mahal. "Orang Amerika yang kembali
biasanya tergolong yang ingin bertualang. Kalau sekadar mencari
udara tropis, kebanyakan lebih suka berlibur ke Hawaii. Jaraknya
tak terlalu jauh, dan tarif hotelnya termasuk lebih murah,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini