INDIVIDUALISME? Persaingan bebas? Tidak boleh. Adapun orang yang berpendirian begitu bukanlah seorang penatar P-4, melainkan seorang yang paling dibenci di Amerika Serikat 100 tahun yang lalu: Rockefeller. Rockefeller dibenci mungkin karena dua hal. Pertama, karena ia tidak banyak omong. Kedua, karena dia -- tanpa banyak omong dikenal serakah. John D. Rockefeller dibentuk oleh sebuah masa kecil yang tak lumrah. Sang ayah jadi "dokter" palsu yang menjual obat paten. Ia juga suka menipu anak-anaknya, agar mereka "jadi cerdik", katanya. Tak heran bila Rockefeller muda, yang dididik keras oleh ibunya (kadang diikat ke tiang dan dipukuli), akhirnya lebih suka menenggelamkan diri dalam kerja. Anak yang pintar berhitung ini jadi pemegang buku. Di depan buku itu ia bisa berdiri sendiri, mengatur dan menguasai angka-angka, dalam ketekunan, dalam rahasia. Salah satu hasil hitungannya ialah perdagangan minyak. Dalam usia 26 tahun, sebermula sebagai pemegang buku di Cleveland, Rockefeller cepat mengetahui: satu-satunya jalan untuk menguasai industri minyak yang ketika itu baru meloncer adalah dengan memegang kunci penyulingan dan distribusi. Ia bergabung dengan dua orang Inggris, Clark bersaudara, dan mendirikan usaha penyulingan. Kedua orang ini santai, John sebaliknya waspada, dengan matanya yang kecil di atas wajahnya yang memanjang bagai topeng. Segera Rockefeller berhasil menggusur partnernya. Dengan itu ia bergerak. Perusahaan ini ia kembangkan dengan berani. Ia pinjam uang ke sana dan kemari. Ia memasukkan partner-partner baru. Salah satu mitra usahanya Henry Flagler, membantunya mengadakan kontak khusus dengan perusahaan kereta api. Para pemilik usaha transportasi ini dapat dibujuk agar memberi rabat rahasia untuk ongkos distribusi minyak Rockefeller. Dengan segera para pesaing pada rontok, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya menghantam mereka. Dalam posisi di atas itu, Rockefeller mulai membeli perusahaan para kompetitor yang sudah boyak, satu demi satu. Di tahun 1883, ia membentuk Standard Oil Trust dalam skala yang menjangkau seluruh benua. Pemusatan modal pun berhasil, monopoli menang, pesaing praktis hilang dan Rockefeller memaklumkan, "Individualisme telah pergi, tak akan kembali." Individualisme, yang dicerminkan oleh para pengusaha minyak yang mencoba tegak sendiri-sendiri, memang tampaknya ditakdirkan kalah di hari itu. Semua terpaksa bergabung dengan yang besar. Yang berlaku adalah "kombinasi". Kompetisi bebas tak mungkin. Rockefeller, duduk membisu tapi aktif di kantor besarnya di Jalan Broadway 26 di Kota New York, berhasil membikin, seraya menyuap ke sana kemari, Standard Oil jadi kerajaan minyak yang integrated seperti umumnya perusahaan minyak kini. Orang Amerika biasa kagum kepada orang yang sukses dan kaya dari nol, tapi orang Amerika -- seperti orang di mana pun -- juga punya rasa cemburu dan rasa keadilan. Kelebihan orang Amerika hanyalah bahwa mereka punya cerita koboi. Di dalam cerita koboi, seorang penunggang kuda yang sendirian -- dengan tubuh liat dan hati berani -- selalu digambarkan sebagai sang hero. Dia tidak tergabung dalam organisasi, tidak berada dalam "kombinasi". Dia individualis tulen, tapi dengan sikap yang terang tentang mana yang harus dibela dan mana yang tidak. Seperti dalam film klasik Shane yang dibela ialah yang terinjak, petani atau borjuis kecil lain. Yang jahat, seperti juga dalam film Heaven's Gace, ialah gabungan bisnis besar, para peternak. Tapi mitos Shane hanyalah satu hal. Di tengah kekuasaan Rockefeller yang menjulang, ternyata, Amerika tak sepenuhnya bisa ia kuasai. Di sana pers bebas, tidak ditelepon dan tidak disuap. Sejak tulisan Henry Demarest Lloyd di majalah terkemuka Atlantic Monthly di tahun 1881, pendapat umum mulai menuding ke kantor di Broadway 26. Perlahan-lahan, serangan kian gencar. Para senator yang dipilih rakyat tergerak, dan undang-undang untuk mencegah monopoli dikeluarkan. Mei 1911, Ketua Mahkamah Agung membacakan keputusannya yang bersejarah. Di antara 20.000 kata yang termaktub di sana, disebutkanlah bagaimana "kepiawaian untuk mengembangkan perdagangan dan organisasi" telah membentuk sebuah monopoli, hingga "mengusir orang-orang lain dari bidang itu dan menyisihkan mereka dari hak untuk berdagang." Kali ini Rockefeller kalah. Amerika kembali menginginkan persaingan bebas -- sebab liberalisme hanya berarti liberalisme jika kompetisi yang terbuka bisa hidup. Tapi di negeri lain, sistem Amerika itu tetap dikecam. Mungkin kecaman itu tak selamanya salah. Kecuali kalau alternatif dari sistem itu hanya melahirkan ketakutan akan bersaing -- dan akhirnya menjaga monopoli dengan kekuasaan, seperti yang dilakukan para mafia di mana saja. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini