LIUS PONGOH, 24, membuat sensasi besar. Setelah dua tahun absen karena cedera punggungnya yang tak bisa disembuhkan ahli dari mana pun, ternyata 22 Juli malam, dia tampil sebagai juara Indonesia Terbuka di Senayan. Sepekan sebelumnya dia ambil bagian dalam Malaysia Terbuka di Ipoh, tapi kandas di tangan Prakash Padukone di perdelapan final. Dia buru-buru pulang ke Jakarta. "Saya khawatir kesehatan Mama," tuturnya. Konsentrasinya rupanya terganggu karena ibunya, 50 tahun, yang menderita kanker pankreas sudah hampir sebulan terbaring di RS Cipto Mangunkusumo. Tapi ketika Lius muncul dalam Kejuaraan Indonesia Terbuka, justru keadaan ibunya yang sedang bergelut dengan penyakit tadi telah membangkitkan semangat anak tertua dari empat bersaudara itu untuk menang. "Saya ingin memberikan yang terbaik untuk Mama," katanya. Perjalanan Lius selama kejuaraan di Senayan itu adalah perjalanan sentimental. Ketika berhasil menumbangkan juara All England tiga kali, Liem Swie King, dan menggasak juara All England 1984, Morten Frost Hansen, dia menitikkan air mata. Begitu juga ketika berhasil mematahkan perlawanan bintang Piala Thomas, Hastomo Arbi, di final, dia juga tampak menahan emosi dan air matanya dengan mendekapkan kedua tangannya ke mukanya. Tapi dia ternyata menangis bukan karena rasa haru lantaran sudah lama tak pernah menang. "Saya menangis karena ingat Mama, bukan karena saya menang," kata pemain yang bertubuh tegap dengan wajah kekanak-kanakan itu. Tak heran, begitu selesai penyerahan hadiah kepada pemenang, Lius langsung berangkat ke rumah sakit. "Saya berusaha untuk menyenangkan Mama. Ingin mempersembahkan sesuatu kepadanya," ucap Lius, yang di kalangan temannya dikenal periang tapi berkemauan keras itu. Ketika kabar kemenangan itu dibisikkan Lius ke telinga ibunya, orangtua itu hanya bisa mengedipkan mata tanda sukacita yang hebat. Kemenangan Lius yang membawa hadiah Rp 4 juta itu sedikit banyak akan meringankan beban yang harus dipikul keluarga Darius Pongoh selama ibu Lius mendekam di rumah sakit. Lius memulai kariernya sejak berusia lima tahun. Berlatih spartan di bawah pengawasan ayahnya, Darius Pongoh, yang sekarang menjadi pelatih PB Lima Enam, milik Otto Malik. Darius memotongkan gagang raket supaya pas untuk anaknya yang bercita-cita menjadi juara bulu tangkis itu. Orangtua ini juga yang mengawasi anaknya mulai berlatih lari dari tiang listrik ke tiang yang lain, sampai punya daya tahan lari pulang balik Pasar Minggu-Manggarai sejauh lebih kurang 15 km. Pada usia delapan tahun dia menjadi juara III anak-anak se-Jakarta. Ketika berusia 20 tahun dia mengejutkan dunia dengan kemenangannya atas Prakash Padukone dan Morten Frost Hansen. Dia juara India Terbuka 1982. Sedangkan dalam Indonesia Terbuka tahun itu juga mengalahkan Liem Swie King. Tapi di final dia kalah melalui pertarungan dengan Icuk Sugiarto, yang digambarkan majalah World Badminton sebagai salah satu partai yang keras dan cepat dalam sejarah bulu tangkis modern. Tahun itu juga dia terpilih memperkuat tim Piala Thomas bersama King dan Rudy Hartono. Kemauan Lius boleh dikatakan luar biasa. Punggungnya mulai terganggu rasa nyeri ketika dia masuk pelatnas tahun 1979. Penyakit itu sering kumat secara mendadak. Ketika memperkuat Piala Thomas di London, pada set kedua baru menyerang. Merasa tak mungkin berprestasi, dia pernah mau membunuh diri dengan minum racun serangga, Oktober 1982. Untung, masih tertolong di RS Cipto Mangunkusumo. Untuk mengatasi gangguan di punggung itu, Lius sudah pergi kemana-mana. Termasuk ke sebuah rumah sakit di Jerman, tempat banyak pemain bola ternama Jerman Barat yang cedera tertolong. Dokter di rumah sakit itu menyatakan penyakit Lius itu di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya. Ia kembali ke Jakarta dengan perasaan kosong, meskipun tidak sampai putus asa. Untuk sementara, dia melupakan bulu tangkis, dunia yang dia cintai begitu dia bisa berdiri dan lari. Tekadnya hanya satu, bagaimana menyembuhkan penyakitnya itu. Mulailah Lius bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain. Dokter ahli, dukun pijat, dan sinse dia datangi. "Semua sudah saya coba. Mulai dari pijat patah ala Cimande sampai tusuk jarum dari seorang tabib," cerita Lius. Akhirnya November 1983 dia berjumpa dengan Romo Loogman, yang bertempat tinggal di Purworejo, Jawa Tengah. "Dua kali saya berkunjung ke sana dan diberi obat gosok yang baunya sangat menusuk, serta beberapa ramuan jamu," kata Lius. Obat gosok dan jamu tadi, menurut Lius, ditemukan menurut petunjuk magnetis. Dan Loogman memang terkenal sebagai salah satu tokoh pengobatan paranormal. Berkat tangan Romo dari Purworeio itu kini Lius sudah merasa bebas dari serangan misterius yang menimpa punggungnya itu. Baik ketika melawan Kmg maupun Hastomo, Lius tidak kelihatan berhati-hati terhadap punggungnya. Dia sempat terlihat pontang-panting mengembalikan smash-smash yang dilancarkan Hastomo, sampai sikunya terkelupas. Dia juga berani mengajak rally, yang membuat pencintanya menarik napas, takut kalau-kalau Lius patah pinggang. Latihannya menghadapi Malaysia Terbuka dan Indonesia Terbuka tak ada yang spesial. "Latihan fisik paling-paling lari pagi. Itu pun jarang sekali. Sedangkan latihan teknik saya lakukan sepulang dari kantor," katanya mengenang. Sementara itu, gelanggang latihannya hanya nebeng dengan pemain-pemain yang digodok di pelatnas. Dan pemain yang tidak masuk hitungan sehingga tak terpilih masuk pelatnas, Lius Pongoh menunjukkan dirinyalah yang teratas. "Ini adalah pelajaran yang baik bagi pemain yang bergabung dalam pelatnas," kata Rudy Hartono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini