Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Riung Gunung Punya Sengketa

Bekas tempat peristirahatan bung Karno di puncak dipersengketakan antara Sudiman Tjipta dengan Agoes. (hk)

28 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIUNG Gunung Coffee House, tempat yang dulu dikenal sebagai peristirahatan Bung Karno di Puncak, Bogor, kini dalam sengketa yang ruwet. Baik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun Pengadilan Tinggi Jakarta, yang mengadili kasus itu, belum berhasil menyelesaikan perselisihan pihak yang mempersengketakan tempat peristlrahatan itu. Sengketa yang rumit itu bermula dari kejadian 12 tahun lalu. Seorang pejabat Sekretariat Negara yang bertugas sebagai kepala rumah tangga Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Agoes Soedarta, 56, mendapat fasilitas dari Menteri Pertanian berupa hak membeli gedung milik BPU-PPN Aneka Taman, Riung Gunung Coffee House, dengan harga Rp 30 juta. Untuk itu, Agoes diwajibkan melunasi pembayaran selambat-lambatnya tiga bulan setelah keputusan menteri yang bertanggal 24 Juli 1982. Selain itu, Agoes juga harus membentuk badan hukum. Langkah pertama yang dilakukan Agoes adalah membentuk PT Nawa Etu, dengan ia sendiri sebagai presiden direktur. Dalam susunan direksi terdapat nama Wayan Muller Amaya, yang belakangan menjadi kunci utama sengketa ini. Untuk menjual gedung itu dalam tempo singkat, Agoes menandatangani kontrak kerja sama dengan Sudiman Tjipta alias Tan Chin Mien. Dalam kontrak yang ditandatangani di depan notaris itu, Sudiman menyetor Rp 10 juta, dan dijanjikan keuntungan penjualan gedung itu akan dibagi sama rata. Ternyata, sampai hari yang ditentukan Menteri Pertanian, 24 Oktober 1972, gedung itu belum terjual. Sebab itu, Agoes meminta perpanjangan, dan dikabulkan sampai 24 Maret 1973. Untuk mendapatkan penangguhan itu, menurut Agoes, ia berkorban Rp 2 juta. Barulah pada 29 Maret 1973 jual beli antara pemerintah dan Agoes bisa terwujud. Menurut Sudiman, untuk pembayaran harga gedung berikut tanahnya oleh Agoes, ia mengeluarkan uang Rp 30 juta lebih, sehingga pengeluarannya menjadi Rp 42 juta lebih. Sebagai imbalannya, pada hari itu juga, Agoes dan Sudiman membuat perjanjian di depan notaris: Sudiman ditunjuk sebagai pembeli gedung itu. Keruwetan mulai terjadi. Sudiman menganggap dirinya sebagai pemilik sah gedung itu, sedangkan Agoes menilai perjanjian itu baru berupa penunjukan, belum pemilikan. Berdasarkan perjanjian itu, tuduh Agoes, Sudiman ternyata menjaminkan gedung itu ke BNI 46 Cabang Blora dan kemudian ke Bank Danamon. "Perbuatan itu mendatangkan keuntungan tidak sedikit bagi Sudiman," kata Agoes di pengadilan. AGOES juga merasa kecewa, karena SuI diman tidak kunjung mencarikan pembeli. Sebab itu, dalam rapat-direksi Nawa Etu, Agoes secara lisan menunjuk anggota direksinya, Wayan Muller, untuk mencari pembeli. Penunjukan itu kemudian dikuatkan dengan surat kuasa di depan Notaris Suyatiman Tjokrosuwarno (tergugat IX) tertanggal 31 Desember 1979. Berdasarkan surat kuasa itu, Wayan Muller menjual coffee house itu kepada Raden Mas Tripomo (tergugat ke IV), seharga Rp 75 juta. Menurut Penggugat Sudiman, perbuatan Tergugat II Agoes dan Tergugat III Wayan Muller itu melawan hukum. Tapi, sebaliknya, Agoes merasa tertipu oleh Wayan Muller: ia tidak tahu-menahu pembuatan surat kuasa melalui notaris itu, juga tentang jual beli dengan R.M. Tripomo. Menurut Agoes, Wayan Muller berhasil menjual gedung itu setelah berbagai surat-surat di palsukannya, berikut kunci-kunci bangunan itu. Sudiman melaporkan Wayan ke kejaksaan dan kepolisian di Bogor sekitar 1980-1982. Gedung sengketa itu ternyata berpindahpindah tangan. Tripomo, menurut gugatan Sudiman, kemudian mengoperkannya kepada Ama Al Djufrie, pemilik Hotel Sriwijaya. Ama, tuduh Sudiman, kemudian menjual lagi gedung itu kepada Ade Hasan, Ali Achmad, dan Hasyim Hay Mussry. Ketiga orang itulah kini yang menguasai gedung itu. Persoalan semakin runyam karena Agraria Bogor mengeluarkan sertifikat hak pakai atas tanah itu untuk mereka. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengaili kasus itu, 23 Agustus 1982, hanya memutuskan PT Nawa Etu, Agoes, dan Wayan harus membayar ganti rugi kepada Sudiman Tjipta sebanyak Rp 42 juta. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi 7 Mei 1984. Tapi sengketa belum selesai. "Sudiman tidak bisa menerima putusan itu, karena tuntutannya gedung dan tanah itu kembali kepadanya," ujar pengacara Sudiman, Otto B. Hapatenda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus