HAMPIR setengah menit berjuang dengan susah payah, akhirnya Sudarno berhasil mengeja namanya sendiri. Padahal, ia telah duduk di kelas IV SD. Pekan lalu, bersama lima murid kelas IV lainnya dari SD Negeri Jatikesuma, mereka mengikuti tes membaca yang diadakan oleh Tim Kanwil P dan K, Sumatera Utara. Itulah awal mulanya diketahui dengan pasti, sejumlah murid SD Jatikesuma, Kecamatan Namurambe, Kabupaten Deli Serdang -- 19 km dari Medan -- masih harus mengeja satu persatu dalam membaca. Adalah sejumlah orangtua murid di desa itu yang mengeluh setelah melihat kemampuan anak-anaknya. "Murid apa itu membaca saja seperti anak kelas satu," kata Sugiran, ayah Sudarno, dengan geram. Berita ini tercium oleh wartawan, dan muncullah berita murid tak pandai membaca, di koran Jakarta dan Medan. L. Sembiring, Kepala SD Jatikesuma tersebut, yang sudah tiga tahun bertugas di situ, membenarkan bahwa ada di antara murid-murid kelas IV-nya yang belum pandai membaca. "Tapi pada pelajaran lain mereka pandai, jadi terpaksa kami naikkan ke kelas IV," katanya, "Sudah kami musyawarahkan dengan guru kelas bila ada waktu kosong, mereka diajari membaca. Itulah toleransi kami sebagai pendidik." Sudarno sendiri, salah seorang yang belum bisa membaca, mengakui merasa sulit menyerap pelajaran membaca. "Saya hanya hafal huruf-huruf. Entah di mana salahnya. Tapi kalau pelajaran berhitung mudah dimengerti," tutur murid yang sehari-hari suka menggembala sapi itu. Ia mengakui untuk menyatukan huruf dengan cepat amat sulit. Dan ini kadang-kadang membuat Sudarno jadi bahan ejekan teman-temannya. "Ia sering kali minta dikeluarkan dari sekolah karena sering diolok-olok temannya. Ia pun sering dihukum berdiri di depan kelas," kata Sugiran, ayahnya. Ia menduga guru-guru di sekolah itu belum berpengalaman sehingga tak mampu menggerakkan minat murid untuk belajar. Atau, kata Sugiran, guru sering absen dengan alasan melahirkan, sakit, hujan. Maklum, semua guru di sekolah itu wanita, kecuali kepala sekolahnya. "Rumah guru-guru itu jauh. Tak heran kalau mereka sering terlambat atau sering pula cepat pulang," ujar seorang penduduk. Padahal, untuk guru-guru dan kepala sekolah, sudah tersedia rumah pondokan yang dekat dengan sekolah. Yang aneh, tim Kanwil hanya mengetes murid kelas IV yang berjumlah 34 anak, karena kelas inilah yang menjadi berita. Ini membuat Mudun Sitepu dari Dinas P & K Kecamatan Namurambe, salah seorang anggota tim, tak melihat masalah ini sebagai gawat. "Yang tak lancar membaca 'kan hanya enam dari 34. Itu biasa dalam dunia pendidikan," katanya kepada Amir S. Torong dari TEMPO. Menurut Madun, 40, yang bekas guru itu, murid yang belum bisa membaca harus diberi pelajaran tambahan. Mengherankan bahwa tak ada kecurigaan, jangan-jangan di kelas yang lebih tinggi ada pula yang masih mengeja dalam membaca. Dan, ternyata, memang ada. Wartawan TEMPO menemukan Said, bapak Suryani yang buru-buru mengetes membaca anaknya, setelah membaca berita tentang sekolah anaknya. Langsung ayah empat anak itu menyuruh Suryani, 11, membaca, begitu pulang dari sekolah. Sama dengan Sudarno, anak sulung Said yang telah duduk di kelas V itu membaca dengan terbata-bata. Gadis berkulit hitam manis itu, agaknya, tak punya cukup waktu untuk belajar. "Pulang dari sekolah saya terus menggendong adik, karena Ibu ke ladang. Kalau ada waktu saya sudah terlalu capek," tuturnya. Ia juga mengaku selalu mendapat nilai rendah pada mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi, dan PMP. Yang lebih parah adalah Sudarno, 12 kelas VI (ini bukan Sudarno yang kelas IV), yang selalu naik kelas. Menurut Sumirah, ibunya, anak itu kalau membaca masih seperti murid kelas dua. "Saya tak mampu mengajarnya, dan ayahnya sudah meninggal," tutur ibu itu. "Saya terima saja apa yang diajarkan gurunya. Bisa sekolah saja sudah syukur." Agaknya, kurangnya perhatian orangtua murid selama ini, sementara para guru SD Jatikesuma seolah menganggap ringan persoalannya, masalah membaca ini terpendam. Mungkin bisa ramai, seumpama sekitar 200 murid kelas I sampai VI SD tersebut semuanya dites membaca menurut kemampuan yang seharusnya mereka miliki. Siapa tahu jumlahnya mengejutkan. Bisa jadi pula, sebuah SD yang lain di Desa Jatikesuma (di desa ini hanya ada dua SD), ternyata hanya karena belum ada yang mencoba tahu kemampuan membaca murid-muridnya, maka tak diributkan. Sudarno, yang kelas VI, anak ketiga dari lima bersaudara itu, kini merasa waswas tak lulus ebtanas. Ia malah berharap soal ujian agar diisi dengan cara melingkari, atau yang disebut tes pilihan ganda itu. "Tapi kalau disuruh mengarang ... wah sulit sekali." Yulia S. Madjid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini