Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Ia menjinakkan sinar matahari

Penjinak matahari, pimpinan p3tm (pusat penelitian penerapan tenaga matahari) ugm. (tk)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN mengenakan baju bengkel berwarna biru tua, setiap pukul 7 pagi laki-laki berusia 62 tahun itu mengemudikan mobil jip menuju tempat kerjanya Di bengkelnya, dua ruangan masingmasmg berukuran 4 x 4 meter yang lazim dikenal sebagai Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari (P3TM) UGM, sudah menunggu 26 orang pekerja. Pijaran api sudah terlihat di sana-sini di pagi itu. Beberapa pekerja sedang menggergaji lempengan baja - menimbulkan suara bising. Laki-laki beruban itu tak langsung duduk di kursinya. Ia memeriksa pekerjaan pembantu-pembantunya. Berkali-kali ia mengajukan pertanyaan dan berkali-kali pula ia terlihat mengangguk-angguk. "Kami sedang membuat alat kontrol pemanas dari tenaga matahari," kata salah seorang pekerja, Sugiman. "Sebab kalau panas matahari tidak dikendalikan, ia tak akan menghasilkan apa-apa buat manusia," tambah lakilaki beruban itu kepada seorang tamu yang rupanya sedang melihat-lihat suasana bengkel itu. Dr. Mohammad Setia Aji Sastroamidjojo, laki-laki itu, lewat bengkelnya masih tetap melanjutkan keasyikannya membuat alat-alat yang berkaitan dengan sinar matahari. Sejak 1952 ia sudah memperkenalkan cermin parabolis, suatu alat yang dapat memfokuskan sinar sury,a ke satu titik sehingga mampu memanaskan alat penggoreng kerupuk. Kemudian ia memperkenalkan satu sistem memanaskan air dengan sinar matahari. Sistem ini sampai sekarang dipakai beberapa hotel di Malang. Lebih penting dari itu agaknya adalah alat pengering gabah dan tembakau yang sudah dipakai di beberapa perkebunan tembakau di Surakarta dan Jember. Pak Seno, begitu ia dipanggil sehari-hari, menemukan pengering dengan sinar matahari ini tahun lalu. Pemakaian sinar matahari juga sudah memasuki rumah dinas Pak Seno di kompleks perumahan dosen UGM di Bulak Sumur, Yogya. Rumah model Eropa itu sudah menggunakan tenaga matahari untuk memanaskan air. "Tapi itu hanya untuk mandi saja," komentar istrinya, dr. Pustika yang sejak 1963 bekerja di RSUP Sardjito. Ventilasi kamar tidur rumah itu juga diubah pada bagian atap, sehingga sinar matahari yang masuk bisa "dijinakkan". Ruangan jadi sejuk. Sayang, keluarga Pak Seno tak bisa mengubah rumah lebih banyak untuk mempraktekkan hasil kerjanya, karena rumah dinas. "Kalau pun mau diubah, perlu banyak duit," lanjut istrinya. Cita-cita Pak Seno tentang. rumah, adalah yang ia namakan "Wisma Surya". Ide ini muncul ketika ia melihat rumah manis mungil di suatu daerah di Filipina, dua tahun lalu. "Wah, kita ketinggalan lagi dari Filipina," gumam Pak Seno. Setibanya di tanah air, gagasan itu ia terapkan. Wisma Surya, bentuk fisiknya tak jauh dengan rumah penduduk pedesaan. Atapnya berbentuk joglo, karena dapat memberikan efek udara mudah berganti. Jendelanya dibentuk dengan ventuty, seperti jendela pesawat jet. Ventilasi memakai sistem passive cooling (pendingin pasif) yang sematamata mengandalkan angin. Dengan begitu rumah tetap dingin, meski tanpa alat pendingin (AC). Pak Seno, pimpinan Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari (P3TM) UGM itu, dalam merencanakan gagasan Wisma Surya ini memasang suatu alat yang mirip kotak AC di jendela. Udara sejuk akan disalurkan ke kotak itu untuk langsung berhembus ke ruang dalam. Memperhatikan kebiasaan arah angin, merupakan hal penting sebagai pedoman. Rencana pembangunan Wisma Surya ini pernah disodorkan ke menteri PU waktu itu, Purnomosidi, untuk dijadikan model perumahan sehat di Indonesia. Sampai sekarang, kata Pak Seno, belum ada jawaban. A!hasil, gagasan itu baru di atas kertas, karena untuk mewujudkannya, "dari kantung sendiri jelas tak mungkin," ungkap Pak Seno. Pengagum pelukis Leonardo da Vinci dan penggemar cerita wayang sejak kecil ini, mengeluh bahwa biaya riset dan penelitian di universitas sangat kecil. "Dan jika pun ada, prosedurnya payah," kata doktor ilmu fisika dan zat padat lulusan Australian National University (1974) ini. Selama menekuni penerapan tenaga matahari, Pak Seno lebih banyak dibantu Lapan (Lembaga Penelitian Antariksa Nasional). Dari lembaga ini Pak seno memperoleh Rp 100.000 sebulan. Uang itulah yang menghidupi bengkel P3TM UGM. "Tentu saja uang dari Lapan itu tidak cukup untuk menggaji pegawai bengkel yang rata-rata Rp 25.000 per bulan. Ada sumber uang lain namun Pak Seno tak bersedia menyebutkan. Di bengkel inilah dikerjakan hasil karya Pak Seno, baik yang sudah dikenal masyarakat seperti alat pengering gabah tadi maupun percobaan yang sedang dilakukan. "Kerja dengan Pak Seno, saya tak pernah mempersoalkan gaji," kata Sugiman, karyawan bengkel yang lulus STM tahun 1969. Selama 7 tahun bekerja di sana, ia merasa sangat banyak menimba pengetahuan. "Kalau saya kuliah di fakultas teknik, berapa juta yang harus saya bayar. Bekerja di sini dapat pengetahuan dengan cuma-cuma, siapa tahu saya dapat mewarisi ilmu Pak Seno," sambungnya dengan bangga. Semua pekerja bengkel itu membenarkan Pak Seno dengan senang hati membagi ilmunya. Pekerja yang ulet dan peneliti yang tak kenal menyerah ini juga dipuji staf UGM yang lain. "Ia seorang ilmuwan yang terampil dan punya kemauan sangat keras," berkata Prof. Ir. Johannes, jahabat kental Pak Seno sejak 1945. "Kalau drang lain baru bicara soal teori, ia (Pak Seno) sudah menerapkan," lanjut Prof. Johannes. Kerja keras Pak Seno diperoleh dari pendidikan yang tak kalah kerasnya di masa kecil. Ayahnya, (almarhum) Ahmad Seno Sastroamidjojo, seorang dokter Stovia, tak pernah memanjakan Seno kecil. "Saya tak pernah dibelikan mainan jadi dari toko, saya malah diberi alat-alat pertukangan," kenang laki-laki kelahiran Selat Panjang (Riau) itu tentang masa kecilnya. Ketika duduk di bangku sekolah Europese Lagere School (setingkat SD sekarang) di Belitung, ia sudah dibimbing ayahnya membongkar alat-alat teknik. Ketika duduk di sekolah Carpentier Alting Stichting (setingkat SLA sekarang) di Jakarta, bersama ayahnya ia terlibat dalam percobaan membikin alat-alat peledak. Barangkali karena itulah, keterampilan Pak Seno diuji di tahun 1945, untuk membuat geranat tangan. Saat itu, Pak Seno sudah menjabat asisten bagian fisika Ika Daigaku, Jakarta (kini Fak. Kedokteran UI). Di bengkel Ika Daigaku, selain geranat Pak Seno juga membuat berbagai senjata dan mesiu untuk para pejuang. "Tahun 1945 itu, ia pula yang mengorganisasikan pengangkutan berpuluh-puluh gerbong senjata dan mesiu dari Gunung Susuruh (Bandung) ke Yogyakarta," kata Prof. Johannes yang waktu itu sudah berkawan dengan Pak Seno. Dosen Fakultas Ilmu Pasti & Alam UGM yang berambut gondrong ini, kini mengalihkan perjuangannya untuk "menaklukkan matahari", seperti yang sering ia ucapkan. Ternyata, Pak Seno, yang nama intimnya ini berasal dan nama almarhum ayahnya ("sebagai penghormatan atas jasa beliau," katanya) juga gemar kesusastraan. Masa remajanya (1940) berpuluh-puluh puisi ia buat dan dipublikasikan dalam Majalah Kita. Puisi karyanya itu masih tersimpan rapi. "Ah, saya malu membukanya, kaidah dengan puisi anak saya," katanya dengan senyum. Putra tertuanya adalah Seno Gumira Aji Dharma, penulis yang sering mempublikasikan karyanya di Kompas, Zaman dan Horison. Seno Gumira Aji Dharma, 24 tahun, pernah kuliah di LPKJ konon berkat Pak Seno akhirnya mencantumkan nama asli di setiap karyanya. Dulu ia dikenal dengan nama samaran Mira Sato. Adiknya, Sugati Aji Putranto masih duduk di SMAN III Yogyakarta. Sugati agaknya mewarisi bakat Pak Seno sebagai peneliti, sekaligus pencipta. Di ruang belajarnya berserakan hasil prakarya. Ada kapal dari aluminium yang bisa terbang dengan baterai, ada burung elektronik yang bisa berkicau. "Itu ia bikin waktu di SMP," ujar ibunya, dokter spesialis penyakit dalam lulusan UI. Dengan dua anak itu, Pak Seno nampak bahaga. Apalagi, katanya, kegemarannya akan wayang selalu memberikan inspirasi baru yang bagi orang lain barangkali aneh. Sekarang ini, jika anaknya (Seno Gumira) banyak menulis cerita wayang di Zaman, Pak Seno menyusun suatu analisa cerita wayang purwa dalam bahasa Inggris, berjudul: "General System Theory as a key to Understanding Wayang Purwo". Ini dikerjakan di tengah-tengah pengamatan yang tak henti-hentinya tentang tenaga matahari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus