DITINGKAHI oleh demonstrasi mahasiswa dan ledakan bom, Asian Games X di Seoul, Korea Selatan, dimulai Sabtu pekan ini. Tapi bagi Indonesia kurang nyamannya pesta olah raga ini sudah terasa beberapa hari sebelumnya. Yaitu, setelah Kamis pekan lalu, komite oranisasi Asian Games melarang 3 pesenam putri Indonesia ikut bertanding memperebutkan medali di arena kejuaraan resmi Asia ini. Pesenam itu adalah Esther Natalia Christianti, Eva Novalina Butar-butar, dan Hesty Dewayanti, yang rata-rata masih berumur 13. Mereka, bersama 8 pesenam lainnya dari Hong Kong, India, dan Kuwait, ternyata masih tergolong anak-anak di bawah umur. Sementara itu, persatuan senam Asia sudah menetapkan hanya pesenam berumur 15 tahun ke atas yang diperkenankan mengikuti pertandingan internasional itu. Untung saja, tiga pesenam putri lainnya masih bisa bertanding karena sudah memenuhi syarat umur itu. Sehingga Indonesia masih punya wakil di cabang ini. Sebetulnya, KONI sudah tahu ketentuan batas usia itu sebelumnya, tapi tak menduga, panitia akan bertindak tegas. Sebab, pada Asian Games IX di New Delhi, empat tahun yang lalu, panitia pelaksana meloloskan pesenam-pesenam di bawah umur, sehingga pesenam seperti Woro Endang Werdiningsih, yang ketika itu masih berumur 12 tahun, bisa turun ke arena pertandingan. Dengan alasan untuk menimba pengalaman yang kelak dimanfaatkan untuk menghadapi SEA Games 1987 di Jakarta, Indonesia mengirimkan kontingen besar dengan 310 anggota ke Seoul. Inilah jumlah kontingen terbesar yang pernah dikirimkan untuk mengikuti Asian Games di luar negeri. Dan biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 2 milyar. Tapi harap diingat sekarang ini prestasi olah raga Indonesia sedang payah. Untuk tingkat Asia Tenggara saja, Indonesia dipecundangi Muangthai di SEA Games Bangkok, tahun lalu, sesuatu yang sebelumnya tak pernah terjadi. Maka, penghasil medali untuk kontingen besar ini, tampaknya, masih tetap cabang-cabang yang dulu juga, bulu tangkis dan tenis. Itu pun masih dihinggapi rasa harap-harap cemas, melihat kuatnya saingan RRC (bulu tangkis) dan Korea Sclatan (tenis). Cabang lain, kalau ada nasib baik, yang mungkin mendatangkan medali adalah atletik melalui pelari jarak pendek Purnomo, dan tinju melalui petinju kelas bulu dari Manado, Adrianus Taroreh, atau dari tim layar dan anggar. Padahal, Indonesia ngikuti (hampir semua) 22 cabang olah raga yang dipertandingkan, kecuali bola basket, bola tangan, dan hoki. Di berbagai cabang olah raga yang diikuti itu, Indonesia tampaknya mengirimkan atlet untuk sekadar membuat ramai pesta di Seoul itu. Misalnya, sepak bola. Bisa saja nanti lolos dari pertarungan di dalam pool dengan lawan seperti Arab Saudi, Qatar, dan Malaysia, sudah merupakan suatu hasl yang besar bagi PSSI. Yang lebih menarik adalah tim bola voli. Prestasi tim ini belakangan melorot, dan gagal meraih medali emas di SEA Games Bangkok yang lalu. Oleh karena itu, KONI mengeluarkannya dari daftar kontingen yang akan berangkat ke Seoul. Untunglah, di dalam susunan pengurus cabang olah raga ini ada Tantyo A.P. Sudharmono. Ketua Bidang Pembinaan PBVSI, yang kebetulan adalah putra bungsu Mensesneg Sudharmono, itu berhasil melobi pengurus KONI sehingga menjelang keberangkatan kontingen ke Seoul, 7 September yang lalu, KONI mengubah keputusan sebelumnya, dan cabang voli boleh ikut ke Seoul. Kepada TEMPO, Tantyo mengungkapkan bahwa voli dicoret dari daftar kontingen sebelumnya, karena tidak adanya komunikasi antara PB PBVSI dan KONI. "Buktinya, setelah saya datang menjelaskan kepada KONI, mereka setuju voli ke Seoul," kata Tantyo, 29, yang menjadi pengurus PB PBVSI seiak awal tahun ini. Sekalipun mereka ikut ke Seoul, menurut Direktur Utama PT Asuransi Timur Jauh itu, KONI tak membabani target apa pun. Sebab memang mereka turut Seoul hanya mencari pengalaman bertanding. "Target kami ialah juara di SEA Games Jakarta tahun depan," katanya. Kebetulan tim bola voli ini memang mayoritas pemainnya berusia muda, dengan umur rata-rata 24 tahun. Malah 4 di antara pemain diambil dari tim nasional yunior. Karena itu, menurut Tantyo, mereka harus banyak diberi pengalaman bertanding dengan tim-tim yang baik. Kesempatan ini dilihatnya ada di arena Asian Games Seoul "Kalau kita mengadakan uji coba dengan mengunjungi negara kuat seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan biayanya akan lebih mahal dibandingkan mengirim tim ke Seoul ini," katanya. Selain itu, belum tentu bisa bertemu dengan tim nasional negeri yang dikunjungi. "Sedangkan di Asian Games ini, sudah pasti semua negara mengirimkan tim nasionalnya," kata Tantyo. Dengan alasan itulah, menurut Tantyo, mereka akan pergi ke Seoul dengan biaya sendiri, bila KONI tak mampu memberikan dana. Ternyata, KONI memberi mereka biaya Rp 30 juta. Jumlah itu memang tak mencukupi. Untuk biaya rombongan bola voli yang berjumlah 35 orang -- terdiri dari 24 pemain putra dan putri, 6 pelatih, 2 wasit, dan 3 ofisial dibutuhkan Rp 80 juta. Tapi menurut Tantyo hal itu bisa diatasi, karena adanya dana dari PB PBVSI sebesar Rp 15 juta, dan kekurangannya diperoleh Tantyo dari sumbangan para simpatisan olah raga itu. Malah di Seoul, tim bola voli itu sudah mendapat kemudahan untuk mencari lawan berlatih, sebelum Asian Games dimulai, berkat bantuan Miwon, perusahaan bumbu masak modal Korea Selatan yang beroperasi di Indonesia. Sekjen KONI, Mohamad Sarengat membenarkan bahwa mencari pengalaman bertanding di arena seperti Asian Games memang lebih menghemat biaya dan waktu. Tapi, sebenarnya, menurut bekas atlet terkemuka Indonesia itu, KONI juga ingin alasan prestasi sebagai pertimbangan nomor satu dalam mengirim tim ke Seoul. "Tapi dalam hal ini KONI tidak bisa tegas mengambil keputusan, karena hidup KONI sendiri masih bergantung kepada orang lain," katanya. Amran Nasution, Laporan Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini