DENGAN mengenakan baju bengkel berwarna biru tua, setiap pukul 7
pagi laki-laki berusia 62 tahun itu mengemudikan mobil jip
menuju tempat kerjanya Di bengkelnya, dua ruangan masingmasmg
berukuran 4 x 4 meter yang lazim dikenal sebagai Pusat
Penelitian Penerapan Tenaga Matahari (P3TM) UGM, sudah menunggu
26 orang pekerja. Pijaran api sudah terlihat di sana-sini di
pagi itu. Beberapa pekerja sedang menggergaji lempengan baja -
menimbulkan suara bising.
Laki-laki beruban itu tak langsung duduk di kursinya. Ia
memeriksa pekerjaan pembantu-pembantunya. Berkali-kali ia
mengajukan pertanyaan dan berkali-kali pula ia terlihat
mengangguk-angguk. "Kami sedang membuat alat kontrol pemanas
dari tenaga matahari," kata salah seorang pekerja, Sugiman.
"Sebab kalau panas matahari tidak dikendalikan, ia tak akan
menghasilkan apa-apa buat manusia," tambah lakilaki beruban itu
kepada seorang tamu yang rupanya sedang melihat-lihat suasana
bengkel itu.
Dr. Mohammad Setia Aji Sastroamidjojo, laki-laki itu, lewat
bengkelnya masih tetap melanjutkan keasyikannya membuat
alat-alat yang berkaitan dengan sinar matahari. Sejak 1952 ia
sudah memperkenalkan cermin parabolis, suatu alat yang dapat
memfokuskan sinar sury,a ke satu titik sehingga mampu memanaskan
alat penggoreng kerupuk. Kemudian ia memperkenalkan satu sistem
memanaskan air dengan sinar matahari. Sistem ini sampai sekarang
dipakai beberapa hotel di Malang.
Lebih penting dari itu agaknya adalah alat pengering gabah dan
tembakau yang sudah dipakai di beberapa perkebunan tembakau di
Surakarta dan Jember. Pak Seno, begitu ia dipanggil sehari-hari,
menemukan pengering dengan sinar matahari ini tahun lalu.
Pemakaian sinar matahari juga sudah memasuki rumah dinas Pak
Seno di kompleks perumahan dosen UGM di Bulak Sumur, Yogya.
Rumah model Eropa itu sudah menggunakan tenaga matahari untuk
memanaskan air. "Tapi itu hanya untuk mandi saja," komentar
istrinya, dr. Pustika yang sejak 1963 bekerja di RSUP Sardjito.
Ventilasi kamar tidur rumah itu juga diubah pada bagian atap,
sehingga sinar matahari yang masuk bisa "dijinakkan". Ruangan
jadi sejuk. Sayang, keluarga Pak Seno tak bisa mengubah rumah
lebih banyak untuk mempraktekkan hasil kerjanya, karena rumah
dinas. "Kalau pun mau diubah, perlu banyak duit," lanjut
istrinya.
Cita-cita Pak Seno tentang. rumah, adalah yang ia namakan "Wisma
Surya". Ide ini muncul ketika ia melihat rumah manis mungil di
suatu daerah di Filipina, dua tahun lalu. "Wah, kita ketinggalan
lagi dari Filipina," gumam Pak Seno. Setibanya di tanah air,
gagasan itu ia terapkan.
Wisma Surya, bentuk fisiknya tak jauh dengan rumah penduduk
pedesaan. Atapnya berbentuk joglo, karena dapat memberikan efek
udara mudah berganti. Jendelanya dibentuk dengan ventuty,
seperti jendela pesawat jet. Ventilasi memakai sistem passive
cooling (pendingin pasif) yang sematamata mengandalkan angin.
Dengan begitu rumah tetap dingin, meski tanpa alat pendingin
(AC).
Pak Seno, pimpinan Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari
(P3TM) UGM itu, dalam merencanakan gagasan Wisma Surya ini
memasang suatu alat yang mirip kotak AC di jendela. Udara sejuk
akan disalurkan ke kotak itu untuk langsung berhembus ke ruang
dalam. Memperhatikan kebiasaan arah angin, merupakan hal penting
sebagai pedoman.
Rencana pembangunan Wisma Surya ini pernah disodorkan ke menteri
PU waktu itu, Purnomosidi, untuk dijadikan model perumahan sehat
di Indonesia. Sampai sekarang, kata Pak Seno, belum ada jawaban.
A!hasil, gagasan itu baru di atas kertas, karena untuk
mewujudkannya, "dari kantung sendiri jelas tak mungkin," ungkap
Pak Seno.
Pengagum pelukis Leonardo da Vinci dan penggemar cerita wayang
sejak kecil ini, mengeluh bahwa biaya riset dan penelitian di
universitas sangat kecil. "Dan jika pun ada, prosedurnya payah,"
kata doktor ilmu fisika dan zat padat lulusan Australian
National University (1974) ini.
Selama menekuni penerapan tenaga matahari, Pak Seno lebih banyak
dibantu Lapan (Lembaga Penelitian Antariksa Nasional). Dari
lembaga ini Pak seno memperoleh Rp 100.000 sebulan. Uang itulah
yang menghidupi bengkel P3TM UGM. "Tentu saja uang dari Lapan
itu tidak cukup untuk menggaji pegawai bengkel yang rata-rata Rp
25.000 per bulan. Ada sumber uang lain namun Pak Seno tak
bersedia menyebutkan.
Di bengkel inilah dikerjakan hasil karya Pak Seno, baik yang
sudah dikenal masyarakat seperti alat pengering gabah tadi
maupun percobaan yang sedang dilakukan.
"Kerja dengan Pak Seno, saya tak pernah mempersoalkan gaji,"
kata Sugiman, karyawan bengkel yang lulus STM tahun 1969. Selama
7 tahun bekerja di sana, ia merasa sangat banyak menimba
pengetahuan. "Kalau saya kuliah di fakultas teknik, berapa juta
yang harus saya bayar. Bekerja di sini dapat pengetahuan dengan
cuma-cuma, siapa tahu saya dapat mewarisi ilmu Pak Seno,"
sambungnya dengan bangga.
Semua pekerja bengkel itu membenarkan Pak Seno dengan senang
hati membagi ilmunya. Pekerja yang ulet dan peneliti yang tak
kenal menyerah ini juga dipuji staf UGM yang lain. "Ia seorang
ilmuwan yang terampil dan punya kemauan sangat keras," berkata
Prof. Ir. Johannes, jahabat kental Pak Seno sejak 1945. "Kalau
drang lain baru bicara soal teori, ia (Pak Seno) sudah
menerapkan," lanjut Prof. Johannes.
Kerja keras Pak Seno diperoleh dari pendidikan yang tak kalah
kerasnya di masa kecil. Ayahnya, (almarhum) Ahmad Seno
Sastroamidjojo, seorang dokter Stovia, tak pernah memanjakan
Seno kecil. "Saya tak pernah dibelikan mainan jadi dari toko,
saya malah diberi alat-alat pertukangan," kenang laki-laki
kelahiran Selat Panjang (Riau) itu tentang masa kecilnya. Ketika
duduk di bangku sekolah Europese Lagere School (setingkat SD
sekarang) di Belitung, ia sudah dibimbing ayahnya membongkar
alat-alat teknik. Ketika duduk di sekolah Carpentier Alting
Stichting (setingkat SLA sekarang) di Jakarta, bersama ayahnya
ia terlibat dalam percobaan membikin alat-alat peledak.
Barangkali karena itulah, keterampilan Pak Seno diuji di tahun
1945, untuk membuat geranat tangan. Saat itu, Pak Seno sudah
menjabat asisten bagian fisika Ika Daigaku, Jakarta (kini Fak.
Kedokteran UI). Di bengkel Ika Daigaku, selain geranat Pak Seno
juga membuat berbagai senjata dan mesiu untuk para pejuang.
"Tahun 1945 itu, ia pula yang mengorganisasikan pengangkutan
berpuluh-puluh gerbong senjata dan mesiu dari Gunung Susuruh
(Bandung) ke Yogyakarta," kata Prof. Johannes yang waktu itu
sudah berkawan dengan Pak Seno.
Dosen Fakultas Ilmu Pasti & Alam UGM yang berambut gondrong ini,
kini mengalihkan perjuangannya untuk "menaklukkan matahari",
seperti yang sering ia ucapkan.
Ternyata, Pak Seno, yang nama intimnya ini berasal dan nama
almarhum ayahnya ("sebagai penghormatan atas jasa beliau,"
katanya) juga gemar kesusastraan. Masa remajanya (1940)
berpuluh-puluh puisi ia buat dan dipublikasikan dalam Majalah
Kita. Puisi karyanya itu masih tersimpan rapi. "Ah, saya malu
membukanya, kaidah dengan puisi anak saya," katanya dengan
senyum.
Putra tertuanya adalah Seno Gumira Aji Dharma, penulis yang
sering mempublikasikan karyanya di Kompas, Zaman dan Horison.
Seno Gumira Aji Dharma, 24 tahun, pernah kuliah di LPKJ konon
berkat Pak Seno akhirnya mencantumkan nama asli di setiap
karyanya. Dulu ia dikenal dengan nama samaran Mira Sato.
Adiknya, Sugati Aji Putranto masih duduk di SMAN III Yogyakarta.
Sugati agaknya mewarisi bakat Pak Seno sebagai peneliti,
sekaligus pencipta. Di ruang belajarnya berserakan hasil
prakarya. Ada kapal dari aluminium yang bisa terbang dengan
baterai, ada burung elektronik yang bisa berkicau. "Itu ia bikin
waktu di SMP," ujar ibunya, dokter spesialis penyakit dalam
lulusan UI.
Dengan dua anak itu, Pak Seno nampak bahaga. Apalagi, katanya,
kegemarannya akan wayang selalu memberikan inspirasi baru yang
bagi orang lain barangkali aneh. Sekarang ini, jika anaknya
(Seno Gumira) banyak menulis cerita wayang di Zaman, Pak Seno
menyusun suatu analisa cerita wayang purwa dalam bahasa Inggris,
berjudul: "General System Theory as a key to Understanding
Wayang Purwo". Ini dikerjakan di tengah-tengah pengamatan yang
tak henti-hentinya tentang tenaga matahari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini